CERITA WAYANG Perang Pamuksa Prabu Tremboko

wayang

Oleh PANDUPAKSI

Prabu Tremboko tak sempat menghindar. Tendangan itu terlalu cepat datangnya. Seperti kilat yang menyambar. Tubuh raja raksasa Pringgadani itu terlempar beberapa tombak. Meski begitu, Prabu Tremboko cepat bangkit dan bersiap menghadapi serangan berikutnya.

Prabu Pandu Dewanata, meski tinggi badannya tak sampai sepundak lawan, tak gentar sedikit pun. Ia terus menyerang dan menyerang. Tubuhnya berkelebatan bagai burung srikatan. Lalu,  kini kepalan tangannya mendarat di dada lawan.

Prabu Tremboko terdorong mundur sembari mengaduh, tapi berusaha mempertahankan diri agar tidak oleng. Bahkan dengan cepatnya ia berhasil membalas lewat tendangan ke pinggang lawan. Prabu Pandu Dewanata terlempar dan terbanting. Toh, tak terdengar rintihan kesakitan. Dan, adu tangan kosong terus berlanjut. Perang tanding berjalan alot. Sulit ditebak siapa yang bakal keluar sebagai pemenang. Masing-masing memiliki ketangguhan dan kelincahan. Kendati Prabu Pandu Dewanata guru Prabu Tremboko, tetap saja kesulitan untuk merobohkan Sang Murid. Nyatanya Prabu Tremboko bak gunung batu yang terlalu kokoh untuk dirobohkan.

“Besar kepala kamu bisa mengimbangi kesaktianku, Tremboko!” ujar Prabu Pandu Dewanata sembari melancarkan serangan.

Pertarungan tangan kosong keduanya seolah tidak akan pernah selesai. Karenanya, Prabu Pandu Dewanata memutuskan untuk mengakhiri perang tanding. Dihunusnya senjata andalannya, Keris Kiai Pulanggeni. Bercahaya biru menyilaukan. Melihat lawan menghunus senjata, Prabu Tremboko waspada. Tak mungkin ia menghadapi Keris Kiai Pulanggeni dengan tangan kosong. Jangan lagi sampai tertusuk, tersenggol pun akan menjadikan malapetaka. Maka ia pun menghunus Kiai Kalanadah dari pinggangnya. Tak kalah menggetarkan jantung pamor Kiai Kalanadah yang mengeluarkan cahaya merah.

Selanjutnya, baik para prajurit dari Pringgadani maupun Hastinapura terpana menyaksikan warna biru dan merah bakuserang. Secara refleks, mereka bergerak mundur beberapa langkah, memperlebar medan pertarungan.  Ada hawa panas menyungkup medan perang. Sekebal apa pun kulit mereka berdua, tak berani lagi mengandalkannya. Tak ada lagi kekebalan yang tak tertembus oleh Kiai Pulanggeni maupun Kiai Kalanadah. Kedua keris itu tak cuma bertuah, melainkan juga berbisa.

Kelincahan Prabu Tremboko mulai berkurang. Badannya yang tinggi besar mulai lambat menghindar. Keuntungan bagi Prabu Pandu Dewanata. Di samping lambat, tubuh yang lebar mudah untuk dijadikan sasaran tusuk. Terlebih lagi, Kiai Pulanggeni memang di tangan tuannya. Seolah sejiwa dengan Prabu Pandu Dewanata. Berbeda dengan Kiai Kalanadah yang berada di tangan orang lain. Kecepatan serangan Prabu Pandu Dewanata samasekali tak berkurang.

Kali ini Prabu Tremboko terlambat berkelit, dan Kiai Pulanggeni menghunjam di dadanya. Darah menyembur, tubuh Prabu Tremboko oleng. Prabu Pandu Dewanata tak berhenti menyerang. Ia masih bersemangat untuk merobohkan lawan. Satu tendangan tumit mengarah ke pinggang lawan. Celaka! Prabu Tremboko sempat menangkis dengan Kiai Kalanadah. Crap! Keris bercahaya merah itu masuk ke telapak kaki Prabu Pandu Dewanata. Belum sempat menarik keris Kiai Kalanadah, Prabu Tremboko roboh dan gugur.

Prabu Pandu Dewanata terguling, sebab tak mampu lagi menapakkan kaki ke bumi. Keris Kiai Kalanadah terlalu dalam masuk ke telapak kaki kanannya. Memang, luka itu jauh dari nyawa. Tetapi, keris pusaka itu berbisa. Menampak perang tanding telah berakhir, para prajurit merangsek maju. Prabu Pandu Dewanata digotong mundur oleh beberapa orang  prajurit, dan jenazah Prabu Tremboko dibopong Harimba beserta adik-adiknya.

Tiba di Kerajaan Hastinapura, Prabu Pandu Dewanata masih sadarkan diri. Ia bahkan masih bisa tersenyum memandangi Kiai Kalanadah yang menancap di telapak kaki kanannya.

” Senjata makan tuan. Dimas Yamawidura, cabutlah Kiai Kalanadah, berikan kepada Permadi,” titah Prabu Pandu Dewanata  terbata-bata. 

Yamawidura, adik tunggal Prabu Pandu Dewanata belum sempat menjawab manakala tiba-tiba ada berita bahwa Dewi Madrim melahirkan anak kembar, dan seda konduran. Dewi Madrim meninggal karena pendarahan.

Untuk sejenak Prabu Pandu Dewanata tercenung. Betapapun, ia tidak lupa janjinya di hadapan Sang Hyang Guru, ketika Dewi Madrim ngidam naik Lembu Andini.

“Anakku kembar?” ucap Prabu Pandu Dewanata. “Kalau begitu, aku namai mereka Pinten dan Tangsen….” Bisa Kiai Kalanadah menyentak jantung. Prabu Pandu Dewanata gugur.*

Avatar photo

About Pandupaksi

Jurnalis dan Penulis Cerita Wayang