Oleh PANDUPAKSI
Dewi Kunthi tak mau tinggal diam. Refleks batinnya berkata, “Pasti mereka merasa keberatan terpaksa menampung enam orang sekaligus. Tapi, kenapa mereka menawarkan bantuan? Atau, sesungguhnya mereka hanya berbasa-basi?”
Dewi Kunthi menengok Pinten dan Tangsen yang sedang meringkuk di tempat tidur. Yakin mereka berdua tidur lelap, Dewi Kunthi bersijingkat melangkah ke ruang tamu, tempat Si Empunya Rumah sedang bertangis-tangisan.
Melihat kedatangan Dewi Kunthi, suami-isteri itu buru-buru menyeka air mata.
“Maaf, boleh aku ikut duduk di sini?” tanya Dewi Kunthi.
“Silakan, Nyai. Kenapa belum tidur?” sahut Wijrapa.
“Hampir tadi aku menyusul tidur anak-anakku. Tapi, aku mendengar Nyai dan Bapa menangis. Aku merasa kantukku hilang tiba-tiba. Jangan-jangan aku dan anak-anakku penyebab kalian menangis…”
“Oh, bukan, Nyai. Samasekali bukan!” sahut Wijrapa seraya tertawa sumbang. “Sungguh, Nyai. Kami malah senang ada teman sewaktu kami sedang berduka.”
Dewi Kunthi merasa lega. Janda Prabu Pandu Dewanata itu menangkap kepolosan, ketulusan, serta kejujuran ucapan Wijrapa.
“Boleh aku tahu kenapa? Barangkali aku bisa membantu meringankan beban masalah Nyai dan Bapa. Aku akan merasa berdosa jika tidak bisa membantu meringankan kesusahan yang punya rumah.”
Wijrapa dan istrinya baku-pandang. Untuk sejenak ruangan itu hening. Wijrapa dan istrinya lantas menunduk sambil sesekali saling meliirik. Maka Dewi Kunthi mendengar semayup suara burung kedasih. Burung yang dipercaya kehadirannya menjadi pertanda bakal ada yang mati. Burung yang menyebarkan suasana dukacita.
“Kalau saja Prabu Pandu Dewanata masih ada, masalah ini tidak akan terjadi,” kata Wijrapa seperti kepada diri sendiri.
“Apa gandheng-cenengnya masalah kalian dengan Prabu Pandu Dewanata, Bapa?” Dewi Kunthi hampir tak bisa menyembunyikan kekagetannya.
“Tentu ada, Nyai.”
Lalu, Wijrapa pun bercerita tentang Prabu Baka yang doyan menyantap daging manusia. Tak seorang pun berani melawan ketika raja kanibal itu menunjuk seseorang untuk dimakan.
“Kalau zamannya Prabu Pandu Dewanata, mana mungkin manusia macam Prabu Baka dibiarkan hidup. Itu maksud saya, Nyai.” Wijrapa berkata seraya mengepalkan tinjunya. Getem-getem.
“Mungkin anak-anak Prabu Pandu Dewanata bisa menggantikan ayah mereka, menolong kalian. Kenapa Bapa tidak minta bantuan mereka?”
“Itu juga yang kami semua menyesalkan. Tak seorang pun isi desa ini yang berani sowan ke Hastinapura, Nyai. Tentu kami takut ketahuan prajurit Prabu Baka dan ditangkap.” Wijrapa menghela napas berat.
Dewi Kunthi berpikir keras, bagaimana caranya membantu tapi tidak harus membuka penyamaran mereka. Ya, mereka harus menyamar sebagai rakyat kecil agar Korawa tidak tahu bahwa mereka masih hidup. Agar Korawa tidak memburu mereka untuk difitnah lagi.
“Maaf, Nyai. Tadi kami berdua tidak bisa menahan tangis sebab anak kami satu-satunya besok hari harus kami serahkan ke Prabu Baka…”
“Apa?” Dewi Kunthi tersentak kaget.
“Begitulah, Nyai. Anak satu-satunya harus mati disantap Prabu Baka.” Menangis lagi Nyai Wijrapa.
“Begini saja,” kata Dewi Kunthi. “Anakku ada lima orang, biarlah satu kita serahkan sebagai pengganti anak kalian…”
“Jangan, Nyai!” tukas Wijrapa. “Nyai bukan rakyat Prabu Baka. Nyai jangan ikut-ikutan…”
“Tidak apa, Bapa. Aku masih punya empat anak.”
“Tidak, Nyai. Biarlah ini kami tanggung sendiri. Nyai tamu kami, seharusnyalah kami memuliakan tamu…”
“Bapa Wijrapa, Nyai, percayalah, aku ikhlas lahir-batin. Anakku juga tidak akan membantah kemauanku.”
Tiba-tiba pandang mata Wijrapa berubah liar. Ia geleng-geleng kepala. Lalu katanya, “Heran. Kenapa ada ibu seperti Nyai. Tega melihat anaknya mati. Ibu macam apa Nyai ini?”
“Bapa Wijrapa, aku bukannya tega. Ibu mana yang tega melihat anaknya dibunuh. Hanya saja, aku tidak yakin Prabu Baka bisa makan anakku…”
“Apa?” Wijrapa mendelik. “Anak Nyai punya ilmu kebal?”
“Benar begitu, Nyai?” Nyai Wijrapa menimpali.
“Bukan soal kebal atau tidak kebal, Bapa Wijrapa, Nyai. Tapi, sebelumnya aku ingin Bapa dan Nyai berjanji merahasiakan siapa aku dan anak-anakku. Mau berjanji?”
“Rahasia apa, Nyai?” Wijrapa dan istrinya memandang heran.
“Sebenarnya, anak-anakku itulah anak-anak Prabu Pandu Dewanata. Dan, akulah Dewi Kunthi…”
“Duh, Kanjeng Ratu!” Wijrapa dan istri seketika tersungkur di kaki Dewi Kunthi, menghaturkan sembah berulang kali. “Ampuni kami, Kanjeng Ratu Kunthi…”
“Sudah aku bilang, Bapa dan Nyai harus merahasiakan siapa kami. Jangan sebut-sebut nama Dewi Kunthi.” Dewi Kunthi menukas dan seraya memaksa mereka duduk lagi. (Bersambung).