Pemimpin Uni Soviet Nikita Khrushchev saat berkunjung ke Jakarta dan mewariskan pembangunan Stadion Gelora Bung Karno Senayan yang masih menjadi kebanggaan bangsa kita sampai saat ini. Sebuah artikel yang diterjemahkan dan diolah dari buku “Memoirs of Nikita Khrushchev. Volume 3, Statesman (1953 – 1964)”, mengungkapkan, kesan kesan Khrushchev pada DN Aidit dan dan Jendral Nasution. Juga kunjungannya selama dua pekan di Indonesia.
PADA tahun ’60-an, Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah partai komunis nonpenguasa terbesar di dunia. Sebagai pendukung Marxisme-Leninisme, PKI cenderung “berkiblat” ke Uni Soviet. Pemimpin PKI D.N. Aidit bahkan amat antusias menyambut Pemimpin Uni Soviet Nikita Khrushchev saat berkunjung ke Jakarta pada 1960. Namun, PKI tiba-tiba pindah haluan ke Beijing. Dalam memoarnya, Khrushchev menceritakan bagaimana “pergaulan” dengan Mao Zedong berujung malapetaka bagi PKI.
Pada tahun 1960-an, Khrushchev menggambarkan situasi politik dalam negeri Indonesia belum stabil. Kala itu, PKI memiliki jumlah anggota yang sangat banyak. Presiden Sukarno membuat PKI dapat beroperasi secara legal. Dia bahkan memasukan orang-orang PKI ke dalam tubuh pemerintah, kata Khrushchev. Meski begitu, PKI tak sepenuhnya bisa bergerak dengan leluasa, sementara para pengurus partai pun kurang solid. Walau pengikut PKI mendambakan kehidupan yang lebih baik dan hidup berlandaskan slogan-slogan Komunis, mereka tetap tidak tahu cara mewujudkannya. Bagaimanapun, Khrushchev menilai PKI adalah kekuatan politik yang perlu diperhitungkan.
Pemimpin PKI saat itu, D.N. Aidit, masih muda. Meski begitu, Khrushchev mengakui bahwa Dipa (panggilan Aidit) memiliki ide-ide yang cemerlang. “Dia mengorbankan hidupnya untuk membela kepentingan rakyat pekerja. Selain Dipa, saya juga terkesan dengan pimpinan PKI lainnya. Mereka adalah orang-orang berani, yang menjunjung gagasan-gagasan Marxisme-Leninisme, dan organisator yang ulung. Mereka berusaha keras supaya Indonesia menganut nilai-nilai sosialisme,” ujar Khrushchev.
Bersulang untuk Jenderal
Pada Februari 1960, Khrushchev berkunjung ke Indonesia atas undangan Presiden Sukarno. Tak tanggung-tanggung, ia beserta rombongan menghabiskan waktu di Indonesia selama dua pekan.
Dalam memoarnya, Khrushchev teringat dengan kejadian aneh yang terjadi selama resepsi jamuan makan malam di Jakarta. “Waktu itu, Aidit meminta ‘Alangkah baiknya apabila Yang Mulia mau bersulang untuk kesehatan Jenderal Angkatan Udara. Semoga ia makin berpengaruh’,” kenang Khrushchev.
Sebetulnya, Khrushchev tak yakin siapa jenderal yang dimaksud Aidit. Sang jenderal mungkin seorang komunis atau seorang yang dekat dengan PKI, pikir Khrushchev. Bagaimanapun, Khrushchev menyadari bahwa ia seharusnya tidak melakukan itu.
“Namun, saya tetap mengikuti keinginan Aidit,” ujarnya. Sebelum bersulang, Khrushchev meminta waktu untuk berbicara. Sebenarnya ini bukan sesuatu yang spesial. Orang Rusia memang terbiasa memberikan pidato atau “sambutan singkat” sebelum menenggak alkohol. Namun, gestur itu ternyata menarik perhatian orang-orang.
“Mari kita bersulang untuk jenderal — sejujurnya, saya lupa nama jenderal itu sekarang,” kenang Khrushchev. Setelah itu, Sukarno buru-buru menambahkan supaya kami bersulang untuk Jenderal Nasution.
Dari kiri ke kanan: Pemimpin Pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) D.N. Aidit, Pemimpin Partai Komunis Tiongkok (PKT) Mao Zedong, dan Pemimpin Uni Soviet Nikita Khrushchev. foto ; rbth.com
Pemimpin Soviet mengakui bahwa Nasution juga merupakan salah satu jenderal yang berpengaruh di Indonesia sekalipun ia lebih tertarik dengan Amerika. Nasution bukan anggota PKI, ia justru dianggap sebagai salah satu musuh PKI, kata Khrushchev. “Walaupun, tentu saja di hadapan kami, ia tidak menunjukkan sikap antipatinya terhadap komunis.”
Pada saat itulah, Khrushchev merasa Presiden bereaksi dan mengawasi dirinya dengan penuh kehati-hatian ketika bersulang. “Saat itu, saya merasa bahwa keraguan saya itu benar. Mungkin sang Presiden ingin menunjukan bahwa dia bersikap netral dan tidak sepenuhnya berpihak terhadap PKI ataupun Partai Komunis Uni Soviet (KPSS). Namun. apa yang bisa saya lakukan? Saya telah melakukan permintaan Aidit,” aku Khrushchev dalam memoarnya.
Memihak Komunis Tiongkok
Dalam ingatan Khrushchev, kaum imperialis mengupayakan segala cara untuk menyebarluaskan prasangka buruk terhadap PKI dan Sukarno yang terus memengaruhi pikiran rakyat Indonesia. Otoritas Sukarno kala itu tetap kuat dan situasi di Indonesia baik-baik saja sampai para Maois (varian Marxisme-Leninisme dari ajaran-ajaran pemimpin komunis Tiongkok Mao Zedong) mulai mencari cara memasuki negara itu.
“Ketika kerenggangan hubungan kami (dengan Tiongkok) mulai diketahui secara luas, musuh-musuh kami mulai memanfaatkan situasi tersebut. Kami amat menyesali hal ini, tetapi tak ada yang bisa kami lakukan,” ujar Khrushchev.
Khrushchev kemudian menceritakan kesannya terhadap Aidit sewaktu ia berpidato pada Konferensi Internasional Partai Komunis dan Buruh di Moskow pada 1960. “Dia sangat pandai berbicara. Gaya bicaranya sangat santai, tetapi mudah mengelak. Itu sudah menjadi ciri khasnya.”
Saat itu, Aidit tidak mengatakan bahwa ia berseberangan dengan KPSS, tetapi dia juga tidak mengatakan apa-apa yang menyiratkan bahwa ia menentang Beijing. Namun, Khrushchev mengaku tidak bisa mengharapkan apa-apa lagi dari PKI karena dalam tubuh partai itu terdapat banyak orang Tionghoa. Partai Komunis Tiongkok (PKT) memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap PKI melalui mereka.
Menurut Khrushchev, sebelum Uni Soviet dan Tiongkok berselisih, tidak pernah ada masalah etnis dalam tubuh PKI. Ketika itu terjadi, Tiongkok tampaknya mulai menyelidiki dan menguji suasana hati para anggota PKI. Ternyata, beberapa Biro Politik Komite Sentral PKI mengambil posisi pro terhadap Beijing.
“Memang benar, mereka tidak secara terbuka mengatakan bahwa mereka menentang Uni Soviet atau KPSS, tetapi mereka tidak mendukung kebijakan kami,” kata Khrushchev, “sekarang Aidit juga mengambil posisi yang tidak jelas, tetapi terlihat bahwa dia lebih condong ke arah Tiongkok. Ini tentu membuat saya terkejut, tetapi saya pikir ia terpaksa memilih posisi tersebut. Saya pernah bercakap-cakap dengannya, tepatnya pada 22 Juli 1963 (dua tahun sebelum peristiwa G30S/PKI -red.) selama periode akhir kepemimpinan saya. Selain dia, tiga perwakilan PKI lainnya juga hadir, dan dua pimpinan KPSS, Ponomaryov dan Andropov, ada di sana bersama saya. Aidit bergeming sementara saya membahas KPSS, membandingkannya dengan PKT, menunjukkan bahwa Tiongkok tidak cukup mendukung dan membantu PKI. Namun, Aidit diam sepanjang waktu dan saya merasa bahwa mungkin dia tidak mempunyai pilihan lain. Setelah itu, dia segera pulang ke tanah airnya melewati Tiongkok.”
Belakangan, Khrushchev mengetahui bahwa di Beijing, Aidit tidak bisa bertahan dengan prinsipnya lebih lama lagi. Setelah pertemuannya dengan Pemimpin Mao di Beijing, PKI akhirnya “terseret” ke sisi Tiongkok.
“PKT memperlakukannya dengan baik. Tak lama, surat kabar PKI secara terbuka mengeklaim bahwa mereka mengambil posisi pro terhadap Beijing,” kenang Khrushchev.
Kehancuran PKI
Setelah PKI dihancurkan (dalam kudeta militer) pada 1965, Aidit lari dan bersembunyi. Namun dia akhirnya ditangkap, diadili, dan ditembak mati. Pria itu harus mendapat ganjaran setimpal, kata Khrushchev. “Dia tersesat, tetapi dia melakukannya dengan tulus. Dalam persidangannya, dia bersikap cerdas, dan dia mati dengan terhormat.”
Ketika PKI berupaya merebut kekuasaan sehingga memicu kudeta militer (G30S/PKI), media massa Soviet melaporkan bahwa PKI terjerumus ke dalam situasi yang mengerikan ini akibat menerima perintah dari Mao Zedong.
“Bagi saya, tindakan yang diambil oleh PKI sama sekali di luar dugaan. Saya tidak menyangka PKI akan melakukan upaya semacam itu tanpa mempertimbangkan situasi yang tengah terjadi di Indonesia,” ujar Khrushchev.
Akibatnya, puluhan ribu pengikut komunis binasa, bersama dengan orang-orang progresif pada umumnya, terutama mereka yang bekerja di serikat buruh dan di organisasi lain di bawah kepemimpinan PKI. Partai komunis terbesar di bagian dunia yang kapitalis mengalami kekalahan yang mengerikan. Itulah akibatnya jika kita percaya pada ideologi adventurism (kebijakan, metode, atau tindakan gegabah yang tidak bertanggung jawab, terutama dalam urusan politik atau internasional -red.).
Perjuangan membebaskan seluruh wilayah Indonesia dari penjajah belum usai selama Irian Barat masih dikuasai Belanda. Dalam memoarnya, Khrushchev menceritakan bagaimana menlu Indonesia kala itu, Subandrio, bermanuver demi membawa Irian Barat ke pangkuan Indonesia. (RBTH)