Hukum yang hanya digunakan untuk memuaskan berahi kekuasaan menyebabkan stunting demokrasi, dimana pertumbuhan dan perkembangan demokrasi terhambat. Para politisi Senayan kerap memeras dengan menggunakan perangkat dan lemgaga hukum yang dikontrol mereka. Suasana peluncuran dan bedah buku tersebut juga menghadirkan pembicara politikus Anas Urbaningrum, Advokat Petrus Selestinus, SH, dengan moderator Wina Armada SA. foto Dudut.
Seide.id – Belenggu nalar yang menjerat bangsa dan elite Indonesia masih berlangsung sejak reformasi 1998 hingga kini. Bahkan semakin menjadi jadi. Hukum digunakan oleh penguasa untuk memenuhi berahi kekuasaan dan menggunakan segala cara untuk menjerat targetnya, orang yang tak disukai. Selain itu, “Stunting Demokrasi” menjadi masalah serius dan juga darurat negri ini selain stanting balita di tengah bonus demografi yang menentukan ini..
Demikian pokok pokok pikiran yang tercetus dalam diskusi menyambut peluncuran buku ‘Belenggu Nalar’ karya Laksamana Sukardi di Nusantara Room, The Dharmawangsa Hotel, Jakarta Selatan, Senin (15/1/2024) sore. Selain Laksamana, peluncuran dan bedah buku tersebut juga menghadirkan pembicara politikus Anas Urbaningrum, Advokat Petrus Selestinus, SH, dengan moderator Wina Armada SA.
Buku Belenggu Nalar merupakan rangkaian catatan Laksamana Sukardi, selama menjdi Menteri BUMN dan anggota partai PDIP, terutama terkait skandal penjualan kapal tanker yang menghebohkan.
Pak Laks, panggilan bankir yang terjun ke panggung politik ini, menegaskan, hukum yang seharusnya menjadi panglima dijadikan sarana untuk birahi kekuasaan. Rakyat baik yang jelata maupun kalangan berpendidikan dan elite sulit mendapat kepastian hukum.
“Rasanya sia-sia saja Presiden Jokowi melawat ke mana-mana untuk mencari investor, karena hukumnya tidak memberikan kepastian, ” katanya.
Dalam buku memorarnya itu, Laks memaparkan tentang penjualan kapal tanker milik Pertamina, yang uangnya digunakan untuk membantu krisis keuangan pemerintah, pada tahun 2004. Akan tetapi karena penjualan kapal tanker itu menuai kontroversi, dimana pihak pihak yang tak sepakat menjadikan kasus dan menyebabkan Laksamana dikriminalisasi. Kasus itu berlangsung hingga 2007 setelah Kejaksaan Agung membebaskannya.
“Sedihnya penggagas jeratan hukum untuk saya dilakukan oleh DPR, yang dengan pengaruhnya bisa menggunakan intrumen KPK, TPPU, BPK dan Kejaksaan Agung.
Menurut Laksamana, ketika hukum digunakan oleh politisi untuk memenuhi birahi kekuasaan. segala argumen dan bukti-bukti apa pun yang disodorkan, sia-sia.
“Pada titik frustasi yang amat sangat saya hanya berserah diri pada petolongan Allah. Saya berdoa semalam sunyk. Agar terhindar dari jeratan hukum yang direkayasa sedemikian rupa. Karena ada pihak yang ingin saya dipenjara,” kata Laks.
“Dalam eforia reformasi, hakim ternyata takut memutus perkara secara obyektif,” kata Laksamana Sukardi Senin (15/1/2023) petang kemarin.
Diungkapkannya, selaku Menteri BUMN harus melepas kapal tanker yang sedang dibuat di Korea Selatan karena negara sedang membutuhkan banyak uang. Kapal itu sendiri sedang menjadi sita jaminan dalam sengketa antara pemerintah dan PT. Karaha Bodas. Kapal yang dibangun dengan biaya 130,8 juta US dollar, terjual 184 juta US dollar. Pertamina untung 53,2 US dollar.
Namun rekannya di Senayan berpendapat lain. Mereka menaksir harga yang lebih tinggi dan menuduh Laksamana menjual murah.
Melalui Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dia dituduh penjualan tanker itu telah merugikan negara. Berdasarkan pernyataan seorang ahli mengatakan, negara mengalami kerugian berkisar 20 juta dollar hingga Rp.50,4 miliar. Padahal, audit investigasi dari KPK dalam kasus itu, dinyatakan tidak merugikan negara.
“Celakanya ahli yang dimintai pendapat oleh KPPU hanya salesman piano, yang mengeluarkan harga taksiran jauh lebih tinggi, tanpa dasar yang jelas. Jadi saya lihat memang ada niat untuk memojokkan saya, katanya.
Komisi III DPR yang tidak puas dengan putusan KPK, lalu membentuk Pansus. Bahan yang digunakan untuk Pansus hanya menyontek putusan KPPU. Para politisi Senayan itu, yang juga rekan rekannya sendiri, sesama PDIP, meminta Kejaksaan Agung mengambil alih penanganan. Pihak Kejagung atas perintah DPR, sempat mempersangkakan Laksamana Sukardi. Namun karena ada persoalan di internal Kejaksaan Agung, penanganan kasus kapal tanker tersebut dihentikan.
Dalam putusan Peninjauan Kembali MA menyatakan putusan KPPU salah. “Di sini, DPR terbelenggu nalar. Mereka tahu KPK sudah mengatakan tidak ada kerugian negara, tapi tetap ngotot, ” katanya. Kejagung pun yang mendapat dukungan DPR tetap melakukan penyelidikan.
Advokat Petrus Selestinus, pengacara yang membela kasus Laksamana Sukardi, mengatakan, clientnya dikriminalisasi justru oleh sesama politisi di Komisi III, terutama dari Fraksi PDIP dan Demokrat. Mereka lah aktornya.
“Mereka mendesak KPK, memerintahkkan TPPU, memanggul Kejaksaan Agung untuk mentersangkakan Pak Laks. Padahal KPK sudah mengatakan tidak menemukan kerugian negara, karena tidak ada harga pembanding Di situ Komisi III marah, lalu tetap ngotot agar terus mengusut penjualan VLCC ini. Padahal harusnya KPK,” kata Petrus.
Alfred Hadrianus Rohimone, mantan Direktur Keuangan Pertamina , yang bersama sama Laksamana Sukardi sempat dijadikan tersangka menyatakan bahwa kasus itu saratt politis. Sebab di balik ancaman hukum juga lobby permintaan logistik. “Kodenya piring dan sendok. Kami sudah siapkan piring dan sendok tinggal menunggu kiriman mana nasi dan hidangannya? ” begitu kode yang dikirim pihak perantara.
Anas Urbaningrum menilai, perkara yang dialami oleh Laksamana Sukardi adalah cara untuk menjegal karier politiknya. Waktu itu Laks adalah seorang politikus muda yang punya masa depan cemerlang.
“Waktu itu Pak Laks jadi tokoh yang masih punya masa depan politik. Dicari jalan agar masa depan politiknya habis. Kalau cara politik tidak bisa, dicarilah jalan lain, ” katanya.
Dulu terhadap mereka yang tidak disukai, mendapat stempel KI. Sedangkan di era reformasi stempel PKI diganti dengan korupsi. Stempel itu lebih kuat. Stempel korupsi akan membuat orang jadi warganegara kelas lima!,” tegas Anas.
Sebagai sesama politisi muda yang disingkirkan oleh partainya sendiri, Anas Urbaningrum menyebut adanya ‘Stunting Demokrasi’ yaitu gangguan pertumbuhan dan perkembangan demokrasi yang menempatkan politik sebagai panglima bukan humum.
“Sunting Demorkasi sama bahayanya dengan stunting balita. Karena sama sama menghambat kemajuan, ” katanya. (dms)