Menurut ‘The Economist’, Indonesia terlalu tergantung ke China. Ini kemudian membatasi ruang Indonesia untuk melakukan manuver geopolitik.
OLEH DIMAS SUPRIYANTO
MEDIA ekonomi berbasis di London, The Economist menghamburkan puji pujian pada keberhasilan Jokowi. Namun terselip di sana informasi menyesatkan, yang berpotensi memanipulasi publik, yaitu perihal tuduhan kediaman dan ketakutan Jokowi pada China.
Kesimpulan media Inggris itu berpotensi meningkatkan sentimen antiCina pada oposan, para penolak Jokowi dan akar rumput, juga dunia internasional. Hal yang dikehendaki media Barat pada negara seperti Indonesia – di tengah persaingan perang dagang Amerika – China.
Di kanal Asia Tenggaranya, laman The Economist itu memuat judul khusus tentang pemilu di RI yang akan mengubah rezim sang presiden bertajuk What will Indonesia look like after Jokowi leaves?. Sorotan media Inggris ini terkait dengan masa depan RI Pasca Jokowi lengser, Oktober 2024 ini.
Tulisan dimulai dengan menggambarkan Jokowi sebagai “negarawan global”. “Ia menjadi tuan rumah bagi para pemimpin dari seluruh kawasan pada KTT Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) di Jakarta pada tanggal 5 – 7 September,” muat media itu, dikutip Senin (11/9/2023).
“Pada bulan Agustus ia mengantongi kesepakatan ekonomi selama tur di Afrika,” tambahnya. “Dia menghadiri KTT para pemimpin G20 di Delhi pada tanggal 9 September, setelah menjadi tuan rumah acara tahun lalu, dan juga berencana untuk mengunjungi Arab Saudi dalam waktu dekat,” muat The Economist.
Bukan hanya itu, penampilannya di dalam negeri juga disorot. Bagaimana tutur perilaku Jokowi disebut membuat ia banyak disukai. “Gaya Jokowi yang lembut dan sederhana menjadikan Jokowi, begitu ia disapa, menjadi salah satu pemimpin yang paling disukai di dunia,” tambah media itu. “Peringkat persetujuannya berkisar sekitar 80%,” jelas The Economist lagi.
“Hanya Narendra Modi, Perdana Menteri India, yang mampu mendekati pencapaian tersebut,” tulisnya.
Namun meski Jokowi tengah menikmati popularitasnya, spekulasi bermunculan mengenai warisan. Apalagi, kalau bukan siapa yang akan menggantikannya setelah ia mengundurkan diri tahun depan.
“Ketika Jokowi menjadi presiden pada tahun 2014, ia tak seperti pemimpin yang pernah ditemui di negara ini: seorang pembuat furnitur yang dibesarkan di gubuk tepi sungai, tidak memiliki hubungan dengan tentara atau keluarga terkemuka mana pun,” tulis media itu.
“Dia paling betah bertanya tentang harga bawang di pasar atau membagikan kaos kepada orang banyak agar bisa melihatnya sekilas ke mana pun dia pergi. Ia telah merevolusi politik Indonesia dengan memanfaatkan operasi media sosial yang cerdas dan fokus tanpa henti pada pertumbuhan ekonomi,” jelasnya.
“Namun ada tiga ketidakpastian besar yang menghantui warisannya: apakah perekonomian Indonesia akan terus tumbuh, apakah penggantinya akan mempertahankan kebijakannya, dan apakah negara tersebut dapat mempertahankan tindakan penyeimbangan di dunia yang terpecah,” terang laman itu.
The Economist menyebut, rekor pertumbuhan ekonomi Jokowi dinilai cukup baik. Indonesia, yang telah menjadikan Indonesia negara dengan pertumbuhan tercepat kelima di antara 30 negara dengan perekonomian terbesar di dunia sejak ia menjabat pada tahun 2014.
PDB (produk domestik bruto) dilaporkan meningkat secara kumulatif sebesar 43% sejak saat itu. Bahkan proyeksi IMF menunjukkan laju ini dapat terus berlanjut.
“Hal ini sebagian besar disebabkan oleh pembangunan infrastruktur yang sangat besar. Negara terpadat keempat di dunia ini terdiri dari lebih dari 13.000 pulau, banyak di antaranya tidak memiliki fasilitas dasar,” muat media itu.
“Sering mengenakan helm pekerja, Jokowi telah membangun bandara, pelabuhan, pembangkit listrik, bendungan dan telah membangun ribuan kilometer jalan raya dan jalur kereta api. Dia telah menggunakan popularitasnya untuk membujuk partai-partai politik, badan usaha milik negara, dan para taipan berpengaruh di negaranya,” jelasnya.
Media itu pun menyorot ibu kota baru (IKN) yang jadi salah satu andalan Jokowi saat ini. Proyek di hutan Kalimantan itu, menurut The Economist, merupakan contoh dari strategi Jokowi sekaligus jadi sorotan akankah ketidakpastian karena pemilu membuat proyek ini berhasil.
“Jokowi berpendapat bahwa kota yang dikenal dengan nama Nusantara ini penting karena seperempat wilayah Jakarta, ibu kota saat ini, bisa tenggelam pada tahun 2050,” tulisnya.
“Para kritikus mengatakan proyek senilai US$34 miliar, yang akan selesai pada tahun 2045, tidak realistis. Pemerintah mengatakan akan menanggung 20% dari biaya yang diproyeksikan, dan sisanya didanai oleh investor dalam dan luar negeri,” muatnya. “Namun, lebih dari empat tahun setelah proyek tersebut diumumkan, tidak ada satupun investor asing yang menandatangani kontrak yang mengikat untuk mendanai kota tersebut,” katanya.
JOKOWI BERUNTUNG – tulis The Economist. Ia bisa menarik pihak asing untuk mendukung proyek-proyek lain . “Investasi asing langsung melonjak menjadi US$45 miliar pada tahun 2022, naik 44% dari tahun sebelumnya,” tulisnya.
Sebagian besar investasi ini datang dari China, tulis yang mengalir ke pertambangan dan pengolahan nikel, cadangan logam terbesar di dunia, yang penting untuk memproduksi baterai kendaraan listrik.
“Pada tahun 2014 Indonesia melarang ekspor nikel yang belum diolah. Karena tidak adanya pilihan untuk pindah ke tempat lain, perusahaan pertambangan asing, yang sebagian besar adalah warga China, membangun fasilitas pengolahan besar di Indonesia,” muatnya.
“Hal ini mendorong pertumbuhan dan lapangan kerja baru, meskipun dengan mengorbankan lingkungan,” tegas media itu. “Indonesia mengekspor produk nikel senilai lebih dari US$30 miliar pada tahun lalu, 10% dari total ekspor dan sepuluh kali lebih banyak dibandingkan tahun 2013,” muatnya.
Namun menurut ‘The Economist’, Indonesia terlalu tergantung ke China. Ini kemudian membatasi ruang Indonesia untuk melakukan manuver geopolitik.
“Meskipun merupakan negara dengan mayoritas Muslim terbesar di dunia, Indonesia tetap bungkam mengenai penganiayaan terhadap warga Uighur, kelompok etnis Muslim dominan yang berasal dari wilayah Xinjiang, China karena takut akan dampak ekonominya,” muatnya lagi.
Hubungan masa Jokowi dengan Amerika Serikat (AS) pun disorot. Dimuat bagaimana karena terlalu dekat dengan China, sulit bagi Jokowi mencapai kesepakatan dengan Gedung Putih.
“Indonesia sangat menginginkan kesepakatan perdagangan dengan Amerika yang mencakup logam agar penjualan nikel Indonesia di Amerika menjadi lebih murah dan tidak terlalu bergantung pada China. Namun pemerintah Amerika mengkhawatirkan dominasi Tiongkok dalam industri nikel di Indonesia, sehingga kesepakatan masih sulit dicapai,” tulisnya.
‘The Economist’ kemudian menuliskan profil kandidat yang akan bertarung menggantikan Jokowi, yaitu Prabowo, yang sudah dua kali kalah dari Jokowi sebelumnya. Ganjar Pranowo yang menunjuk Arsjad Rasjid, Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia, sebagai ketua kampanyenya. Serta kandidat ketiga yang mungkin adalah Anies Baswedan, mantan gubernur Jakarta dan mantan menteri pendidikan di kabinet Jokowi, yang perolehan suaranya jauh di belakang Ganjar dan Prabowo.
BAGIAN yang harus diluruskan dalam sorotan The Economist itu adalah Indonesia bungkam pada pelanggaran HAM di China.
The Economist lupa bahwa setiap negara memiliki kedaulatan. Dan setiap negara berhak mempertahankan kedaulatannya. Apa yang terjadi di Uighur – Xinjiang adalah radikalisme dan separatisme, sebagaimana yang terjadi di Aceh di masa lalu, dan di Papua yang masih berlangsung di hari ini.
Tak ada negara mana pun yang sebagian wilayahnya ingin terpisah dan dibiarkan memisahkan diri. Tidak China dan tidak juga Indonesia. Karena itu sikap diam Jokowi kepada China adalah kesadaran atas kesamaan masalah yang sama sama dihadapi dua negara. Jika Jokowi mempersaolkan Ughur, maka China akan menegur balik pada masalah di Papua. Sesederhana itu,
Jangan lupakan, frasa “Pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) ” adalah dalih paling sering dipakai negara kapitalis – senjata ampuh dunia Barat untuk memaksakan kehendak pada negara dunia ke tiga yang menjadi target pengurasan sumber daya alam kita untuk kesehateraan mereka.
Dan media seperti The Economist adalah alatnya. Karena itu, kita wajib waspada puji pujian mereka ***