Kemarin saya nonton salah satu konten dari channel Dr Fahrudin Faiz di Youtube tentang ‘kritik’. Pengajar filsafat di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta ini, bikin saya tertarik. Pesan-pesannya gampang dipahami, di mana vlog dalam bentuk audio suaranya disertai running tex.
Mengutip Maria Poppova seniman asal Bulgaria yang menetap di New York, beliau menyampaikan:
Kritik tanpa solusi = nyinyir.
Puja-puji tanpa kritik = naif.
Yang baik itu, katanya, menyatukan dua predikat di atas.
Jadi :
Kritik + solusi = harapan.
Puja-puji + kritik = harapan.
Dari paparan di atas, lantas saya teringat Didieth Sakhsana yang sering mengamati postingan-postingan saya di fesbuk — yang jika salah, dia tidak segan-segan melakukan kritik, disertai solusi.
Saya berteman dengan Didieth di fesbuk mungkin sekitar 6-7 tahun. Sebelum itu apakah saya kenal secara pribadi ? Kenal sih, tidak. Tapi tahu.
Dulu di seputar tahun 1980/1990-an hampir setiap ‘Log Zhelebour Enterprise’ menggelar acara-acaranya saya sering bertemu dengan Didieth. Sosok ini adalah pemain bass grup rock Power Metal, Juara Umum Festival Rock se-Indonesia versi Log Zhelebour.
Sesuai janji Log, jika juara umum, maka pemenangnya disertakan dalam rangkaian tour 40 kota bersama God Bless, El Pamas, dan Mel Shandy.
Sebagai Humas Log Zhelebour Enterprise, seringkali saya ikut mengawal pementasan yang digelar promotor yang pernah tinggal lama di Kampung Kranggan, Surabaya, dekat Blauran itu.
Di situlah kami sering ber-“hai-hai” dengan Didieth.
Kok cuma ber-‘say hello’ ? Ya, mungkin karena posisi bass di Power Metal (sering) bergantian. Jadi kurang frekuensi ketemu. Atau jangan-jangan saya yang minder.
Saat tour di Jawa, Didieth sering terlibat. Namun saat tour Sumatera, Rey yang mengisi posisi bass.
Namun setelah bertemu di fesbuk, kami jadi akrab. Dan makin akrab.
Seingat saya, kritik pertama yang diberikan Didieth perihal istilah ‘akronim’.
Bayangkan, sekian puluh tahun jadi wartawan, saya baru paham pengertian ‘akronim’ ya dari Didieth. Saya pikir ‘akronim’ itu sama artinya dengan ‘singkatan’. Ternyata serupa tapi tidak sama.
Akronim itu, misal: Unair, Polri, Kodam, dll.
Singkatan: UI, ITB, TNI, dll.
Pernah juga Didieth memberikan catatan perbedaan antara kata ‘pencinta’ dengan ‘pecinta’ saat saya meng-up load puisi saya ‘Hari-hari Sesudah Sarapan Kopi’. Di situ saya menulis kata ‘pecinta’, yang oleh Didieth disalahkan dengan halus. Dan Didieth tidak menunjukkan kesalahan itu langsung di kolom komentar, tapi saya dijapri, dengan mengunggah ‘link’ tentang perbedaan itu.
Kalau ‘pencinta’ artinya: yang mencintai. Sedangkan ‘pecinta’ : yang bercinta. Jika dielaborasi, boleh jadi ‘pencinta’ lebih universal. Sedangkan ‘pecinta’ lebih personal.
Yang saya kagum, Didieth bisa menangkap korelasi makna puisi saya tersebut dengan kata ‘pecinta’, sehingga kosakata yang saya gunakan dalam puisi ini salah. Seharusnya menggunakan ‘pencinta’.
Ada lagi kritik yang dia sampaikan, misal saat saya menyebut ‘disain’ ketika mengomentari postingan mantan wartawan Jawa Pos Santoso yang menggunakan nama Rahayu Santoso itu. Kritik tersebut disampaikan melalui japri. Tulisnya, yang benar adalah: ‘desain’ — disertakan sumber kompetennya (‘link’).
Masih banyak lagi kritik disertai solusi yang pernah disampaikan ke saya, baik secara langsung ke kolom komentar maupun yang dilewatkan japri.
Selain dengan Power Metal, Didieth pernah bergabung dengan Rock Trickle, Buldozer, dan Surabaya Rock Band. Itu yang saya ketahui. Mungkin masih banyak lagi yang tidak saya ketahui tentang sosok bassist yang saat di panggung senantiasa tampil atraktif itu.
Kabarnya Didieth sekarang tinggal di Jakarta dan menjadi manajer ADA Band. (Mohon maaf kalau saya keliru).
Dua bulan lalu Didieth saya tanya, “sampeyan apa lulusan Fakultas Sastra (kok paham sekali Bahasa Indonesia) ? “
“Aku jebolan Fakultas Ekonomi …”
Eladalah !