Gajahmada, RA Kartini dan Kuda Dompu

Kata ‘jara’ dan ‘jaran’ yang punya kesamaan ucap, jelas menunjukkan betapa soal kuda, antara Tanah Jawa dan Dana Dou Dompu (Tanah Orang Dompu) punya kaitan sejarah panjang. Foto Heryus Saputro.

Oleh HERYUS SAPUTRO SAMHUDI

MENYAMBUNG ihwal susu kuda liar di laman Seide.id lalu, kuda (Equus caballus) merupakan satwa penting dalam tradisi dan keseharian dou (orang) Dompu. Kapan kuda pertama hadir di dana (tanah) Dompu? Yang pasti di masa lalu banyak posisi penting di jajaran petinggi kerajan, yang gelarnya menggunakan kata Jara (atau Jarao) yang sama artinya dengan kuda dalam Bahasa Dompu.

Kini kuda juga jadi lambang Kabupaten Dompu, kuda berwarna keemasan yang berlari bebas di padang rumput hijau (pastinya ini personivikasi dari savana Doro Ncanga) berlatar Gunung Tambora (yang letusannya pada April 1815 membuat sebagian langit Eropa berbulan-bulan ditutup debu tebal sukar ditembus sinar matahari) melambangkan keteguhan hati orang Dompu dalam berbuat kebaikan hidup untuk kemajuan bersama.

Pentingnya kuda, termaktub dalam filsafat dasar orang Dompu yang menganggap seseorang sempurna bila memenuhi empat unsur: Wei Taho. Uma Taho, BesiTaho, dan JaraTaho.Taho itu memiliki benda atau memahami (ilmu) pengetahuan. Wei (pasangan hidup), Uma (rumah), Besi (Senjata / pegangan / pengetahuan hidup), Jara adalah alat tunggang untuk mempercepat daya jangkau seseorang dalam melakoni hidup.

Secara linguistik, penyebutan kuda sebagai jara oleh orang Dompuini, mirip orang Jawayang menyebut kuda sebagai ‘jaran’. Pertanyaannya, berkait soal kuda, apa ada keterkaitan sejarah antara Dompu dengan Jawa? Entah. Yang pasti saya jadi ingat tari dolanan/permainan Jaran Kepang (KudaLumping kata anak Betawi) yang  ditarikan sambil diiringi tembang tua yang syairnya diulang-ulang, berbunyi:

Jaran’e…! Jaran’e…! Jaran’e…Jaran Kore…!

Jaran’e…! Jaran’e…! Jaran’e…Jaran Dompo…!

Kudanya…! Kudanya…! Kudanya… KudaKore…!

Kudanya…! Kudanya…! Kudanya… KudaDompo…!

Sebagai ‘anak sekolahan’, saya faham bahwa Dompo yang dimaksud adalah Dompu, negeri di timur Bali yang secara jelas disebut Mahapatih Gajah Mada saat mengucap Sumpah Palapa di abad ke-14, untuk menyatukan kawasan Nusantara dalam satu kesatuan politik di bawah panji negara maritime Majapahit. Kuda Dompo yang  dimaksud pastilah kuda dari Dompu. Tapi dimanakah Kore? Juga di Dompu, kah?

RA Kartini, yang karena jiwanya yang pemberontak dijuluki keluarganya sebagai ‘Jaran Kore Ayu’, (kuda Liar nan) Cantik . Kuda Kore berasal dari wilayah kabupaten Dompu, NTB. foto Heryus Saputro

Namanya anak kecil (tempo itu), di Tanah Jawa pula, tak seorang pundari kami yang tahu dimana letak Kore? Sebagai konpensasi, kami cuma mengartikan ‘kore’ sebagai padanan kata ‘liar’. Ini terutama mengacu pada Pahlawan Nasional pejuang emansipasi wanita, RA Kartini, yang (karena jiwanya yang pemberontak) dijuluki keluarganya sebagai ‘Jaran Kore Ayu’, yang kami perkirakan berarti ‘Kuda Liar (nan) Cantik’, hi…hi…hi…!

Baru belakangan saya tahu bahwa ’Kore’ tak lain adalah sebuah desa pelabuhan di Kecamatan Sanggar Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) yang bersisian dengan Kabupaten Dompu. Dulu, sebelum Belanda (dengan politik ‘adu-domba’nya) mengangkangi wilayah itu, Kore merupakan bagian Kabupaten Dompu. Kini Kore merupakan enclave (kawasankantong) Kabupaten Bima di Kabupaten Dompu. Unik.

Posisi Kore sebagai enclave Bima di Dompu, sama dengan posisi Oecusie, enclave negara Timor Leste yang terletak di Timor Barat, NTT, Indonesia. Atau Makam Imogiri di blok Raja-Raja Solo yang merupakan bagian dari cagar budaya Solo tapi terletak di wilayah Povinsi DI Yogyakarta. Atau Kota Berlin Barat di masa ‘perang dingin’ yang merupakan daerah kekuasaan Jerman Barat, tapi terletak di kawasan Jerman Timur.

Syair tembang dolanan anak, julukan keluarga untuk RA Kartini, kata jara dan jaran yang punya kesamaan ucap, jelas menunjukkan betapa soal kuda, antara Tanah Jawa dan Dana Dou Dompu (Tanah Orang Dompu) punya kaitan sejarah Panjang; konon sejak Gajahmada dan Armada Majapahit pimpinan Laksamana Nalatiba di Dompu, sejak itu kuda Dompu diekpor lewat Kore untuk menguatkan kavaleri Majapahit di Jawa.

Sir Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Inggris yang berkuasa di Tanah Jawa pada 1911 – 1815, dalam buku Story of Java juga ada menyebut ihwal ‘Kuda Bima’,  yang dipinjam Ranggalawe dari ayahnya, Raden Wiraraja dari  Pulau Madura, saat hendak berangkat mencari penghidupan yang lebih baik di Majapahit.

Begitu, kah? Tugas Anda para sejara(h)wan tangguh Indonesia untuk mengungkapnya. Sebab saya cuma pejalan kaki, penulis buku Dana Dou Dompu (Penerbit Badan Bahasa Kemendikbud RI, Jakarta 2017) yang kini coba menulis ulang pengalaman-pengalaman jalan-jalan itu, buat Seide.id. Tidak lebih tidak kurang. ***

11/08/2021.

Avatar photo

About Supriyanto Martosuwito

Menjadi jurnalis di media perkotaan, sejak 1984, reporter hingga 1992, Redpel majalah/tabloid Film hingga 2002, Pemred majalah wanita Prodo, Pemred portal IndonesiaSelebriti.com. Sejak 2004, kembali ke Pos Kota grup, hingga 2020. Kini mengelola Seide.id.