OLEH EFFI S HIDAYAT
Saya perempuan. Tetapi,saya tidak suka bunga. Hmm, mungkin itu sebabnya kado paling unik yang saya dapat ketika saya memutuskan untuk membina hidup baru tidak lagi ego sendiri adalah… sebuah vas bunga terbuat dari kayu.
Lho, kok?
He-eh, coraknya abstrak,berwarna kuning terang dengan totol-totol hitam dalmatian. Sederhana, kalau mau jujur. Pemberinya adalah seorang sopir kantor di mana saya bekerja. Namanya: Pak Muji Sutrisno.
Saya, ingat betul nama lengkapnya. Ia setia mengawal ke lokasi peristiwa saat saya melakukan wawancara. Saya senang bercakap-cakap dengannya karena sikapnya yang santun dan ramah. Dan, taraaa…kejutan istimewa! Saat saya menikah, ia berinisiatif memberi saya hadiah sebuah vas bunga yang masih saya simpan baik sampai kini. Spontanitas ketulusan Pak Muji mengundang keharuan yang tak bisa saya lupakan.
Begitupula hadiah yang saya terima dari ibu kos. Satu set serbet makan rajut berwarna putih. Ketika membuka bungkus kado itu kali pertama, saya mendadak paham. Bagaimana hari demi hari Tante Anna -ini nama sang ibu kos yang sekarang telah almarhumah, tekun menelisikkan benang rajut satu demi satu hingga kacamatanya melorot jatuh ‘berselancar’ menurun ke ujung hidung!
Ya, ya, berapa lama yang dihabiskan untuk merajut buah tangan spesial itu? Sungguh merupakan kenangan semanis gulali. Tak pernah saya duga, ia merajutnya khusus untuk saya. Duh.
Itu jika bicara soal hadiah dari hati. Namun saya meyakini atensi terhadap sesama tak harus berupa benda semata. Tak selalu pun diberikan cuma kepada mereka yang kita kenal baik.
Saat menemani alm.ibu saya opname di rumah-sakit, saya bertemu seorang bapak yang setia. Tak pernah jauh-jauh dari ranjang di mana istrinya berbaring. Mengidap kanker stadium akhir adalah vonis tak tertanggung bagi sang suami yang demikian mengasihi istrinya.
Oh, suatu kali saya terpana mendapatinya menghadiahkan serumpun mawar merah ketika pendampingnya itu berulang-tahun. Sangat kontras warna merah tua mawar itu disandingkan dengan sprei putih ranjang rumah-sakit yang dingin. Terlebih wajah pias lesi perempuan yang sedang terbaring lemah tak berdaya.
Dia menggenggam erat-erat seikat rumpun mawar itu tanpa kata. Hanya pendar-pendar di matanya yang seolah berbicara. Saya yang duduk menemani ibu saya di sebelah sisi ranjangnya, hanya berbatas tirai tipis yang disingkap, diam-diam menghapus bening yang terburai begitu saja di sudut mata….
Cinta seorang suami yang sedemikian rupa telah ‘menyentuh’ saya. Walau belum lama mengenal, saya tergugah untuk menyempatkan diri ke toko buku, suatu siang sebelum menjenguk ke rumah-sakit. Dan, saya bersyukur menemukan sebuah buku sesuai yang saya idamkan.
Isi buku saku (ukurannya vertikal, tidak horisontal seperti buku biasa) tentang apa? Hari-haru penguatan, serta harapan! Lalu, begitu saja tanpa berpikir panjang (hanya berbekal dorongan hati) saya menghadiahkan kepada si Bapak yang nampak terperangah ketika menerimanya.
Singkat cerita, setelah pada akhirnya harus kehilangan sang istri ytc, si Bapak memutuskan untuk melalangdaerah ke berbagai pelosok di Indonesia. Sesuatu yang sebelumnya tak pernah terpikir olehnya. Namun dia mengaku telah mendapatkan kekuatan itu dari buku yang saya berikan kepadanya.
Bagaimana saya mengetahuinya?
LAINNYA Menabung Waktu
Ya, tanpa terduga suatu hari saya menerima kabar darinya (kami memang pernah bertukar nomor telepon ketika dia keluar dari rumah sakit setelah istrinya berpulang). Ia menelepon dari Kalimantan, menceritakan tentang keberadaan diri dan kegembiraannya.
“Saya kini mampu berbagi lebih banyak lagi, ” kisahnya membuat saya terperangah. Spontanitas saya rupanya telah menghadiahkan seorang kawan yang tanpa direncanakan menjadi… relawan di pedalaman.
Saya perempuan. Dan, kini saya suka sekali bunga. Mungkin sejak menerima vas bunga dari Pak Muji, seorang driver yang tulus hati. Terlebih lagi, sejak melihat serumpun mawar merah hati di rumah sakit. Bukti tanda kasih dari seorang suami terhadap istrinya itulah, persepsi saya tentang bunga berubah.
Beraneka bunga warna-warni sosoknya dahulu yang hanya selintas saya pandang sebelah mata, kini aroma harumnya mampu saya hirup ke mana-mana. Tidak percaya? Cobalah letakkan saja sekuntum bunga dalam wadah sederhana sekalipun, suasana mendung murung hari-mu, sim–sala–bim …niscaya akan berubah ceria.
Ya, mungkin karena saya telah melihat bunga dari sudut pandang berbeda. Aneka ragam bunga, tanaman hijau, hewan-hewan di sekeliling, dan tentu saja sesama kita manusia; ke semua itu merupakan hadiah terindah dari-Nya.
Alam semesta, ciptaan raya mengingatkan kita agar selalu mau berbagi. Menjadikan dunia ini sebagai tempat yang lebih baik, dan lebih baik lagi. Sampai hari ini, detik ini, saya masih tak lupa mereka yang telah memberi saya hadiah-hadiah terindah.
Walau ibu kos sudah almarhum. Walau tak bisa ngobrol bareng seperti dahulu di sepanjang perjalanan dalam mobil, saya masih menyempatkan diri untuk sekadar say hello dengan Pak Muji via telepon.
Dan, hei, Bapak Relawan yang mengasihi istrinya, apa kabar-mu sekarang? Di mana pun berada, semoga baik-baik saja… .
Berkah dalem.