oleh HERYUS SAPUTRO SAMHUDI
…di Arafah di ujung wukuf
9 Dzulhijah 1438 Hijriah
kuingat kau berkelebat di antara tenda
dan pohon-pohon Soekarno
menyatu di derap langkah jamaah dunia
bergegas ke Musdalifah
buat mabit buat pungut 49 butir jumrah
kerikil buat nimpuk setan di Mina:
marma Aqabah, Wustha, dan Ula
…kutangkap juga senyummu berpauh ke hati
terselip di atara bau tubuh jejalan jamaah
berpusing tujuh keliling Ka’bah,
thawaf kitari Baitullah
kau untit juga langkahku shalat 2 rakaat
dekat maqam Ibrahim di garis imajiner Multazam
dan lalu tanpa menoleh
kau sodorkan segelas zamzam
pelepas dahaga sebelum kita masuk barisan
sa’i tujuh X 400meter antara Sa’fa dan Marwah
dan rasanya…kau juga menggunting
jempal rambutku, thahalul,
sebelum kau hilang dari pandang
Siapa kau menguntitku sejak dari Mekah
menjajari langkah
mlengos tiap kali ingin kupotret
tapi kita sama kumandangkan
Labbaikallahuma labbaik
labbaikka laa syarika laka labbaik…
Nabi Khidir kah, kau…?
Tapi wajahmu sungguh melayu
Ah, kuingat kau…wajah yang hadir
di lembar komik masakecilku
Kau, Laksamana Hang Tuah
haji melayu pertama, haji melayu utama…
Ya,
kubaca hikayatmu
berkeris Tamingsari buatan Majapahit
kau acak-acak begal dan rompak
amankan laut Selat Malaka
lalu dipecaya raja
menyandang predikat
Laksamana
“Raja bijak raja disembah, raja lalim raja…,”
katamu di Tarikh 1482 Masehi
saat kau emban tugas sebagai duta melayu
tegak di atas geladak Mendam Berahi
pimpin armada 42 kapal 1.600 orang
angkat sauh kembangkan layar
ke ujung utara Laut Merah
buat beli bedil besar ke raja Rum
(kupikir pehikayat salah kutip ihwal Rum
kupikir barangkali Khalifah Abasiyah
di Mesir, maksudnya)
demi perkuat pertahanan pantai Melaka
Menjelang Dzulhijah jangkar kapal-kapal
(lancangkuning, pinisi, dan jung-jawa barangkali)
kau labuh di Jedah karena kau mau
ziarah ke makam Siti Hawa istri Adam
ibu bermilyar manusia, ibu semua melayu
lalu setelahnya kau tunggang unta arab,
Si Punuk Satu,
ke Mekah dan (aneh…!)
kita bareng wukuf
di Arafah…
Ya, Hang Tuah
Laksamana, anak melayu pertama bergelar haji
kita beda zaman
apa maksudmu
memperlihatkan jejak padaku?
“Tak kan Melayu hilang di…Arafah.”
Sepertinya…begitu katamu
sambil kerdipkan sebelah mata
selepas Thawaf Wa’da dan bilang:
hendak ziarah ke Madinah
sebelum lanjutkan misi ke sasar tugas
beli bedil besar, beli Meriam…
O, Hang Tuah
Laksamana, anak melayu pertama yang naik haji
telah khatam kubaca hikayatmu
…lahir di gubug reyot dari keluarga jelata
tapi siapa Ibu-Bapakmu, dimana kau lahir,
apa kebangsaanmu? Indonesia, kah?
Pehikayat lupa mencatat
Aku hilang jejak.
Mekah, 14 Dzuhijah 1438 Hijriyah – 03 September 2017
Catatan:
Kurator Sutardji Calzoum Bachri, Rida K Liamsi, dan Hasan Aspahani, memilih puisi Hang Tuah Naik Haji, sebagai bagian isi Antologi Puisi “JAZIRAH – Jejak Hang Tuah dalam Puisi”, terbitan bersama Dinas Kebudayaan Provinsi Kepri, Dewan Kesenian Kepri, dan Yayasan Jembia Emas dalam rangka Festival Sastra Internasional Gunung Bintan dan Hari Puisi Indonesia di Kepulauan Rau, 2018