Lesti Kejora saaat heboh menikah dan heboh terkena KDRT sang suami sendiri. Kebahagiaan, kesedihan pribadi, telah menjelmba menjadi konsumsi publik. Secara terbuka. Apa adanya.
Momen pernikahan yang gegap gempita, digelar berkali-kali pesta meriah, Agustus 2021, telah berlalu. Hitung-hitung baru setahun, penyanyi dangdut (Melayu?) Lesti Kejora, akhirnya memberikan laporan ke Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, perihal kasus KDRT yang dialaminya.
Ya, biru lebam di mata dan kepala Lesti yang sedang dalam perawatan di rumah-sakit akibat perbuatan sang suami, Rizky Billar, jelas disebut KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga).
Tak usahlah dirinci apa yang dilakukan Rizky terhadap istri, ibu satu anaknya sendiri itu. Banyak media sudah menuliskan perbuatan suami yang tak tega ditulis di sini. Ibarat pendekar, eh, penjahat menggelar jurus silatnya!
Akibatnya jelas, seorang Rizky Billar yang sempat dipuji-puja, kini auto fix menjadi musuh emak-emak se-Indonesia. Komentar netizen, khusus fans “Leslar” (Lesti-Billar) bertabur di medsos. Hujan hujatan, dan bahkan ada lho, emak-emak dengan wajah penuh api kebencian merobek-robek foto mereka (terutama Billar yang wajahnya tentu saja jadi compang-camping di-gremet sarat kemarahan!) Dan, itu divideokan (cek Tik-tok!)
Sederas itu emosi jiwa yang melanda netizen jika menyangkut hal ikhwal idola kesayangannya. Mengerikan, bukan?
Sangat menggemaskan, malah! Miris! Apalagi …KDLS! Ha, apa pula itu? Ya, kerusuhan yang terjadi di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur (1/10), usai laga sepak bola Arema FC vs Persebaya yang memakan korban ratusan nyawa, adalah KDLS (Kekerasan Dalam Liga Sepak bola)!
Bentuk kekerasan yang bukan lagi personal seperti KDRT, melainkan sudah menyebar menjadi kekerasan massal. Suporter Arema yang tidak bisa terima realita tim favoritnya kalah 2:3 di kandang sendiri. Padahal, suporter Surabaya sudah dilarang masuk ke kota Malang, apalagi ikut masuk ke stadion. Kekalahan yang boleh dibilang “tipis-tipis” saja itu sudah melecut kemarahan membabi-buta, memicu kericuhan.
Menerobos masuk pagar pembatas lapangan, untuk ukuran berbondong-bondong secara massal itu tentu saja kemudian menjadi tragedi memilukan. Gas air mata yang disemprotkan aparat keamanan bukan memadamkan malah menjadi-jadikan korban berjatuhan semakin bertambah lagi.
Bayangkan, saling berdesakan, berhimpitan, dorong mendorong, jatuh tertimpa panik yang menyerbu, lalu baku hantam…membakar mobil petugas keamanan. Oh! Cuma dua kata: “pilu-ngilu!” Jumlah korban nyawa hilang sia-sia.
Banyak ibu mengaku resah dan takut membayangkan anaknya yang kebetulan kuliah di UB, atau terutama “penggila bola” tidak bisa dihubungi ponselnya. Rumah yang berdekatan dengan stadion saja sudah ‘ceklek’ kunci pintu rapat-rapat jika ada pertandingan sepak bola. Apalagi, setelah peristiwa terjadi dan benar memakan korban jiwa!
Jumlah yang tewas bermula 127,130,meningkat 152…dan up date laporan media massa mencapai berapa ituu akhirnya totalnya? Belum lagi mereka yang dirawat di rumah-sakit… ratusan! Dan, di antara korban nyawa yang hilang di antaranya adalah merupakan anak-anak dari seorang ibu, keluarga yang selalu dinantikan kehadirannya di rumah….Can you imagine?
Tragedi Kanjuruhan ini, konon terbesar dalam sejarah sepak bola Indonesia. Dan, nomor dua setelah 328 orang suporter tewas di Estadion Nacional Disaster, pada tahun 1964 di Lima, Peru.
Hmm, kurun waktu yang lumayan panjang memang. Tapi, jika dicermati KDLS ini bukan cuma sekali ini terjadi, tho. Sudah berkali-kali! Dan, pemantik utama kerap serupa: bara api kemarahan yang tak terjaga. Membludak meledak hingga memorakporanda, membumihanguskan manusia itu sendiri.
Keprihatinan, kesedihan sangat akan robohnya korban-korban kekerasan akibat marah yang tak terkendali. Baik dialami personal (KDRT), atau menyebar massal (KDLS). Bisa jadi yang namanya manusia memang perlu belajar dan lebih memahami tentang adab budi pekerti. Bagaimana tata-krama saling menghargai, menghormati hak-hak dari orang lain. Bagaimana berkewajiban dan bertanggung jawab, melindungi tidak hanya diri sendiri tetapi juga pihak lain?
Seseorang yang dihormati oleh sebab upayanya mengatasnamakan doktrin protes tanpa kekerasan (satyagraha) sekelas Mahatma Gandhi, pernah menyerukan kunci hati welas asih sebagai penyanggah konflik kekerasan.
Bagaimana caranya? Menurut Gandhi, “Orang yang berbahagia tidak akan melakukan kekerasan. Orang yang penyayang, lemah-lembut bahkan terhadap ciptaan makhluk lainnya seperti hewan dan tanaman, akan membuat alam semesta damai sejahtera. Karena tidak akan ada tempat baginya untuk menjentikkan kemarahan sekecil apapun di luar kontrol dirinya. “
Aha. Mungkin benar. Orang yang sedari kecil, muda remaja, terasah empatinya, secara adab budi pekerti, dan termasuk seni sastra yang konon mampu melembutkan hati; bisa jadi mengajarkan orang menjadi lebih kritis dan bijaksana. Tidak semena-mena tergerus emosi. Paling tidak, mampu bertahan seberapapun krisis terjadi dalam banyak hal.
Seperti yang lebih terjadi di era pandemi saat ini. Orang sulit menjadi bahagia, mudah terpicu kemarahan mulai dari hal remeh-temeh yang sepele saja. Terkait oleh krisis sikap, karakter, budaya,… ekonomi? Oho, jelas ini akan menyeret banyak pihak! Tidak saja masyarakatnya itu sendiri, tetapi keluarga dan pemerintah sebagai support system.
Boleh jadi refleksi saya ‘ngaco’, tetapi paling tidak, saya lega sudah menumpahkan keresahan. Menulis adalah satu di antara sekian cara membuang ‘sampah’ (termasuk emosi jiwa…kemarahan, keprihatinan).
Salam damai,
31022,11:04.
BACAAN LAIN
Artis Korban KDRT, dari Yuni Shara hingga Lesti Kejora
Ceramahnya Dianggap Dukung KDRT, Ustadzah Oki Setiana Tuai Kecaman
Istri Marahi Suami Dianggap KDRT Psikis. Tuntutan 1 Tahun Penjara