Anak bandel itu katanya lumrah. Bahkan ada yang bilang, bandel itu menunjukkan anak yang pintar dan sehat. Dibandingkan dengan anak yang pendiam, malas bergerak, dan mungkin sakit.
Bandel itu biasa, asal tidak diumbar. Anak yang super aktif, jika tidak diingatkan dan diarahkan, bisa kebablasan. Akibatnya, orangtua bisa kewalahan sendiri.
Jangan bilang nasi udah jadi bubur, kasep, atau terlambat. Meski berwujud bubur, jika diberi racikan bumbu, bubur itu berasa lezat dan laku dijual.
Apalagi anak bandel.
Jangan bilang anak bandel itu terlambat dan sulit untuk diperbaiki, jika kita sebagai orangtua malas untuk mengingatkan, menasehati, dan mengarahkannya.
Lebih suloyo lagi, jika kita menyerah dan membiarkannya. Kita lepas tangan, dan kehilangan tanggung jawab terhadap masa depan anak.
Begitu pula di dalam suatu komunitas, organisasi, atau perusahaan.
Ada anggota yang bandel itu lumrah. Ketika kelumrahan itu dibiarkan, maka semua jadi salah kaprah. Karena nila setitik, rusak susu sebelanga.
Bukan berarti, gegara bandel, yang bersangkutan layak untuk diadili, dipisahkan, atau dibuang dari komunitas. Hal itu jauh dari sifat bijak. Bahkan berkesan, kita ingin gampangnya dan lepas dari tanggung jawab.
Seburuk & sebandelnya seseorang itu dapat diperbaiki, karena sifat manusia itu mudah berubah. Alangkah baiknya, jika kita bicara dari hati ke hati untuk mencari solusi.
Seandainya mentok, barangkali kita yang mengubah pola pendekatan, pola pikir, dan menemukan akar permasalahan, atau untuk menyamakan persepsi.
Keluarga, komunitas, atau organisasi yang sehat itu jika sesama anggotanya berani belajar mawas diri, sabar, dan rendah hati.
Dengan menanggalkan ego sendiri untuk saling mengingatkan, menguatkan, dan mengarahkan kepada tujuan demi cita-cita bersama.
Sukses itu selangkah lebih dekat, ketika kita mampu menjaga hubungan yang sehat antar anggotanya. (MR)