REFLEKSI oleh Belinda Gunawan
Hubungan ortu dan anak sangat khas, terlebih antara ibu dan anak perempuannya. Aku sering menulis tentang hal ini. Bahkan boleh dikatakan ini adalah salah satu topik kesukaanku.
Pernah sekali aku menulis tentang seorang ibu yang mengeluh anaknya jarang menelepon, boro-boro datang mengunjunginya. Pembacaku satu generasi menyayangkan sikap anak, tapi pembaca yang lebih muda sebaliknya. Mereka bilang, kalau memang kangen, kenapa bukan si ibu yang menelepon anaknya duluan? Apakah gengsi?
Mereka berpendapat, para ibu masakini harus punya kesibukan dan keasyikan sendiri sehingga tidak sering merasa kesepian dan mengeluh soal anaknya, Bukankah anaknya punya kehidupan dan kesibukan sendiri, sehingga hari-hari berlalu begitu cepat tanpa ia sempat berkomunikasi dengan ibunya?
Aku setuju pada pendapat kedua generasi. Aku cuma mau menambahkan, bahwa suatu-saat-entah-kapan, ortu akan meninggal. Pada waktu itu semua anak, baik lelaki maupun perempuan, akan berduka. Dalam duka itu tersisip penyesalan, bahwa mereka belum bisa membalas budi ortu, belum cukup memperhatikannya, belum menjalin komunikasi dengan selayaknya, walaupun dalam hati ada cinta.
Penyesalan itu umum dan wajar. Aku pun dulu begitu terhadap ortuku. Menyesal terlambat menikah sehingga ibuku keburu sakit sebelum ia bisa pesiar ke Singapura, suatu cita-cita yang sesungguhnya tidak terlalu langka. Menyesal belum dapat memberinya sesuatu yang berharga, bahkan amplop bulanan sekalipun sebab Ibu selalu mengatakan, aku lebih membutuhkannya buat anakku. Menyesal tidak bisa merawatnya ketika Ibu sekarat sebab di saat yang sama, bayiku sendiri sakit berat.
Sesal kemudian tidak berguna, kata perumpamaan. Makanya ada temanku yang komen begini: Supaya sesalnya tidak kebangetan, seyogyanya anak menggunakan kesempatan selagi ada. Berbaktilah, berperhatianlah selagi ortu masih hidup. Ini juga benar.
Aku hanya ingin mengatakan, bahwa kedua anakku tidak perlu terbebani rasa sesal seperti itu, suatu saat kelak. Di mataku mereka cukup oke sebagai anak, dulu ketika masih tumbuh maupun sekarang ketika sudah menjadi ortu. Setiap fase dalam hidup mereka memberiku sesuatu. Ada suka ada duka, ada agony ada ecstacy. Ada romantika kehidupan yang membuat hidupku ini bermakna dan patut kusyukuri.
Tentang ortu yang sebisanya punya kesibukan tersendiri, aha, aku jadi ingat pesan anakku di awal masa PPKM darurat awal Juli lalu ketika virus Covid jenis Delta menggila, “Mama lakukanlah apa yang Mama suka. Menulis buat Nubar, menulis di FB, menulis di seide.” Dia tahu mamanya tidak suka memasak, tidak gemar berkebun, tapi punya cara sendiri untuk mengisi hari-harinya. Ia tahu mamanya bisa asyik sendiri tanpa mengganggunya di jam-jam sibuknya, di saat ia sedang menghadapi perjuangan hidupnya.
Ia tahu, sebab kami berkomunikasi. (BG)