Foto Harry Suwandito
Oleh HERYUS SAPUTRO SAMHUDI
MASIH INGAT Majalah ZAMAN? ‘Anak pertama’ Majalah Berita Mingguan (MBM) TEMPO ini berusia pendek. Terbit perdana (dibagikan gratis) minggu ke-2 September 1979, dan No.1/Th I pada minggu ke-2 Oktober 1979 (harganya Rp 250), dihentikan pengelolanya (Pemimpin Redaksi Goenawan Mohammad, Redaktur Pelaksana Putu Wijaya) tahun 1985. SIUPP-nya lantas digunakan menerbitkan Majalah MATRA di tahun 1986.
Walau ‘mati muda’, Zaman menggores kenangan tersendiri bagi masyarakat pembaca Indonesia, khususnya pelaku seni. Karena ZAMAN selalu menghadirkan ruang sastra (cerpen, puisi, esai) dan seni rupa baru yang honor pemuatannya gede. Seniman yang karyanya dimuat jadi ‘naik gengsi’. Tak kalah bergengsi dengan karya yang tampil di Majalah HORISON, barometer pemuatan karya seniman Indonesia saat itu.
Yang menarik, cover Zaman selalu menghadirkan gambar/lukisan (atau foto) surealistik. Cover edisi perdana (saya kutip dari blog’s Kemala Atmojo) misalnya, bergambar apel merah yang tangkai buahnya tumbuh sepasang daun, dan di bawah buah mencuat akar tunjang. Atau edisi No 1/Th I, berupa cangkang telur yang memperlihatkan sepasang tungkai kaki seseorang yang tertidur di dalamnya.
Saya juga pernah andil membuat sebuah cover ZAMAN. Saya lupa edisi nomor/tahun berapa? Yang pasti cover Zaman tersebut mengungkap sosok seekor kelumang atau umang-umang (Hermit Crab) capit merah yang rumahnya unik, berupa sebuah gelas beling transparan yang pecah permukaannya. Itu karya berdua fotografer Harry Suwandito (almarhum) dan saya: Heryus Saputro.
Saat itu tahun 1979/1980. Selain mulai belajar jadi wartawan, saya juga punya job sebagai perancang/pemandu wisata jelajah ke lokasi-lokasi khusus: gunung, lembah, hutan, laut yang merupakan lokasi-lokasi konservasi alam. Saat itu tiap Sabtu-Minggu, untuk rentang waktu sekitar 4 bulan, saya sedang dapat job memandu pelajar/pencinta lingkungan dari beberapa SMA di Jakarta untuk penelitian lapangan di Pulau Rambut.
Pulau Rambut adalah satu dari sekitar 107 buah pulau bernama di Teluk Jakarta yang sekaligus merupakan bagian dari Taman Nasional Laut (TNL) Kepulauan Seribu. ‘Hobi’ saya ‘liburan’ tiap minggu ke Pulau Rambut ini menarik tiga orang wartawan senior saya, yang tiap sore biasa mangkal di Warung Poci samping Bioskop Garden Hall dan SMA Negeri 6 Jakarta di kawasan Jalan Bulungan-Mahakam – Jakarta Selatan.
Ketiga senior (semua sudah almarhum) itu: wartawan Majalah Dewi Harry Suwandito (abangnya Bens Leo), Wartawan Majalah Putri Indonesia Sjarifudin A. Ch, dan RedPel saya di Majalah Sonata, Bang Teguh Esha yang pengarang Ali Topan. Berangkatlah kami di Jumat Pagi dari Bulungan, berboncengan dengan 2 sepedamotor menuju Tanjung Pasir di utara Tangerang, lalu bersampan ke Pulau Rambut
Sebagai kawasan konservasi, perlu izin masuk (kini disebut SIMAKSI) Cagar Alam Pulau Rambut. Perizinan saya peroleh dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Pusat di Kota Bogor, dan dari Dinas Kehutanan Pemprov DKI Jakarta yang berkantor di bilangan Salemba. Dengan begitu kawan-kawan pers bisa ikut meliput aktivitas pelajar meneliti keanekaragaman hayati Pulau Rambut.
Kelumang dengan cangkang gelas beling bening sebagaimana ilustrasi di atas, saya temukan merayap di celah-celah akar pohon bakau (mangrove) tak jauh dari lokasi tenda kami di pinggir pantai. Sengaja saya perlihatkan ke teman-teman pers, sebagai bukti bahwa pencemaran lingkungan, dan hobi masyarakat buang sampah (bermuara di laut) sembarangan, juga sudah melanda sampai ke Pulau Rambut.
Tak cuma kelumang yang menggunakan gelas retak sebagai cangkang, digondol kesana-kemari. Bahkan malam itu juga kami temukan beberapa kelumang dengan cangkang ragan rupa wadah plastik dan beling bekas produk barang yang umum dijual di pasaran bebas dan digunakan masyarakat luas. Ada yang bercangkang bekas salep dan balsem, bekas botol susu asam hasil permentasi, dan lain sebagainya.
Kelumang atau umang-umang, adalah hewan golongan crustacea dari superfamili Paguroidea. Orang Inggris menyebutnya hermit crab atau ketam/kepiting pertapa, karena perilakunya yang gemar mengembara dan kebiasaannya hidup sendiri di rumah atau cangkangnya. Anak-anak mengenalnya sebagai mainan hidup yang lucu, unik, suka sembunyi di cangkang molluska (siput) yang selalu dibawa kemana saja ia pergi.
Hewan nocturnal (aktif di malam hari) ini terbagi menjadi kelumang darat dan yang hidup di laut. Namun keduanya berlarva akuatik, perlu akses ke air untuk reproduksi. Setelah 28 hari di laut, larva menetas telanjang tanpa cangkang, lalu mencari/mencuri cangkang siput untuk tempat abnomennya yang lunak. Jenis darat keluar dari laut dan kehilangan kemampuannya hidup di air, sepenuhnya jadi kelumang darat.
Cangkang ditempati sepanjang tubuhnya muat. Kian besar, kelumang perlu cangkang baru, perlu merebutnya dari siput atau bakurebut sesama kelumang. Dalam situasi susah mencari rumah baru yang pas itu, kelumang menemukan wadah plastik atau gelas buangan orang yang dibawa ombang dan singgah di Pulau Rambut. Saya temukan. Almarhum Mas Harry Suwandito memotretnya dengan apik.
Redaktur ZAMAN (Mas Riantiarno, Almarhum Mas Danarto dan almarhum Bang Sori Siregar) terkesmima melihat hasil foto Kelumang Berumah Gelas temuan saya itu. Mas Putu Wijaya tak ingin saya Cuma menulis artikelnya, tapi juga memuat foto jepretan Mas Harry Suwandito sebagai cover ZAMAN. Honornya dibagi dua, karena nama kami berdua yang tercantum di artikel, juga sebagai pembuat cover. ***
01/08/2021 Pk 11.02 WIB