Sudah berbagai ragam sineas Amerika membuat film tentang perang Viet Nam. Dari yg ecek-ecek alias film kelas tiga alias film kacangan sampai film bermutu garapan Francis Ford Copolla sampai Oliver Stone.
Rata-rata film tersebut (terutama yang kacangan), menggambarkan betapa digdayanya Amerika. Betapa gagahnya para serdadu muda itu. Copolla, meski tak terjebak pada stereotype ‘kebohongan demi berdagang’ itu, ‘hanya’ membuat film ‘indah, unik dan artistik’. Terlalu artistik untuk sebuah kepahitan, penderitaan dan kehancuran yang diakibatkan oleh perang. Marlon Brando konon dibayar mahal sekali untuk kemunculannya yang cuma sekelebat. Barulah setelah Oliver Stone membuat “Platoon”, mata penonton dan khalayak Amerika agak sedikit terbuka dan ‘tercerahkan’.
Oliver stone konon pernah menjadi serdadu yang diturunkan ke kancah perang Viet Nam. “Platoon” dengan gamblang menggambarkan betapa anak-anak muda ‘yang terpaksa’ menjadi tentara (karena wajib militer) itu nampak frustrasi, kebingungan dan putus asa. Mereka tak tau siapa sebebarnya musuh mereka, apa yang mereka bela, siapa yang mereka bantai, kenapa mereka berperang..?
Pertanyaan-pertanyaan itu adalah pertanyaan semua rakyat Amerika. Pertanyaan semua warga dunia.
Aku sesungguhnya tak suka nonton film perang dan film horor.
Tapi kengerian di museum ini adalah sejarah.
Sebelum memasuki museum, sang guide bergurau dengan getir: “Silakan masuk. Tapi bagi yang tak tahan dengan kengerian, silakan menunggu saja di sini. Atau paling tidak, persiapkan saputangan atau tisyue. Nah, kita berkumpul lagi kira-kira 45 menit dari sekarang, di sini, dekat penjual buku-buku foto ini.
War Remnants Museum itu menempati area yang cukup luas. Bangunannya ‘hanya’ bekas semacam gedung kantor administrasi berlantai dua, ketika Amerika masih ‘bercokol’ di Viet Nam. Tentu tak semegah gedung Reunification Palace.
Hampir tak terlihat tulisan besar sebagai penanda bahwa tempat itu adalah museum penting sejarah. Pintu gerbang biasa saja.
Guide menggiring kami ke sebuah ruangan seperti sedang ada ‘pasar kaget’ atau semacam bazar. Pedagang cindera mata, pengunjung, gerai makanan kecil, pedagang minuman dan penjual buku-buku foto dan pernak-pernik tumplek di lantai itu.
Di lantai dua, suasana agak berbeda. Sekilas, kita seperti melihat museum memorabilia pealatan dan galeri foto Amerika. Peralatan perang, alat penyiksa, peluru-peluru berbagai ukuran. Mortir(?), granat berbagai bentuk. Puing-puing logam pecahan kendaraan perang. Puing-puing logam bekas pecahan pesawat…
Foto-foto yang terpasang adalah foto-foto kengerian perang. Foto-foto dari para wartawan hebat dari bebagai negara itu, awalnya ‘hanya’ memenuhi keingin tahuan. Tapi lama-lama membuat mata berkunang-kunang membayangkan kengerian perang.
Istri dan gadis bungsuku tak tahan.
Awalnya istriku merasa heran, kenapa dia merasa agak pusing, matanya bekunang-kunang dan perutnya agak mual. Setelah melihat beberapa foto yang menggambarkan tubuh-tubuh manusia dari balita, remaja bahkan orang dewasa yang tumbuh kurang sempurna dan cacat secara ekstrem, barulah istriku menyadari bahwa foto-foto kengerian itulah yang membuat perutnya mual.
Aku lalu menyuruhnya untuk menungguku di lantai bawah dan duduk-duduk saja dan segera mencari minuman hangat. Istri dan gadis bungsuku tak sanggup melanjutkan untuk menyaksikan kengerian itu. Aku lalu mencari-cari gadis sulungku. Kami sempat terpisah ketika menyaksikan foto-foto horor ini.
Ketika melihat-lihat foto berikutnya sambil mencari gadis sulungku, aku berbincang dengan seorang pemuda yang sedang asyik memotret. Pemuda itu adalah wartawan foto dari Thailand.
Dia bercerita dengan mata berkaca-kaca. Keluarganya dulu pernah menjadi semacam tempat penampungan pengungsi dari Kamboja. Kakek-neneknya dulu org yang cukup berada. Tanahnya luas. Di sanalah mereka menampung ratusan, mungkin ribuan orang petani dan ribuan orang yang kebingungan dari Kamboja berbondong-bondong mencari perlindungan. Kamboja adalah tetangga dekat Viet Nam. Kengerian perangnya kala itu tak kalah dahsyat. Mungkin lebih mengerikan karena di Kamboja juga terjadi perang saudara. Manusia yang terbantai konon mencapai 1/3 dari jumlah seluruh penduduk.
Ketika bertemu, gadis sulungku sedang terpaku pada foto besar menampilkan wajah-wajah dengan keterangan di bawahnya. Ternyata itu adalah wajah para wartawan yang dinyatakan tewas atau hilang selama perang Viet Nam.
Gadis sulungku agak terkejut seperti orang ‘terganggu’ dari lamunan ketika aku sapa.
Di berbisik: “Tadi kulihat beberapa turis bule meneteskan airmata”
Memang, hampir semua pengunjung, keluar dari museum ini dengan mata sembab, paling tidak berwajah duka,…duka yang dalam.
Karena menurutku, tak ada yang menang dalam setiap peperangan. Semua kalah..
Yang kalah adalah: kebebasan, kemanusiaan dan kehidupan…
(Aries Tanjung)