Ketika Canting Mewujud Dalam Maha Karya Novel Sastra

Novel “CANTING”

Seide.id -Bagi orang kebanyakan, saat melihat “Canting”, yang terpikir adalah alat memindahkan cairan yang khas dipakai untuk proses pembuatan batik tulis. Tapi di mata Arswendo Atmowiloto, “Canting” mewujud dalam maha karya novel sastra.

Diterbitkan pertama kali tahun 1986, 33 tahun yang lalu.

Canting adalah novel yang berkisah tentang citra perempuan dalam sebuah keluarga ningrat.

Berangkat dari seorang Raden Ngabehi Sestrokusuman (yang bernama kecil Daryono) mendobrak tradisi keraton yang ratusan tahun kokoh terpelihara dengan mengawini seorang perempuan buruh batik milik ibunya sendiri.

Perempuan itu bernama Tuginem.
Kelak pasangan ini lebih dikenal dengan sebutan Pak Bei dan Bu Bei.

Dari mereka ini konflik cerita muncul, bertumbuh, menyebar dan saling melilit sehingga membangun kisah yang menawan. Kehidupan keluarga yang bukan hanya diisi dengan tawa gembira, tetapi juga tangis yang berderai air mata. Ada 6 anak lahir di keluarga ini. Berturut-turut Wahyu, Lintang, Ismaya, Bayu, Wening dan Ni. Anak yang terakhir inilah, Pak Bei menduga bukan berasal dari bibitnya.

Arswendo mencoba menyingkapkan kehidupan ningrat, yang secara realita tak jauh beda dengan rakyat kebanyakan. Bu Bei sebagai orang ‘luar’ yang masuk dalam keluarga Ngabehi, ternyata yang justru melanjutkan usaha dari Ibu mertuanya. Dia menjadi tulang punggung ekonomi keluarga.

Dengan brand “Canting”, batiknya menjadi usaha yang menghasilkan uang bukan hanya untuk kehidupan sehari-hari Pak Bei sekeluarga dan menyekolahkan anak-anak tetapi juga menghidupi 112 buruh batik.

Melalui “Canting” Arswendo menunjukkan bahwa kekuasaan itu cenderung curang.

Sebut saja kisah ini, pertama: Wahyu, sulung Pak Bei menghamili salah satu anak gadis buruh batik. Penyelesaiannya? Gadis itu dikawinkan dengan salah satu buruh batik lainnya. Wahyu aman.

Kisah berikutnya, Lintang anak kedua Pak Bei ternyata memaksa kedua buruh batik untuk melakukan korupsi usaha orangtua mereka sendiri. Dan uang hasil korupsi itu diambil Lintang untuk menyogok agar suaminya mendapatkan kenaikan pangkat di militer. Lintang pun tetap aman.

Novel ini bertutur dengan bersettingkan kota Solo di tahun 1962 sampai tahun-tahun awal di masa Orde Baru. Arswendo tampak teliti sekali dalam melakukan riset. Meski dia hanya kuliah 3 bulan, tapi di novel ini dia bisa berbicara tentang sejarah, sosiologi, psikologi juga antropologi masyarakat saat itu. Bahkan sampai-sampai pada pilihan kata pun, dia menyesuaikannya. Sebut saja, di zaman itu dia tidak memakai kata ‘shampo’ untuk pembersih rambut, tetapi ‘obat keramas’ (halaman 33)

Novel Canting

Novel “Canting” berbicara tentang realita kehidupan.
Tentang perjuangan,
tentang kejujuran,
tentang keberanian.
Itu nyata ketika setelah Bu Bei berpulang secara mengejutkan, tak ada anak yang mau melanjutkan usaha batik yang kian melemah karena terdesak oleh batik printing. Hanya Ni, anak bungsu yang melakukan langkah berani. Dia terpanggil untuk membangkitkan kembali Batik Cap Canting.

Justru melalui Ni, anak yang diragukan darahnya bertrah Ngabehi, Batik Cap Canting dibangkitkan bahkan bertransformasi dalam strategi pemasaran.
Hasilnya? Menyesakkan.
Tetap terpuruk.
Mengenaskan.

Pagi-pagi, Arswendo -melalui novel ini- menyuarakan tentang signal bahaya kapitalisme batik printing, yang akan menginjak-injak batik tulis dan batik cap.

Jauh sebelum Unesco menetapkan bahwa Batik sebagai warisan dunia dari Indonesia pada 2 Oktober 2009 lalu. Tulisan Arswendo di Novel ‘Canting’ bagai suara profetik yang masih terjadi secara aktual sampai saat ini. Pengrajin batik kian tersingkir dengan indutri pabrikan batik printing.

Dengarlah dialog Ni dan Himawan, pacarnya di novel ini (halaman 339).
“Kamu tahu proses membuat batik yang sungguhan? Bisa berbulan-bulan. Kamu tahu proses printing? Sekejap saja sudah jadi ratusan atau ribuan meter.
Dan sekaligus tidak melalui proses yang rumit.
Printing gila itu bisa meniru motif yang saya keluarkan, dan sebulan kemudian pasar sudah dipenuhi hasilnya.”

Arswendo melalui novel “Canting” memperjuangkan nasib wong cilik, orang kecil.
Para pengrajin batik kota Solo.
Yang kebetulan, adalah kota kelahirannya.

Setio Boedi

https://seide.id/sudesi/

Avatar photo

About Setio Boedi

Penulis di beberapa media online dan khusus, Editor beberapa buku dan penerbitan, tinggal di Semarang.