Bisa jadi ini yang pertama di Indonesia bahkan di dunia. Film pendek yang diproduksi oleh para tunanetra. Enam orang penyandang disabilitas tunanetra membuat film pendek .
Oleh YUDAH PRAKOSO R.
ADALAH Arif Prasetya penyandang tunanetra , mahasiswa Fakultas Psikologi di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta yang menyutradari sebuah film pendek berdurasi 20 meit itu dengan judul Ning Nong Ning. Film bertema kriminal – pembunuhan atas saksi mata peristiwa pembunuhan ini digarap dengan apik dan cermat.
Satu lagi Taufik Rahmadi Sitorus, penyandang tunanetra, mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris Universitas negeri Yogyakarta – UNY berhasil menyutradarai film pendek berdurasi 20 menit dengan judul Seutas Asa, menyajikan drama percintaan antara Ratna yang diperankan oleh Aulia penyandang tunanetra dengan Galih seorang laki-laki muda, ganteng, dan normal. Ratna akhirnya bunuh diri dengan menggantung dirinya di kamar kos karena hamil atas hubungan percintaan itu sementara Galih lari tidak bersedia bertanggung jawab.
Untuk naskah, kameraman, dan kru lain dibantu oleh komunitas Rumah Kandang di Desa Gamping Yogyakarta. Tenaga pendukung ini adalah anak-anak muda kreatif yang secara fisik normal.
Bermula ketika Indra Tirtana diajak Meyra Miranti pimpinan sebuah komunitas Rumah Sinden yang mendampingi para tunanetra ini dalam berproses kreatif. Menurut Indra dia diminta oleh Meyra untuk memberi workshop yang akhirnya berbuntut pada proses produksi dua buah film pendek itu.
“Awalnya saya hanya mengadakan worshop soal produksi film kepada teman-teman tunanetra itu terus akhirnya kita sepakat membuat dua film pendek. Ada enam orang penyandang tunanetra. Kita bagi ke dalam dua kelompok. Kelompoknya Arif dan Taufik. Akhirnya berhasil memproduksi dua buah film pendek yang dua duanya bertema kriminal’, demikian penjelasan Indra Tirtana ketika pemutaran dua buah film itu di Rumah Kandang 7 Desember 2021 lalu.
Ada istilah “layar berbisik” yaitu ketika seorang tunanetra “menonton” dan menikmati sebuah karya film. Mereka didampingi oleh seorang “pembisik” yang membisikkan ke telinga para tunanetra, apa yang dilihatnya di layar. Adegan, komposisi, gerakan, suasana dan sebagainya. Hanya berbisik karena mereka masih bisa mendengar suara dan dialog dalam film itu.
Selama ini “layar berbisik” dilakukan untuk melihat karya film orang lain. Jangan meremehkan para tunanetra ini, mereka seperti kita semua yang suka dan gemar menonton film.
Bahkan sebagian dari mereka adalah pecandu Drama Korea. Menurut Nanang Garuda dosen di Institut Seni Indonesia salah satu pembimbing produksi mereka, tidak pernah ada kesulitan yang berarti dalam proses produksi. Istilah “menonton” sudah terbiasa bagi mereka dengan cara mendengar yang kemudian ditranformasikan secara otomatis menjadi sebuah tontonan.
”Menarik sekali, mengharukan, melihat mereka begitu bangga dan bahagia”, kata Herlambang Yudho, pendiri dan pemrakarsa komunitas film dokumenter yang pernah mengadakan Festival Film Dokumenter di Yogyakarta.
Para pembisik itu adalah orang-orang normal yang turut hadir dalam pemutaran perdana dua film pendek itu yang sebelumnya juga belum pernah melakukan aktivitas sebagai pembisik. Jadi pengalaman mereka adalah pengalaman yang pertama menjadi pembisik.
Selesai pemutaran ada diskusi kecil. Para tunaterta yang terlibat dalam produksi dan menjadi pemain dalam film itu diberi kesempatan berbicara, bercerita tentang film hasil garapan mereka.
Tentu saja ada yang menduga bahwa film adalah kegiatan orang-orang yang tidak buta. Itu ternyata salah. Mereka para penyandang tunanetra juga bisa melakukannya.Seperti yang disampaikan oleh Taufik Rahmadi Sitorus, yang menyutradari film Seutas Asa.
Dia bersyukur bisa menjadi subyek dalam produksi ini. Ide dan gagasannya bisa tertuang secara utuh dengan dibantu para kru film.“Kepercayaan lah yang menjadi kunci kseuksesan produksi ini”, kata Indra Tirtana, orang di balik layar dalam produksi film pendek ini.
Hal yang menarik, tunanetra ini merasa tidak hanya belajar tehntang film. Mereka juga belajar tentang persahabatan, persaudaraan, dan toleransi.
Aris Prasetya sang Sutradara dalam film yang berjudul Ning Nong Ning berkata bagaimana toleransi dalam tim produksi mereka membuat dia dan teman-temannya sangat mengesan. Semua penyandang tunanetra ini adalah Muslim. Sementara mayoritas kru yang membantu adalah mereka penganut Katolik Roma. Termasuk pemilik rumah yang menjadi lokasi shooting dan pemutaran film.
Bagaimana pada waktu sholat tiba, mereka diingatkan, dan disediakan tempat lengkap dengan alat sholatnya. Hal inipun sangat terlihat Tk ada batas dan jarak ketika pemutaran film malam itu.
Dalam obrolan, Arif Prasetya mengaku bahwa para tunanetra ini terus mengikuti perkembangan teknologi untuk membantu keterbatasan mereka.
“Di Jepang sudah ada kamera yang bisa diperintah dengan suara, jadi kelak kalau kamera itu bisa ada ini akan mengurangi ketergantungan dalam memprodukis film atau fotografi.”, demikian kata Arif malam itu.
Sementara kata Taufik kelak dia akan memproduksi film lagi yang bertema perselingkuhan. Kata Taufik yang masih lajang itu perselingkuah itu yang asyik dan indah, dan itu ada pada komunikasinya bukan hubungan fisiknya.
Film itu kelak tidak dalam persepektif tunanetra. Hebat…..!!!(*YP)