Terlahir sebagai salah satu anak kembar, sayangnya jenis kelamin perempuan menentukan nasib dirimu sebagai putri raja yang perlu menyembunyikan identitas sedemikian rapatnya agar tak dibunuh. (The King’s Affection)
Menyaksikan ayahmu dibunuh, menjebloskanmu dalam kehidupan dunia mafia yang didominasi lelaki demi membalas dendam. (My Name)
Ketika menghadapi musuh bersama, virus, zombie, orang jahat, tak masalah posisimu perempuan atau lelaki, istri atau suami, bertempurlah, berjuanglah. (Happiness, Jirisan, Secret Royal Inspector and Joyi)
Pergeseran peran perempuan yang tak lagi lemah, terus teraniaya atau hanya berperan sebagai korban; kini tampak di beberapa series drama korea yang disebutkan di atas.
Ketika kemudian kita menemukan banyak drama saeguk mengangkat latar waktu dinasti Joseon, fenomena posisi perempuan ketika itu yang masih kuat memegang paham dari filosofi Konghucu menjadi menarik untuk diamati. Bahkan mungkin bisa menjadi cerita baru.
Saya berasumsi ada hal yang ingin disampaikan penulis baik tersirat maupun tersurat tentang perempuan. Apalagi mengingat filosofi yang melatari, yang kurang lebih sama dengan kondisi keluarga di sekitar. Perempuan yang wajib patuh kepada ayah, suami lalu anak lelakinya.
Namun, Magdalene melalui reporternya Tabayyun Pasinringi pernah mengulas tentang hal ini, bulan Agustus kemarin.
“Ketika konten hiburannya, seperti drama dan film melek tentang kesetaraan gender maupun diskriminasi yang dihadapi perempuan, masyarakatnya masih terjebak dalam kebencian pada perempuan akibat miskonsepsi tentang feminisme.”
Banyak sudah pesohor Korea Selatan yang terkena hujatan dari masyarakatnya sendiri. Sejak kasus perundungan kepada mendiang Sulli, Na Eun-Apink dengan foto casing ponsel yang bertuliskan “girls can do anything”, sampai Irene-Red Velvet karena membaca buku Kim Ji-Young Born-1982.
Magdalene menemukan juga, dalam sebuah riset anak muda Korea terutama lelaki saat ini menjadi seksis dan misoginis serta anti feminisme karena merasa banyak dirugikan, terlebih adanya wajib militer yang tidak perlu dilakukan perempuan sehingga tidak menghambat pencapaian karir dibanding lelaki.
Menelusuri semua data yang diungkapkan media sekelas Magdalene seperti mengungkap kehidupan di sana tak seindah seperti digambarkan dalam film.
Kemudian saya membandingkan dengan yang terjadi di tanah air kita. Serangan kepada selebritis yang mendukung feminisme, atau kepada sutradara yang mengangkat ketakberdayaan perempuan cenderung jarang ditemukan. Film-film bertemakan perempuan bahkan yang berprestasi di festival film internasional, malah dipuji termasuk oleh para lelaki.
Saya berusaha mencerna apakah kondisi Indonesia lebih kondusif? Tidak juga. Bila dikaitkan dengan kasus kekerasan terhadap perempuan, perbandingan jumlah kasus kekerasan dengan frekuensi perundungan personal public figure perempuan nyaris sama banyaknya.
Sedemikian sepakatnya kita akan pandangan Yuni tentang pendidikan, tak berarti kasus pernikahan usia anak serta-merta berkurang.
Sebegitu bencinya kita kepada web series Layangan Putus, pada kenyataannya kasus perselingkuhan di sekitar kita sudah overload. Beberapa komentar di twitter untuk tagar series tersebut menyatakan, sebagai perempuan mereka menjadi makin insekyur dengan kehadiran lelaki, makin tak yakin untuk menikah atau malah ada yang mengaku mereka sudah merasakan penderitaan sebagai korban tak langsung dari perselingkuhan tersebut.
Drama sejenis Layangan Putus, besutan Korea dengan ide serupa dalam series World of Married, Penthouse, Mine, Love feat Marriage and Divorce, Reflection of You bahkan yang terbaru Show Window: The Queen’s House mungkin saja memuakkan kita, tetapi sekaligus menjadi media katarsis ketika sebagai perempuan hendak memaki sebuah situasi, alih-alih itu penyataan ketidaksetujuan kita terhadap apa yang terjadi.
Seperti Penthouse misalnya, atas rikues penonton series ini (terutama dari Indonesia, sebagai salah satu populasi penikmat drama Korea terbanyak) akhirnya dibuat sampai season 3. Meski tak menonton, saya berusaha memahami bagaimana penonton berharap ‘kematian’ atau pembalasan dendam yang setimpal bisa menjadi closure dari series itu.
Realita kehidupan sebagai perempuan pada akhirnya membentuk karakter kita sebagai penikmat drama korea.
Di saat marah terhadap keadaan, tayangan yang membuat emosi, ‘menarik’ kita sebagai pelaku untuk melampiaskannya.
Seperti istilah dalam Psikologi, Narrative Transportation. Saat menikmati cerita, pembaca atau penonton kemudian merasa seolah-olah mereka adalah bagian dari kelompok tersebut, meski nyatanya tidak terkait sama sekali dengan hal itu, belum tentu suka bahkan berusaha menolak menjadi bagian daripadanya.
Meski demikian, narrative transportation juga memiliki sisi lain. Beberapa kejadian kriminal dilaporkan terinspirasi dari tayangan sebuah film atau cerita.
Banyak penjahat yang meniru cara karakter antagonis melakukan aksinya. Mereka merasa mendapat ide baru untuk melakukan hal buruk, yang mungkin tak terpikirkan sebelumnya.
Ketika kita belum ‘selesai’ akan suatu masalah , tanpa sengaja berharap series yang kita tonton ikut memberi jawaban atas masalah tersebut.
Sewaktu kita dalam tahap berproses berdamai dengan diri sendiri, drama yang banyak memberi adegan refleksi dan pembelajaran, tentu menjadi teman yang asyik untuk terus becermin dan memperbaiki diri.
Tahapan-tahapan sebagai penikmat tayangan drama korea itu memang sangat personal dan tidak memaksa.
Bisa saja mengelak dan bilang, “Ah saya nonton cuma buat hiburan saat rebahan dan nggak bisa kemana-mana. Nggak akan terpengaruh.” Atau, “Itu ‘kan cuma film. Nggak nyata!”
Meski mengelak, saya mengakui sungguh hebat posisi pencerita ya, sehingga bisa ‘membentuk’ pemikiran orang lain sesuai jalan pikirannya.
Apakah saya dan juga Anda termasuk yang “dibentuk” oleh ide dan jalan cerita dari series-series itu?
Atau kita merasa terwakili dan mengungkapkan perasaan kita sesungguhnya yang sekian lama sudah di’tekan’?
–
- penulis IVY SUDJANA foto CINEMAGZ