Kritik Tanpa Solusi Dua Putra Mantan Presiden

Presiden Joko Widodo meninjau kesiapan paramedis menangani pasien Covid 19. (Foto instagram Jokowi)

Oleh SYAH SABUR

PERNYATAAN Agus Harimurti Ydhoyono dan Edhie Baskoro Yudhoyono terkait penanganan Covid-19 oleh pemerintah sangat tidak simpatik dan seolah keduanya tidak punya empati pada bangsa yang sedang berduka. Pernyataan keduanya juga tidak mencerminkan sebagai Ketua Umum Partai Demokrat dan Ketua Fraksi Partai Demokrat di DPR RI.

Sikap keduanya pun tidak menunjukkan bahwa mereka anak kandung  mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sebaliknya, sikap mereka lebih mirip dengan orang yang sedang mencari panggung demi kepentingan politis.

Sebagai anak muda yang memiliki kedudukan tinggi sekaligus anak kandung seorang mantan presiden, sikap pertama yang harus ditunjukkan adalah memperlihatkan empati kepada masyarakat yang sedang dihimpit pandemi dan kesulitan masalah ekonomi.

Setelah itu, kalaupun mereka berniat mengkritisi kebijakan pemerintah, hendaknya mereka mengedepankan solusi bagi permasalahan yang tengah dihadapi bangsa ini. Bukan sekadar menyampaikan kritik yang bisa membuat masyarakat kehilangan harapan dan optimisme.

Kalau mereka hanya mengkiritik, apa bedanya dengan mahasiswa yang masih belajar di kampus? Sebagai putra mantan Presiden, seharusnya mereka paham bahwa mengelola negara bukan pekerjaan mudah, apalagi negara yang tengah ditimpa musibah yang menyerang hampir semua negara.

AHY misalnya, dia menyoroti pengumuman Bank Dunia yang memasukkan Indonesia ke dalam kategori negara lower-middle income (negara penghasilan menengah ke bawah). Sebab, gross national income (GNI) per kapita Indonesia turun menjadi US$ 3.870 (tahun 2020) dari semula US$ 4.050 (tahun 2019). Intinya, AHY menyayangkan Indonesia yang turun kelas. Tentu saja sangat tidak masuk akal mengharapkan GNI kita naik di tengah pandemi.

Putra Presiden SBY Agus Judhoyono dan adiknya, Ibas Yudhoyono, mengritik penanganan Covid 19 oleh pemerintah. (Foto instgram Agusjudhoyono.)

Mungkin AHY dan Ibas tidak tahu, sudah banyak perusahaan yang mem-PHK atau merumahkan karyawan atau memotong gaji mereka. Sebagian lagi terpaksa ikut program pensiun dini dengan pesangon pas-pasan. Sebagian besar bahkan bingung bagaimana mengelola pesangon agar tidak cepat habis padahal mereka tidak punya pengalaman bisnis?

Belum lagi para pengusaha kelas kaki lima yang berhenti berjualan atau masih berjualan tapi dengan penghasilan pas-pasan. Dari beberapa pemilik rumah makan yang saya ajak ngobrol secara acak, rata-rata pendapatan mereka turun minimal 50 persen.

Apakah itu semua salah pemerintah? Tentu saja tidak. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, lewat program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), hingga 18 Juni 2021 APBN telah membelajakan Rp226,63 T atau 32,4% dari total pagu sebesar Rp699,43 T, dengan realisasi sbb. – Program kesehatan mencapai Rp39,55 T (22,9%) – Perlindungan sosial mencapai Rp64,91 T (43,8%), – Dukungan UMKM dan Korporasi mencapai Rp48,05 T (24,8%) – Program prioritas mencapai Rp38,10 T (29,8%), dan – Insentif usaha mencapai Rp36,02 T (63,5%).

Jadi, pemerintah sudah menggelontorkan banyak duit untuk membantu masyarakat yang terdampak pandemi. Tentu saja semua itu memang tidak cukup untuk mengganti penghasilan sebagian rakyat yang hilang. Bagaimana bisa, karena keuangan negara pun terbatas akibat berkurangnya pemasukan negara yang antara lain berasal dari pajak.

Senada dengan AHY, sang adik Edhie Baskoro Yudhoyono alias Ibas, hanya bisa prihatin dan khawatir Indonesia akan disebut sebagai bangsa yang gagal atau failed nation karena tak mampu menyelamatkan rakyatnya dari pandemi Covid-19. Ibas lupa bahwa pandemi ini membuat kelimpungan banyak negara. Sebab, belum ada satu negara pun yang benar-benar sudah terbebas dari covid-19.

Hari Kamis (8/7) Perdana Menteri Jepang, Yoshihide Suga, mendeklarasikan status darurat Covid-19 di Tokyo akibat lonjakan kasus corona varian Delta yang membuat rumah sakit terancam kewalahan. “Kami harus memperkuat upaya pencegahan. Melihat situasi ini, kami akan mendeklarasikan status darurat untuk Tokyo,” ujar Suga seperti dikutip Reuters, Kamis (8/7).

Belum lagi negara lain seperti Filipina, Brazil, India, dll. Lalu, apakah kita akan menjadi negara gagal? Sebelum menjawabnya, ada baiknya kita lihat, apa yang dimaksud negara gagal? Sejumlah kajian menyebut negara gagal, antara lain ketika terjadi ketiadaan pemerintahan dan hukum, kekacauan meluas, serta kelangkaan kebutuhan paling mendasar (pangan dan sandang serta rasa aman).

Kalau sudah jelas definisinya, silakan tafsirkan sendiri, apakah Indonesia hanya satu-satunya negara yang kewalahan menghadapi serangan covid-19? Apakah dengan begitu Indonesia akan segera memasuki episode negara gagal? Terlalu mudah untuk menjawabnya sehingga pernyataan tentang negara gagal itu sebaiknya kita abaikan saja. Dalam bagian lain pernyataanya, Ibas juga meminta agar pemerintah mempercepat vaksinasi di daerah ekstrem. Ibas mungkin tidak punya waktu untuk membaca media bahwa saat ini Presiden Jokowi sedang mendorong semua jajaran di bawahnya untuk mempercepat vaksinasi.

Pemerintah terus menggenjot vaksinasi guna menanggulangi pandemi Covid-19 di Indonesia. Setelah menetapkan target memvaksin 1 juta dosis/hari, Presiden Joko Widodo disebut ingin target itu ditingkatkan lagi.

“Terkait vaksinasi, presiden mengharapkan 1 juta (dosis per hari) vaksinasi bisa dicapai, beliau ingin Agustus bisa mencapai 2 juta. Beliau juga menambahkan kalau perlu dinaikkan menjadi 5 juta,” kata Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, dalam konferensi pers daring, Selasa, 6 Juli 2021.

Seperti sang kakak, Ibas juga sama sekali tidak menawarkan solusi. Dia hanya bisa prihatin sambal menakut-nakuti rakyat yang sama-sama tengah berjuang agar keluar dari situasi yang amat sulit.

Padahal, minimal Ibas bisa mengajak masyarakat untuk menghidupkan budaya gotong-royong dan bersama mengatasi masalah. Dia juga bisa meminta rakyat agar mematuhi ketentuan pemerintah untuk sedapat mungkin tinggal di rumah dan menjalankan protokol kesehatan. Sebab, masalah besar ini mustahil bisa ditangani pemerintah tanpa keikutsertaan semua elemen masyarkat.

Di negara demokratis, siapapun memang boleh melakukan kritik. Bahkan, pemerintah pun memerlukan kritik sebagai obat pahit yang menyembuhkan. Tapi dari seorang pemimpin partai atau pemimpin fraksi, yang diharapkan bukan hanya kritik tapi juga solusi yang memberi optimisme. Sebab, mereka bukan lagi mahasiswa. Mereka adalah tokoh penting dalam perpolitikan nasional yang juga putra mantan Presiden.*

Avatar photo

About Syah Sabur

Penulis, Editor, Penulis Terbaik Halaman 1 Suara Pembaruan (1997), Penulis Terbaik Lomba Kritik Film Jakart media Syndication (1995), Penulis berbagai Buku dan Biografi