Kuliner Nusantara, Gudeg Thewel Telor ala Resti (1)

Gudeg Thewel Telor ala Resti – Foto Heryus Saputro Samhudi

Oleh HERYUS SAPUTRO SAMHUDI

“Lha, kok, kangen gudeg aja repot, sih? Njenengan tinggal datangi warung gudeg’e Mas Ernawan di Pasar Modern BSD. Atau ke Si Mbok (siapa itu namanya? Lupa saya) langganannya Penyair Adri di Pasarminggu. Tinggal comot dan santap apa maunya. Atau pesen on-line gudeg kalengan produksi Yogyakarta berkualitas ekspor? Kan beres…! Kenapa mesti susah payah mengolahnya?” kata Mak Wejang, ujug-ujug.

Mak Wejang betul. Gudeg memang bukan barang langka seperti minyak goreng curah dengan harga standar negara, juga bukan bensin Petralite yang mendadak hilang dari jalanan gegara Pertamina harus mendahulukan menjual Pertamax yang naik menjadi Rp 12.500 per liter. Gudeg itu lauk-lauk biasa, yang walau berasal dari budaya kuliner di Jawa sana, tapi penjualnya gampang ditemukan di kitaran kita.

Benar, sih…! Tapi masalahnya, Resti my soulmate, pagi tadi sudah membeli thewel (itu, lho…! Gori alias buah nangka muda yang dikupas habis kulitnya, dibelah-belah, lalu dipotong-potong dengan ukuran sesuai selera) dan ragam bumbu yang diyakininya akan membuat jempolan rasa gudeg olahannya, Bahkan secara khusus, dari sebuah kebun di Serang minggu kemarin, sudah petik lembar-lembar daun jati.

Apa dan bagaimana resep gudeg ala Resti? Rasanya terlalu minteri, atau kata Bang Yahya, budayawan Betawi, “ibarat ngajarin bebek berenang” bila disini saya masih juga menyertakan resep bikin gudeg, hi…hi…hi…! Yang pasti, usai menyiapkan bahan dan bumbu serta mengaduknya di wadah berisi santan kelapa, Resti menuang semua adonan itu ke dalam panci tekan.

Sebelumnya, seluruh wadah panci tekan atau panci presto itu dialasi dan dilapisi lembar-lembar daun jati, hingga bahan thewel dan lain-lain tak bersinggungan langsung dengan dinding panci, dan menutupnya lagi dengan daun-daun jati di bagian atas. “Kata Si Mbah, selain mencegah thewel gosong saat dimasak, daun jati juga bikin gudek berwarna cokelat dan lebih sedap nantinya,” ucap Resti.

Dulu Si Mbah masak gudeg dengan kuwali, dan butuh waktu beberapa jam untuk membuat empuk thewel yang digunakan. Kini dengan panci tekan, resti cuma butuh 30 menit sebelum kompor dimatikan dan isi panci dipindahkan ke penggorengan untuk dimasak lagi hingga kuahnya sat atau kering. Tentu saja lembar-lembar daun jati perlu disingkirkan, karena siapa mau menikmati daun jati, Iya, kan?

“Wah, asyik punya, nih, Gudeg Thewel Telor buatan Si Mpok…!” ucap Mak Wejang yang mendadak muncul saat ‘dur’ beduk Magrib berbunyi di kampung sebelah, dan Mak Wejang langsung bertakjil dengan icip-icip itu gudeg. “Bisa juga nih ditawarin lewat medsos dan jasa on-line. Abang dan Mpok ada bakat jadi pengusaha gudeg, tuuuh…!” lanjut Mak Wejang sebelum menghilang.

Ah, ngimpi kali, ye…! ***

11/04.2022 PK 19:02 WIB.

Avatar photo

About Heryus Saputro

Penjelajah Indonesia, jurnalis anggota PWI Jakarta, penyair dan penulis buku dan masalah-masalah sosial budaya, pariwisata dan lingkungan hidup Wartawan Femina 1985 - 2010. Menerima 16 peeghargaan menulis, termasuk 4 hadiah jurnalistik PWI Jaya - ADINEGORO. Sudah menilis sendiri 9 buah buku.