Oleh HERYUS SAPUTRO SAMHUDI
Karena cara dagang Si Abang Kue yang kehadirannya selalu ditandai oleh bunyi peluit, nyaring seperti bunyi peluit lokomotif kereta api uap, maka buat gampangnya Emak saya (ibunya Ibu saya) lantas menyebut jenis kue putu satu ini sebagai Putu Peluit Kereta. Kuliner Nusantara ini sungguh unik.
BIASA dijual berkeliling kampung tiap sore hingga jelang tengah malam, dan penjualnya nyaris selalu abang-abang atau bapak-bapak, laki-laki pokoknya.
Belum pernah saya temukan Tukang Kue Putu Peluit Kereta buka lapak atau mangkal tetap di satu tempat. Ini jenis panganan yang dijual dengan cara berkeliling. Istilah anak milenial, pedagang ‘jemput bola’ berkeliling, nyamperin calon pembeli, dan suara peluit menandai kehadirannya. Ada sih saat dimana Si Abang singgah cukup lama di pinggir keramaian kondangan dan pertunjukan film Layar Tancep, misalnya.
Tapi itu temporary sifatnya. Selebihnya, Tukang Kue Putu Peluit Kereta berjualan dengan cara berkeliling. Dulu sih dipikul dengan dua buah rombong atau lang. Rombong pertama sebagai wadah angkut bahan-bahan kue, dan rombong kedua untuk tempat kompor minyak tanah yang harus selalu menyala apinya, serta perangkat sistem ketel-uap sederhana berisi air mendidih untuk menanak kue.
Alam berkembang sebagai guru, dan dunia bergerak maju. Pedagang tak lagi perlu memikul rombong dagangannya yang bikin pundak pegal linu. Untuk berkeliling ke liku-liku gang dan kampung, pedagang lantas menggowes sepeda dan bahkan kini menggunakan sepedamotor. Lang atau rombong bambu diganti kotak kayu, bahkan kotak seng rangka besi, untuk megangkut kompor dan bahan-bahan kue.
Kompor minyak tanah kini juga sudah berganti kompor gas tabung 3,5 kg. Namun begitu, ada yang tidak berobah, yakni sistem ketel uap sebagai alat pemasak bahan kue berupa tepung beras dicampur bubuk garam secukupnya, plus pewarna hijau dari perasan air daun suji. Bahan dimasukkan ke dalam cetakan berupa tabung bambu bolong ukuran tertentu. Ke bagian tengah adonan lantas dimasukkan irisan gula aren.
Sistem ketel uap menggunakan kaleng blek berbahan seng, yang dibentuk sedemikan rupa, dengan beberapa lubang paku di atapnya, plus pipa peluit dengan penutup kayu atau bambu supit mie, yang bisa dicopot atau ditutup atau dibuka, untuk mengeluarkan uap dari air mendidih di dalam ketel. Cetakan bambu berisi adonan diletakkan di atas lubang paku pada atap ketel, uap mengalir mematangkan kue.
Ketel uap sederhana itu bisa dipesan bikin ke Tukang Patri. “Di pasar tertentu juga ada toko yang jual, harganya ora mahal,” kata Mas Satam asal Brebes, Jawa Tengah, yang ngontrak sepetak rumah di bilangan Pondok Petir, Bojongsari, Depok, Jawa Barat. Tiap sore dia keliling hingga menjelang tengah malam. Paling tidak, 400 butir Putu Peluit Kereta, plus Kue Klepon ia jual tiap berkeliling, harganya Rp 1000/butir.
Klepon? Ya, sejak zaman Emak saya dulu, Tukang Putu Peluit Kereta juga biasa menjual Kue Klepon yang sudah disiapkan dari rumah. Putu dan Klepon dinikmati dengan urap kelapa, sembari mendengar suara peluit kereta yang sayup menjauh. Suara peluit yang dihasilkan oleh uap air yang mendidih dalam ketel, yang berusaha menerobos celah pipa peluit. Dunia seperti balik ke masa lampau. Hmmm…! ***
28/10/2021 PK 10:48 WIB