“Kita diwarisi kekayaan alam yang melimpah saja, ekonomi kita masih tertinggal. Bagaimana kalau tidak punya warisan kekayaan alam? “ tanya Laksamana foto: HW
oleh DIMAS SUPRIYANTO
MESKItak lagi jadi pejabat dan jarang terekspos media, Laksamana Sukardi tak berhenti mengikuti perkembangan isu isu mutakhir dan memberikan respon atas apa yang terjadi dalam sudut pandangnya sebagai profesional dan cendekiawan.
Insinyur yang dikenal sebagai bankir dan profesional di bisnis ini juga menepis bahwa bankir tidak mengurusi rakyat jelata. Dia juga menepis stigma dirinya sebagai orang PDIP.
“Saya malah mau dimahkamahkan dan dipenjarakan sama PDIP, “ ungkapnya. “Sekarang saya nasionalis saja, “ tegas insinyur sipil ITB, bankir, dan ekonom 65 tahun ini.
Setelah meluncurkan buku risalah “Pancasalah” di Bimasena – Kompleks Dharmawangsa Hotel, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pekan lalu, yang merangkum permenungannya beberapa tahun terakhir, Laksamana merespon isu isu yang sedang dibahas publik dan media.
Misalnya, tentang kenaikan BBM yang sedang hangat diperbincangkan dan banyak menuai protes kini. Juga ekonomi yang maju mundur dan berputar putar seperti tari Poco Poco.
Menteri BUMN di era pemerintahan Abdurachman Wahid “Gus Dur” dan Megawati ini, menyebut dia setuju rakyat disubsidi, tapi bukan untuk kendaraan dan BBM, melainkan untuk kesehatan rakyat, pendidikan dan kesejahteraan sosialnya.
“Subsidi seharusnya diberikan kepada ibu hamil, ibu melahirkan, anak anak balita di pelosok dan di desa. Subsidi untuk pendidikan supaya merata, terjangkau, dan sampai kepada kalangan yang kurang beruntung. Untuk menjembatani kesenjangan ekonomi dan kesejahteraan. Bukan kepada para pemilik kendaraan, “ katanya, dalam obrolan intim di kediamannya Senin petang pekan ini.
Kesimpulannya, dia menolak subsidi BBM untuk pemilik kendaraan.
Dia mengenangkan presiden SBY membakar lebih dari Rp 1000 triliun dalam masa pemerintahannya untuk subsidi BBM, dan pemerintahan Jokowi membakar Rp 560 triliun, sejauh ini.
“Dengan subsidi BBM itu, jadi apa?” tanya Laksamana Sukardi.
Jika subsidi diberikan kepada ibu hamil dan kesehatan di pelosok, maka kita mendapat generasi sehat dan memiliki daya saing. Menekan penyebaran “stunting”, tegasnya.
Fenomena “Stunting” berpotensi memperlambat perkembangan otak, dengan dampak jangka panjang berupa keterbelakangan mental, rendahnya kemampuan belajar, dan risiko serangan penyakit kronis seperti diabetes, hipertensi, hingga obesitas.
“Bagaimana jadi generasi yang bersaing jika sejak dalam kandungan kurang gizi, “ tanyanya lagi.
Subsidi bagi pendidikan dan kesehatan juga penting. Agar seluruh rakyat, terutama di pelosok mendapatkannya. “Saya termasuk di antara orang yang berubah nasibnya karena pendidikan, “ kata anak wartawan KBN “Antara” Gandhi Sukardi dan cucu dari pelopor pers Indonesia, Raden Didi Sukardi – yang merupakan pendiri koran Oetoesan Indonesia yang terbit sejak 1931, sebelum Republik Indonesia diproklamirkan.
PADA AWAL audensi, saya menyatakan kepadanya bahwa buku “Pancasalah” sulit dicari celah salahnya. “Kayak tesis, “ kata Gunawan Wibisono, sesama jurnalis yang juga menemui di rumahnya di Kawasan Senopati, Jakarta Selatan. Novelis dan jurnalis Harry Tjahjono dan Mat Bento Herman Wijaya ikut bersama kami. Mas Harry bahkan bersohib dengan Bung Laks, yang memperantarai kami.
“Padahal buku saya tipis saja, “ katanya merendah.
“Justru itu, tipis tapi berisi, karena menggambarkan pokok pokok masalah bangsa, “ kata saya. Saya teringat buku Manusia Indonesia karya sastrawan dan jurnalis Mochtar Lubis, di tahun 1977, yang juga merupakan risalah tipis, namun monumental.
Bung Laks, panggilan akrabnya, menyatakan sengaja menulis risalah tipis itu, karena para penentu kebijakan, para eksekutif kita, kesulitan membaca buku tebal.
“Belum lagi, eksekutif maunya baca laporan yang enak enak. Bukan yang benar. Saya kasi pilihan mau baca pikiran yang enak atau yang benar?” tanyanya.
Mengulang paparannya di Bima Sena, Laksamana Sukardi menegaskan bahwa ekonomi Indonesia pernah satu kloter dengan China dan Korea Selatan. “Dulu banyak orang China banyak pindah ke sini, mau cari perubahan nasib di sini. Termasuk pelatih badminton-nya, dan kita tolak tolak. Apa yang terjadi sekarang?” tanya bankir 65 tahun ini.
Korea Selatan demikian pula. “Saya masih kerja di bank dan saat itu Indonesia sudah siap jadi Macan Asia. Pada kenyataannya, Korea Selatan melesat menjadi negara industri, dan Indonesia masih ketinggalan, “ jelasnya.
Sekarang, Indonesia satu kloter dengan Vietnam dan Kamboja. Di bawah Korea, Taiwan dan China. “Dan kita akan ketinggalan dari Vietnam dan Kamboja, kalau masih mewarisi Pancasalah itu, “ tegasnya.
Pancasalah yang dimaksud adalah salah kaprah – salah lihat – salah asuh – salah tafsir – dan salah tata kelola.
Mengutip pernyataan Yudi Latif, cendekiawan dan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), bangsa Indonesia diberi keberuntungan warisan kekayaan alam yang membuat kita masih negara menengah. Bandingkan Korea dan China yang tidak punya kekayaan alam, tapi maju pesat sebagai negara industri.
“Kita yang diwarisi kekayaan alam yang melimpah saja, ekonomi kita masih tertinggal. Bagaimana kalau tidak punya warisan kekayaan alam? “ tanya Laksamana
Dan Pancasalah pun jadi warisan. Salah asuh melahirkan generasi salah asuh, juga salah lihat, salah tafsir dan salah tata kelola dan seterusnya.
“Kasus Ferdy Sambo adalah produk Salah Asuh dan Salah Tata Kelola. Dia jadi Kadiv Propam, tapi juga jadi Satgas Merah Putih. Jadi pengawas dan pelaksana sekaligus. Nggak benar menurut sistem Tata Kelola yang baik, “ katanya.
Lebih parah lagi, Propam Polri diawasi oleh Kompolnas yang dipimpin Pensiunan Jenderal Polisi dan ada KPK yang juga diketuai jenderal polisi.
Sempurna Salah Asuh dan Tata Kelolanya!
Saya menyatakan, kedatangan saya untuk mendalami bukunya, dan bagaimana mengimplmentasi-kannya.
“Saya sebatas memberikan penyadaran dan pendidikan. Kalau pelaksanaan itu tanggung jawab para pemimpin, “ kata kata kakak kandung jurnalis senior dan pengacara Wina Armada Sukardi ini.
Selaku ekonom dan pemikir, dia menunjukan masalah yang ada di bangsa kita. “Ini lho salahnya?” katanya. Dia pun mengaku merujuk pada data statistik yang paling simple, yang bisa diakses semua orang, seputar pertumbuhan ekonomi kita dari masa ke masa dan membandingkan dengan negeri negeri jiran. Selain permenungan dari pengalaman sebagai ekonom, pejabat, dan praktisi. Selain diskusi dengan sesama cendekiawan.
“Kondisi ekonomi kita sejauh ini maju mundur dan muter muter, seperti tari Poco Poco, “ katanya. “Bahkan di tahun 1998 pendapatan kita turun separuh. Dan sekarang sudah ketinggalan jauh dari negara negara yang dulu se-kloter, yaitu China, Taiwan dan Korea Selatan, “ ungkapnya.
Laksamana Sukardi menyatakan, Indonesia kini harus berjuang keras menghindari dari jebakan negara kelas menengah (“middle trap income”) yang mengancam Indonesia kehilangan kemampuan naik kelas menjadi negara maju. ***