Lelaki itu terperangah dan kaget sekagetnya. Ketika tersadar ia ditinggal sendirian oleh teman-temannya entah ke mana. Padahal, ia membuang hajat itu tidak lama.
Ia sungguh tidak menyangka, tapi ia tidak mau berprasangka jelek, apalagi menghakimi. Jika mereka merasa berat hati diikuti, lebih baik terus terang. Ia sadar diri, karena ia tidak berpengalaman seperti mereka yang hebat dan berpengalaman itu.
Dihelanya nafas panjang. Ia harus mengalah, dan undur diri.
Tiba-tiba ia ingat dengan wejangan Mbah Redjo. Bersikap tenang membuat kita dapat berpikir jernih. Keheningan membawa kita untuk menemukan akar permasalahan, dan jalan penyelesaian.
Berpikir kasih sayang membuat hidup ini dipenuhi rasa damai dan bahagia. Bahkan sebuas-buasnya hewan di hutan, jika disayangi tidak bakal mencederai.
Ajaib! Seekor harimau yang muncul entah dari mana tidak menyerang, tapi hanya mengendus sambil mengibaskan ekor, minta dielus, dibelai, dan dicintai.
Kini mata hatinya dibukakan. Ia sadar diri. Hal jelek dan jahat itu datangnya dari pikiran sendiri. Ia melihat bukti, harimau yang konon jahat itu tidak menyerang, tapi mengajaknya bersahabat.
Sekali lagi dihelanya nafas panjang. Ia sadar diri, sesadar-sadarnya untuk mengambil hikmat dari setiap peristiwa agar ia makin bijaksana.
Tak ada guna marah, menghujat, atau membenci mereka. Karena hal itu menyakiti diri sendiri.
Tak ada guna ia mencari jejak teman-temannya untuk ke luar dari hutan. Karena sejatinya mereka telah menunjukkan lahan untuk digarapnya. Di hutan?
Ya, saatnya ia menentukan sikap. Sesungguhnya, tugas kita di dunia ini sebaga petani kehidupan.
Kita diajak menggolah hutan dunia dan menanaminya dengan pohon-pohon kebaikan agar semua makhluk bahagia.
***
Mas Redjo/Red-Joss