Effi S. Hidayat
Semua mengumbar kekayaan, hidup enak, mewah dan uang berhamburan. Memamerkan kekayaan sepertinya sebuah kebanggaan baru. Tak ada lagi privacy. Oh, flexing. ( Foto: BlokUnik)
Pandemi, disadari atau tidak membuat tatanan hidup manusia banyak mengalami perubahan. Tidak hanya menyangkut urusan kesehatan dan kehilangan nyawa, tetapi juga lenyapnya mata pencaharian.Perputaran ekonomi yang terkait masalah keuangan ini luar biasa imbasnya.
Di sisi lain, WFH alias Work from Home menimbulkan sejuta kreativitas. Terutama di dunia maya. Zaman digital, orang berlomba-lomba menunjukkan siapa dirinya. Profil picture dengan filter yang mampu membuat seseorang menjadi lebih kinclong, glowing, … wow!
Buah pikir silang pendapat tak sekadar membuat orang saling berbaku hantam menghujat, sebaliknya pun anak-anak muda milenial kian garang menunjukkan bakat mereka sebagai milyarder di usia belasan tahun. Amazing!
Jujur, saya terperangah melihat berita itu berseliweran di medsos. Orang-orang tak malu dan riskan lagi menunjukkan siapa diri mereka. Punya mobil mewah, rumah bak istana dan gelar sultan bertaburan di mana-mana. Anak kecil, balita, sampai orangtua nampak tak punya rahasia keluarga lagi karena semua digelar bebas.
Ke mana perginya privacy? Mungkinkah bablas kabur bersama privilege si Kaya dan… si Miskin? Yang terakhir ini, malah sempat viral menuai pertentangan. Dianggap menghina karena kemiskinan dikatakan juga sebagai privilege!
Wahai, sungguh membingungkan karena status sebagai orang kaya dan orang miskin ini selaiknya harus hati-hati dikaji dari berbagai sudut pandang. Tidak hanya secara sosial ekonomi, tetapi juga … religi/agama.
Konon, dengan menunjukkan siapa kita, entah itu secara materi, harta, kepintaran, etc, etc-– semua ini dapat membuat orang lain akan lebih menghargai kita.
Benarkah?
Yang jelas menjamur sebutan para crazy rich. Dari Surabaya, Medan, Pondok Indah sampai…PIK (Pantai Indah Kapuk). Hingga akhirnya seorang Indra Kenz diciduk yang berwajib karena pasal pidana terkait pasal penipuan. Investasi bodong aplikasi online Binomo, dan hasrat menjadi orang kaya– instan, rupanya menggebu dan menular bak virus Corona.
Sekali terkena, mematikan!
Jujur, miris luar biasa. Saya hanya bisa, mengelus dada mendengar kekayaan Indra Kenz yang mencapai sejumlah 55 milyar akhirnya disita.
Seorang anak muda yang menawarkan mimpi demikian mudah dan cepatnya untuk menjadi kaya akhirnya jatuh dan tertimpa tangga pula. Tidak main-main memang, karena korbannya pun merugi tak sekadar puluhan dan ratusan juta, tetapi milyaran, dan mungkin lebih dari itu.
Saya terpana!
Betapapun flexing, istilah yang aslinya diambil dari dunia binaraga; flexing demi memertontonkan muscle ini, lalu akhirnya lari ke dumay — buka-bukaan saldo ATM dan serba-serbi kekayaan lainnya dari tas hermes hingga jet pribadi; telah memberi kita semua pelajaran bermakna. Bahwa, sejatinya tiada artinya semua pamer diri itu.
Ya, apalagi kalau bukan pamer? Rasanya semua yang hampir tampil di medsos punya maksud dan tujuan tertentu, bukan? Namun tercatat di benak saya, bahwa sesungguhnya tak ada cara instan untuk menjadi kaya.
Butuh perjuangan usaha,ketekunan, dan keringat kerja keras, bahkan airmata yang dicapai secara proses puluhan tahun. Lihat saja figur-figur sukses yang benar tulus melakoninya.
Mau yang instan? Kalau tidak hoki besar dapat lotere, bisa jadi kita semua akan tertipu dan mengenakan topeng ‘seolah-olah’ kaya raya, padahal aslinya sih, sandiwara belaka.
Oh, flexing! Hati-hati terjerat pikat demi menaikkan derajat, tetapi menipu. Hati-hati pula menginvestasikan semua hasil uang seadanya, lalu tertipu.
Yang jelas, semua hal di dunia ini punya dua sisi koin; kebaikan dan keburukan. Paradoks yang bisa membutakan dan mencerahkan. Pilih mana? Pikirlah matang, bukan hanya sebagai orang bijak dan berilmu tinggi pengetahuan. Tetapi juga, influencer di zaman now yang mau berbagi resep sederhana dan merangkul masyarakat semua, termasuk menengah ke bawah. Harus ada kesadaran pola prilaku kerendahan hati, sejatinya seorang kaya raya sungguhan…..
Namun benarkah kekayaan seseorang ini yang menjadi acuan orang agar lebih menghargai dan menghormati martabat seorang manusia?
Duh, saya masih bertanya-tanya….