Foto : Iqbal Nuril Anwar/Pixabay
Sejak masa remajaku hingga kini, saya sudah cukup sering dan bahkan menggunaka juga adagium, “gali lubang tutup lubang.”
Adagium ini mengisyaratkan bahwa kehidupan ini toh ada tantangannya. Ada risiko yang wajib ditanggung, jika Anda berani bermain api.
Anda toh akan basah kuyup, jika berani berenang di arus deras.
Dan sang manusia itu sungguh tak dapat melarikan diri dari jeratan maut ini. Dari realitas “hukum alam” ini, hukum sebab-akibat.
Saudara, “gali lubang, tutup lubang.” Banyak orang sudah seolah nyaman hidup “berutang demi menutupi utang,” ya setali tiga uang, kata nenek dan kakek.
Karena utang yang lalu belum sanggup dibayar, maka dia pun berutang lagi untuk melunasinya.
Berarti dia sedang menimbuni utang. Dia laksana membangun menara utang.
Aktivitas pinjam meminjam ini, toh tidak dapat menyelesaikan permasalahan hidup sang manusia.
Secara mental psikologis hal ini menggambarkan, sungguh tak berdayanya sang manusia itu. Dia dililiti oleh mental rapuh dan cengeng, tidak realistis dan berani bersikap tegas kepada diri sendiri.
Fakta yang terjadi, bahwa sang manusia itu telah rela menguburkan karakter diri dengan memindahkan suatu masalah ke masalah baru lagi.
Jadi, yang terjadi ialah tindakan memeranakan diri. Dan jika hal ini dibiarkan berlarut, justru akan mendatangkan kesengsaraan karena akan kian dililiti benalu hidup.
Inilah contoh konkret tindakan memperbudak diri sendiri.
Mari Saudara, kita biasakan untuk hidup secara sadar, dengan sanggup mengukur, dan menakar kemampuan diri, serta berani bertindak tegas kepada diri sendiri.
Aktivitas “menggali lubang, menutup lubang,” sesungguhnya, hanyalah sebabak sandiwara kekanak-kanakan.
Malang, 20 Oktober 2022