Sejak kecil, gue gak tahu dan gak pernah merasakan mudik. Mudik dalam artian pulang menuju udik atau kampung halaman jelang Hari Raya.
Entah ada masalah apa dengan masa lalu bapak gue, beliau gak pernah menyinggung nyinggung soal pulang kampung selama di rantau.
Bahkan suatu hari bapak gue pernah bilang, Kita merantau jangan tanggung-tanggung. Sekali angkat kaki dari kampung halaman, ya jangan pulang sekalian. Lho?
Kalau ada pepatah bilang sejauh-jauh terbang bangau akan kembali ke kubangan, kita gak usahlah kembali ke kubangan. Bila perlu terbanglah sejauh mungkin kalian bisa. Jangan cuma merantau sampai di Pulau Jawa. Tapi terbanglah ke negara lain.
Saat itulah di tengah petuah dan petitih gue dengar istilah baru dari mulut bapak gue yang dulu terdengar aneh di kuping, “marantau cino” atau “merantau cina“.
Ini beda dengan “perantau cina“. Kalau perantau China ya yang merantau orang asli China. Kalau “marantau cino“, pergi merantau ala orang China yang gak perlu balik lagi ke kampung halaman atau negerinya.
Di situlah berlaku pepatah “di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung” alias patuh dan menyatu pada aturan setempat. Bukan merampas negeri orang seperti yang dilakukan kolonial. Kira-kira begitu.
Jadi, Marantau Cino disematkan kepada orang Minang yang merantau ke daerah lain ataupun ke negara lain dan kemudian gak pernah pulang lagi ke kampung halamannya.
Baikkah ini? Sampai hari ini gue juga gak tahu. Yang pasti kalau harus mudik, gue gak tahu harus pulang ke mana. Ibu gue sudah yatim piatu sejak kecil. Di kampung dua saudara kandung ibu sudah enggak ada. Saudara kandung bapak gue juga sudah gak ada. Apalagi bapak ibu gue juga sudah gak ada. Ya jadilah gue “marantau cino” beneran.
Beda dengan agama yang bisa diganti oleh pemeluknya, keturunan tetaplah keturunan. Orang Minang, Jawa, Batak, Cina, atau apalah, gak pernah bisa diganti atau diubah.
Gue yang orang Minang, gak bisa kepingin jadi orang Cina, atau sebaliknya. AHY gak bisa mau mengubah keturunannya dari Jawa jadi orang Arab. Dan Anies gak bisa mengubah keturunan dari orang Arab jadi orang Jawa. Itu sudah pemberian Tuhan.
Apakah bapak gue kemudian gak pernah kangen kampung halaman tempat beliau dilahirkan dan dibesarkan?
Ya kangenlah. Cuma dalih bapak gue, apalah pula enaknya pulang ke kampung halaman kalau teman-teman masa kecil sudah mudik ke akhirat semua. Kecuali menyusul mereka ke tempat akhir yang sama.
Apakah gue juga gak kepingin mudik atau pulang basamo kayak orang lain. Ya kepingin jugalah. Tapi kalau melihat kemacetan di jalur tol Lintas Sumatera, ngapain juga.
Kalau misalnya ada yang ngasih tiket naik pesawat atau barangkali naik private jet, tapi dengan syarat gak bakal nyinyir lagi dan mau pakai kaos bergambar “Anies Pleciden” gimana?
Wah monmaap beribu-ribu kali maaf lahir batin. OGAH.
Ramadhan Syukur
Foto kiri: Bokap gue ketika masih punya anak tiga (selanjutnya nambah lagi empat) sebelum melakukan aksi marantau cino dan gak pernah mudik.
Foto kanan: Nyuri start capres (gak resmi dan ilegal) dengan iming-iming gratis mudik.