Medali

Oleh ARIES TANJUNG

Pernahkah dunsanak memperoleh medali, selama hidupmu? Baik di tingkat RT, RW, lingkungan kantor, tingkat Nasional atau Internasional? Aku, jika nomor 1 adalah emas, berarti bakatku cuma dapat perak saja. Itu pun cuma tingkat Nasional, yaitu juara ke-2 lomba ilustrasi di sebuah majalah dan lomba vocal grup di kantor. 

Di Olimpiade Tokyo 2021 (seharusnya 2020) ada hal yg membanggakan. Atlet Indonesia Windy Cantika Aisah, merebut medali pertama bagi Indonesia, dari cabang olahraga angkat besi!

Dulu, di ajang Olimpiade, masyarakat Indonesia cukup ‘tahudiri’. Kita hanya berharap medali dari cabang olahraga kita yang sudah dikenal dengan baik sebagai ‘gudang’ prestasi selain Cina, yaitu Bulutangkis. Sekarang -sebetulnya sejak beberapa tahun lalu- harapan meraih medali juga tertumpu kepada angkat besi dan panahan. Donald Pandiangan –atlet panahan kita di tahun ’80an- malah pernah dijuluki “Robin Hood dari Indonesia”. 

Windy memang membanggakan. Ketika merebut medali perunggu kemarin ini, usianya baru 19 tahun. Dua tahun lalu, pada usia 17 tahun, Windy merebut medali emas pada pesta olahraga Asia Tenggara, SEA games di Jakarta. Sekilas cabang olahraga angkat besi dan angkat berat terlihat sama. Tapi sebetulnya ada perbedaan. Pada angkat besi, atlet mengangkat barbel dari besi, dengan berat badan tertentu harus mengangkat beban dengan berat yg sudah ditentukan. Sedangkan angkat berat, atlet diperbolehkan menambah beban seberat yang mampu mereka angkat dan boleh terus menambah beban. Dimulai dari berapa beban yg diperkirakan mampu diangkatnya.

Cabang Angkat Besi

 Cabang olahraga angkat besi yang memberi harapan di ajang Olimpiade selain bulutangkis ini, tak lepas dari tradisi. Ibu Windy juga seorang atlet angkat besi. Sejak remaja, Windy yang berwajah cantik, sesuai dengan namanya memang selalu berprestasi. Tapi ajaib, posturnya tetap tinggi dan ramping, tidak gempal dan berotot menggumpal-gumpal seperti pesaingnya, atlet angkat besi dari Cina yg memperoleh Emas dan atlet dari India yg merebut medali perak.

 Bicara tentang tradisi, beberapa tahun lalu, ada atlet angkat besi dari Bengkulu yg memecahkan rekor angkat berat dunia. Samar-samar nama belakangnya masih kuingat: Telabanua atau Selabanua. Tapi ketika aku intip di mbah google tak kujumpa. Si Telabanua atau Selabanua ini memecahkan rekor angkatberat dunia. Aku anggap tradisi, karena ‘tradisi’ sehari-harinya adalah kuli angkut beras di pasar di tempat asalnya.

Ada juga Rizki Juniansyah. Rizki merebut 3 medali emas sekaligus, dan memacahkan rekor dunia angkat besi. Rizki merebut 3 medali itu di ajang kejuaraan angkat besi junior dunia di Tashkent-Uzbekistan, bulan Mei kemarin, tahun ini juga.

Baik Windy, Rizki dan Telabanua, sepi dari pemberitaan. Tak seperti sambutan kepada atlet bulutangkis, misalnya. Piala Thomas, kerap diarak keliling kota di atas mobil terbuka, di tengah-tengah para atlet yang tersenyum lebar, cerah ceria. Aku masih ingat ketika kita heboh menyambut Thomas Cup sekaligus Ubber Cup. Lalu Thomas dan Ubber kita ‘seret’ ke pelaminan untuk ‘dinikahkan’. Aku sempat membuat karikatur ‘pernikahan’ Ubber dan Thomas itu di media tempat aku bekerja dulu. Ah sayang aku tak punya dokumentasinya (colek kang Kin Sanubary).

Telabanua (Selabanua?), atlet angkat berat yang sudah memecahkan tekor dunia, malah tak ada yang tahu dgn prestasi dahsyatnya. Ketika di bandara tak ada yang menyambutnya, sikapnya biasa saja. Dia malah bertanya kepada  beberapa orang wartawan yang mengendus tentang berita pemecahan rekor dunia olehnya itu, ketika menyambutnya di Bandara: “Emang harus dijemput, ya?Ah,…emangnya saya siapa pakek disambut-sambut”…

 Ada satu orang lagi di cabang olahraga angkatbesi yang tak mungkin aku lupa, yaitu: Imron Rosadi. Atlet angkat besi ini adalah legenda di Asia. Dia boleh dibilang langganan merebut medali emas di turnamen-turnamen besar di Asia pada tahun ’70-’80an. Pak Imron kelahiran Pring Sewu-Lampung yg sekarang berusia 77 tahun ini juga dijuluki ‘Gajah Lampung’. 

Setelah pensiun dari olahraga angkat-mengangkat ini, dia membuat sasana latihan angkat besi, angkat berat dan binaraga di kampung halamannya di Pring Sewu, Lampung. Sasana yang -kalau tak salah- bernama “Gajah Lampung” ini sudah melahirkan beberapa atlet angkat besi, angkat berat dan binaragawan yang berprestasi di tingkat Nasional maupun Internasional. 

Pak Imron, membiayai dari koceknya sendiri segala tetek-bengek pembiayaan sasana. Pak Imron, yang hidup dari perkebunannya, bahkan memberi uang saku sekadarnya untuk orang-orang sederhana yang berlatih di sasananya. 

Ketika ditanya wartawan, apakah para atlet yang sdh berprestasi ikut membantu pembiayaan itu? “Yaa,…jika mereka mendapat bonus, dari hasil kejuaraan yang diikuti, pasti mereka berbagi sebisanya untuk sasana. Olahraga ini ‘kan bukan olahraga yg sering diselenggarakan, ditonton banyak orang atau bisa menghasilkan banyak uang. Ini seperti hobi saja. Kami suka, senang dan bahagia melakukannya”.

Pak Imron Rosadi, sungguh orang sederhana, dengan prestasi yg tidak sederhana…