Keluyuran ke Viet Nam, “Mekong”

Aku punya sohib kantor bernama Jody Alexander yang telah lebih dahulu menghadap sang Khalik (semoga kau baik-baik saja di sana bersamaNya, amiiin..).

Aku dan teman-teman, biasa memanggilnya Ody. Ody punya teman, seorang pelukis yg bermukim di Australia. Suatu ketika teman Ody mengajaknya menyusuri sungai Mekong. Aku mengompori:

“Wuiiih,…menyusuri Mekong, Od? Gak kepengen, lo..”
“Bukan cuma kepengen Ries, tapi…ngiler dan ngeceezz. Lo mau ikut?”
“Mau banget, Od. Kalo tubuh dan kesehatan gw ‘normal’, gak pake diajak, aku langsung ikut Od!”

Waktu itu, teman Ody kayaknya jadi menyusuri sungai dahsyat itu. Aku melihat foto-fotonya di medsos. Entah kenapa Ody tak jadi ikut. Ah, ternyata Ody sudah terlanjur berjanji kepada temannya yang lain untuk menyusuri Indonesia melalui (menurut istilah dia) ‘jalur barat-utara’. Padahal dia baru saja berkendara blusukan lewat ‘jalur selatan-timur’, sampai di ujung NTT, seorang diri!

Mekong. Entah kenapa sungai dahsyat itu terkenal dengan nama berdasarkan bahasa Thailand. Mekong berasal dari kata Moe Ham Kong yg berarti: “Ibu dari segala sungai”. Pemberian nama itu sama sekali tak keliru. Mekong mengalir dari hulunya di Tibet, Cina, terus mengalir deras ke Myanmar (dulu Birma), Thailand, Laos, Khmer (Kamboja) dan bermuara di Viet Nam.
‘Anak-anak’nya mengalir dari gunung-gunung dan hutan-hutan dari 7 negara yang dilalui oleh ‘sang ibu’.

Sungai dahsyat itu adalah salah-satu dari 12 sungai terpanjang di dunia, terpanjang di Asia tenggara. Mekong disebut-sebut sebagai sungai dengan volume air terbanyak di dunia, setelah sungai Amazon di Amerika Selatan. Di salah-satu jeramnya (di negara Laos?) disebut-sebut 3x lebih banyak dari volume air yang ditumpahkan di jeram Niagara!

Sungai itu menghidupi begitu banyak manusia di pesisirnya, menghidupi 60-70an juta manusia dari seluruh negara yang dilaluinya. Menyuburkan sawah, ladang, tambak-tambak hidup (keramba) dan-tentu saja-memenuhi kebutuhan manusia akan air, dari zaman purba sampai hari ini. Habitat ikannya adalah slh-satu yang paling beragam di dunia.

Di sungai itu terdapat ikan lele raksasa (mirip dengan ikan di sungai musi yang disebut ikan Baung) yang panjangnya 2,7 sampai 3meter, ikan pari dengan diameter 3 meter, dengan panjang dari kepala sampai ujung ekor tak kurang dari 7 meter. Ikan lumba-lumba air tawar (pesut) di Mekong yang melewati wilayah Myanmar. Sayangnya-apa boleh buat-ke tiga jenis ikan-ikan air tawar yang hebat itu selangkah lagi menuju punah!…

Lan sang pemandu wisata, meminta kami untuk menunggu sebentar ketika kami mencapai dermaga di tepi sungai untuk menyebrang ke salah satu delta di muara sungai Mekong. Pelabuhan di tepi sungai itu “Mirip penyeberangan menuju pulau Kemaro” kata anak gadisku. Pulau Kemaro adalah sebuah pulau di sungai Musi. Di pulau Kemaro terdapat klenteng, kerap dijadikan tempat wisata oleh warga Palembang dan sekitarnya.

Lan, agaknya ‘menghilang’ sebentar mencari perahu langganannya, karena banyak sekali perahu di pelabuhan penyeberangan sungai itu yang berdesakan untuk merapat, menurunkan atau mengangkut penumpang. Perahu itu mampu menampung sekitar 16 penumpang.

“Harus berimbang, bobot penumpang di kiri dan kanan, supaya perahu tak oleng” kata Lan.

‘Perngatan’ ini semakin membuat kami berdebar-debar. Lebar sungai itu sungguh menggetarkan dan menggentarkan! kami akan menyeberangi lebarnya menuju salah-satu pulau di delta itu. Lebar sungai itu seperti laut, tetapi berwarna cokelat seperti lumpur, warna khas sungai-sungai di daerah tropis.

Di bagian muara, sungai Mekong ‘terbelah’ menjadi beberapa sungai yang membentuk banyak pulau di delta itu sebelum mengalir ke laut. Agak menjauh ke ‘dalam’ dari delta, jika kita menyusuri sungai terdapat wilayah sungai yang unik. Karena di satu titik, sungai itu menjadi perbatasan atau border dari 3 negara, Laos, kamboja dan Viet Nam.

Sesampai di sebuah pulau terbesar di delta, kami masih harus menyusuri anak sungai dgn perahu kecil yang ramping dan bergoyang-goyang mendebarkan bermuatan tak boleh lebih dari 4 orang termasuk pemilik perahu yang mengatur dan ‘mengemudikan’ motor tempel kecil berkekuatan 12pk.

Kami, aku istri dan seorang anakku (anakku satu lagi bersama anggota rombongan di perahu lain) diangkut oleh perahu yang pemiliknya seorang ibu berusia sangat lanjut (terlihat dari kerut-kerut di wajahnya), tapi tubuhnya masih lincah dan cekatan mengendalikan perahu. Aah, melihat ibu atau nenek itu cekatan mengendalikan perahunya membuatku merasa muda dan sehat!

Setelah ‘lolos’ dari ketegangan menumpang perahu kecil yang bergoyang-goyang itu, kami masih harus naik delman untuk mencapai salah-satu desa yg akan kami singgahi.

Desa itu nampak tentram, sejuk dan subur. Pohon-pohon yg terdapat di sana, sangat akrab dengan lingkungan negri kita.

Kami, disambut oleh penduduk setempat di semacam balai desa sederhana. Sambil beristirahat, kami dihibur oleh pertunjukan kesenian sederhana berupa nyanyian-nyanyian tradisional berbahasa Viet Nam.
Kami disuguhi buah-buahan yang nampaknya baru saja dipetik, karena pohon-pohon itu nampak subur di sekitar kami. Jambu air, semangka, nangka, pepaya dan nanas yg dicocol dengan cabe yang diuleg dengan garam.

Ketika aku bertanya apa kisah dari nyanyian-nyanyian itu kpd Lan, sang pemandu wisata berujar:

“Salah satu lagu tadi, seperti menyindir saya. Bercerita tentang seorang gadis yang menurut orgtuanya sudah layak menikah. Tapi sang gadis menolak. Karena sang gadis merasa dia masih terlalu muda untuk menikah. Masih banyak impiannya yg belum tercapai..”

(Aries Tanjung)

Keluyuran ke Viet-Nam ,”My Father Has His Own Wheelchair!”

Keluyuran ke Viet Nam, “Menuju Mui Ne”