Mencermati Pernyataan Nurul Arifin

Nurul Arifin - DPR RI

Pernyataannya berani dan beresiko. Lemhanas dan Wantannas serta Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), memang harus dikritisi, dikoreksi, agar jelas kerjanya – ada karya nyatanya. Meski berupaya pernyataan saja. Tidak diam diam dan menghabiskan anggaran negara. Larangan ucapan salam lintas agama dari ormas keagamaan merusak kerukunan dan kebangsaan. foto DPR RI

OLEH DIMAS SUPRIYANTO

SELAMAT PAGI saudara saudaraku sebangsa dan setanah air. Salam Sejahtera untuk kita semua. Antara 1987 dan 1988 saya bergabung dengan Sanggar Teater Populer pimpinan almarhum Teguh Karya di Jl. Kebon Pala 1, Tanah Abang – Jakarta dan sempat menjalani suting film bareng Nurul Arifin. Dia menjadi pemeran utama, sedangkan saya menjadi figuran dan kru dari keluarga sanggar.

“Pacar Ketinggalan Kereta” (1988) yang disutradarai Teguh Karya adalah judul film kami, dengan pemain utama Onky Alexander, Ayu Azhari, Nurul Arifin, Didi Petet (alm), Alex Komang (alm), Tuti Indra Malaon, Niniek L Karim, Rahmat Hidayat (alm) dan lain lain.

Itu film saya yang pertama dan terakhir. Saya menikmati proses berkesenian di sanggar teater – menjalani latihan latihan fisik, vokal, dan mengikuti arahan sang pemimpin sanggar yang juga sineas paling diperhitungkan pada zamannya. Melihat juru kamera, tenaga artistik, pencatat skrip asisten sutradara dan kru bekerja. Datang lokasi suting, dimana film bioskop dibuat dan berproses. Sangat mengesankan dan menjadi kenangan tak terlupakan.

Tapi saya tidak cukup berbakat tampil di depan kamera dan berakting. Setidaknya menurut saya sendiri. Dan saya kurang ngotot di bidang ini, dibandingkan El Manik dan Afrizal Anoda, mantan wartawan era 1970-an dan 1980an, yang sukses menjadi aktor.

Nurul Arifin tampil cemerlang, menjadi nomimator FFI 1989 di film Pacar .. itu dan berhasil mengubah image sebagai bintang film sexy, menjadi aktris pemeran yang diperhitungkan. Sejak tampil memerankan Kirana, gadis pendamping film Nagabonar (1987) yang melambungkan nama Deddy Mizwar dan menjadi film fenomenal itu, Nurul pindah genre. Berlanjut dengan Pacar Ketinggalan Kereta itu.

GEN Z tidak lagi mengenal Nurul Arifin sebagai aktris film. Isteri jurnalis senior Kompas Grup, Mayong Suryolaksono itu, sudah menjadi politisi, di antara generasi kelahiran rentang 1997-2012-an itu. Mereka mengenali Nurul sebagai politisi Golkar, anggota Dewan di Senayan, yang cukup kritis, sama kritisnya dengan Rieke Diah Pitaloka, pesinetron serial Bajaj Bajuri. Nurul mewakili Golkar dan Rieke mewakili PDIP.

MELALUI media Instagram kemarin, saya mendapat video kutipan dari Nurul selaku anggota Komisi I – DPR RI, saat menyoroti soal salam lintas agama yang belakangan menjadi polemik di publik. Nurul Arifin meminta ada penyataan yang resmi dari lembaga Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) terkait itu selain Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).

“Ini untuk Wantannas Bapak Hutabarat kan kemarin ini kita ribut Pak, ributnya soal isu ada yang tidak boleh mengatakan salam selain agamanya begitu Pak ya. Jadi saya ingin mem-back up apa yang dikatakan oleh Pak Jazuli, Pak Ketua Fraksi PKS,” kata Nurul dalam rapat dengan Lemhanas dan Wantannas, Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (13/6/2024).

Nurul mengatakan mesti ada pernyataan resmi terkait salam lintas agama supaya publik tak khawatir. Ia menyinggung Indonesia menjadi negara yang besar dan disegani lantaran perbedaan yang dapat diterima oleh masyarakatnya.

Nurul menyampaikan harapannya, ada satu institusi yang sifatnya nasional selain BPIP yang bisa memberikan pernyataan sikap kebangsaan yang mendukung salam lintas agama.

“Kita ‘kan negara pluralis dan majemuk. Justru perbedaan itu membuat bangsa ini menjadi besar dan kuat dan disegani di tatanan global,” ungkap Nurul Arifin.

Ia mengatakan pelarangan seperti itu hanya mengkerdilkan sikap menghargai sesama. Ia takut pihak yang tak berani untuk buka suara akhirnya takut dan mengikuti doktrin yang diberikan ke publik.

Sekali ini saya mendukung Nurul. Telah lama kita diganggu oleh fatwa fatwa intoleran dari ormas keagamaan, yang merusak kerukunan kita sebagai bangsa. Fatwa fatwa MUI cenderung melemahkan semangat kebersamaan dan kesetaraan sebagai bangsa.

Sejak awal kemerdekaan, Bapak Pendiri Bangsa (Founding Fathers) menegaskan kita bukan negara agama. Melainkan negara bangsa. Segala suku, warga daerah daerah, dengan adat istiadat dan latar belakang budaya dan agama bersatu padu, mewujudkan kebhinekaan yang kuat dan setara. Data statistik mengungkap, ada 300 kelompok etnik atau suku bangsa dan 1.340 suku bangsa yang bicara dalam 718 bahasa di Tanah Air kita tercinta.

Jika ada suatu ormas agama melarang salam lintas agama, dan diikuti pendukungnya – maka semua salam agama juga sebaiknya tidak diucapkan pada acara publik – yang dihadiri berbagai warga penganut beragam agama. Setara dan berkeadilan. Dalam berbangsa dan bernegara tidak berlaku azas mayoritas dan minoritas. Salam agama hanya diucapkan di majelis keagamaan saja.

Saya senang mendengar pernyataan Nurul Arifin. Pernyataannya berani dan beresiko. Lemhanas dan Wantannas serta Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), memang harus dikritisi, dikoreksi, agar jelas kerjanya – ada karya nyatanya. Meski berupaya pernyataan saja. Tidak diam diam dan menghabiskan anggaran negara.

Saya meyakini Nurul Arifin tak sekedar berakting di Komisi I – DPR RI itu. Dia merasa terganggu dengan fatwa MUI yang mengharamkan salam lintas agama. Nurul yang dibesarkan oleh keluarga Muslim dan Sunda menikah dengan jurnalis jurnalis berdarah Jawa dari keluarga Katolik. Baik secara pribadi maupun selaku legislator, Nurul memang harus bicara. Dan saya ikut mendukungnya. ***

Avatar photo

About Supriyanto Martosuwito

Menjadi jurnalis di media perkotaan, sejak 1984, reporter hingga 1992, Redpel majalah/tabloid Film hingga 2002, Pemred majalah wanita Prodo, Pemred portal IndonesiaSelebriti.com. Sejak 2004, kembali ke Pos Kota grup, hingga 2020. Kini mengelola Seide.id.