Mengenang Dr Radjiman di Hari 1 Sura

Oleh : ANDI SETIONO MANGOENPRASODJO


Bagi saya, ada dua tokoh Kejawen paling otentik, seorang local-jenius, tetapi memiliki reputasi pergaulan global. Pertama, sudah sering saya tulis adalah Sosrokartono, kakak dari RA Kartini. Kedua, adalah Radjiman. Tentu saya merasa lebih dekat dengan nama kedua, karena ia dilahirkan dan dimakamkan di kota saya.

Keduanya punya kemiripan karakter sederhana, tapi sesungguhnya saling bertolak belakang. Sosrokartono, sekalipun seorang priyayi, ia sangat abai dan membuang jauh gelarnya itu. Sebaliknya, Radjiman, walau kemudian dianugerahi gelar Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) sesungguhnya justru berasal dari keluarga biasa, kalau tidak malah dikatakan sangat miskin.

Konon, ia mulai bersekolah hanya dengan mengikuti pelajaran dari balik jendela saat mengantar dan menemani “anak ndoro”-nya pergi ke sekolah. Seorang guru Belanda yang baik hati, kemudian memberinya kesempatan belajar di kelas dengan duduk di bangku paling belakang. Tak nyana, ia adalah seorang murid yang bukan saja pandai tapi sangat cerdas. Ia sempat beberapa kali lompat kelas, dari tingkat dasar, menengah, hingga pada usia 20 tahun ia sudah berhasil meraih gelar dokter. Bahkan telah memperoleh gelar Master of Art pada usia 24 tahun. Bukan dari STOVIA Batavia tempat ia bermula, tapi sebagai mahasiswa yang mendapat beasiswa untuk belajar di Negeri Belanda.

Pilihannya menekuni bidang kedokteran tak lepas dari pengaruh pamannya, yang tak kalah merakyat yaitu Dr. Wahidin Sudirohusodo. Seorang pahlawan kebangkitan nasional yang juga membawanya terlibat dalam organisasi hiper-nasionalis Boedi Oetomo. Di organisasi inilah, Radjiman muda memperoleh tempaan kepekaan sosial dan kecerdasan berpolitik. Ia adalah tokoh yang sangat visioner dan berani memiliki sikap yang tegas sejak dari muda. Salah satu sikapnya yang tak banyak orang tahu adalah “permusuhan”-nya dengan Agus Salim yang saat itu menjadi tokoh Sarikat Islam.

Sebagai seorang peminat theosofi (istilah lain bagi intelektual untuk menyebut mereka yang beraliran Kejawen), ia sudah melontarkan gagasan tegas untuk menolak usulan agar ajaran Islam dimasukkan dalam Boedi Oetomo. Argumentasinya adalah (sebagaimana dikatakannya): “Jika mengikuti hukum Islam secara konsekuen, maka seni pahat, seni patung, seni sastra Jawa akan lenyap. Demikian pula nasib adat istiadat Jawa”. Hal tersebut dikatakannya pada Kongres Boedi Oetomo pada 5-6 Juli 1917.

Artinya apa yang hari-hari ini terjadi, dimana hegemoni asing yang berwujud dari salah satu agama sesungguhnya bukanlah hal baru. Hal tersebut telah terjadi sejak lebih dari 100 tahun yang lalu.

Sebagai seorang jenius, ia juga terlibat dalam organisasi tertutup yang belakangan dianggap terlarang yaitu Freemansory. Ia menjadi satu-satunya Mason berkebangsaan Jawa yang tulisannya dimuat dalam Gedenkboek der Vrijmetselarij in Nederlandsche Indie 1767-1917 (Buku Kenang-Kenangan Freemasonry di Hindia Belanda 1767-1917) yang diterbitkan di Semarang pada 1917. Dalam buku tebal yang menjadi bukti tak terbantahkan tentang keberadaan Freemasonry di negeri ini, Radjiman menulis sebuah artikel berjudul, ”Een Broderketen der Volken” (Persaudaraan Rakyat).

Kedudukannya tersebutlah, yang memungkinkannya memiliki posisi strategis dan dipercaya oleh banyak pihak. Walau pernah menjadi dokter pemerintah kolonial, kemudian ia memilih di jalur kerakyatan untuk menjadi dokter desa di Ngawi. Sebuah posisi unik, yang justru membuatnya menjadi ditarik dalam lingkaran kekuasaan di Kraton Surakarta. Dengan reputasinya sebagai “lulusan manca”, ia dipercaya sebagai penguhubung dengan pemerintah kolonial maupun banyak negara asing lainnya. Hubungan baik inilah, yang kemudian justru membuat Surakarta lambat menyatakan dirinya ikut dalam proses “pemerdekaan Indonesia”.

Ia kemudian dipercaya untuk menjadi Ketua BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Pada tanggal 29 Mei, ia mengajukan pertanyaan “apa dasar negara Indonesia jika kelak merdeka?.” Pertanyaan ini dijawab oleh Bung Karno dengan Pancasila. Jawaban dan uraian Bung Karno tentang Pancasila sebagai dasar negara Indonesia ini kemudian ditulis oleh Radjiman selaku ketua BPUPKI dalam sebuah pengantar penerbitan buku Pancasila yang pertama tahun 1948 di Desa Dirgo, Kecamatan Widodaren, Kabupaten Ngawi.

Catatan ini baru terbongkar bertahun-tahun kemudian, dan menjadi salah satu bukti otentik dalam sejarah Indonesia yang memaparkan fakta bahwa Soekarno adalah Bapak Bangsa pencetus Pancasila.

Ia jugalah yang mengetuk palu penetapan Pancasila sebagai Dasar Negara RI, bahkan ia pula yang mencegah dijadikannya Piagam Jakarta yang mencantumkan 7 patah kata, yang berpotensi menjadikan Pancasila “miring” ke sebuah agama mayoritas. Pertarungan ini, sesungguhnya bila dilacak lebih jauh sangat naif dan lucu, karena merupakan pertarungan sesama orang Jogjakarta. Ki Bagoes Hadikoesoemo di satu sisi dan Dr. Radjiman di sisi lain. Sebuah pertarungan klasik antara “cah lor rel” lawan “wong kidul rel”. Pertarungan mahzab Utara-Selatan yang abadi hingga hari ini dalam pergulatan pemikiran dan perebutan pengaruh di kota ini.

Pada hari ini, 10 Agustus di tahun 1945, Dr. Radjiman mengantar Soekarno dan Hatta melawat ke Saigon, Vietnam. Untuk kemudian menemui Jendral Terauchi di Dalat. Peristiwa ini menjadi sangat penting. Karena, pemerintah pendudukan Jepang kemudian merestui kemerdekaan Indonesia yang direncanakan akan dilakukan pada 24 Agustus 1945. Tapi akibat peristiwa penculikan oleh para pemuda di Rengasdengklok itu, kemudian dipercepat pada tanggal 17 Agustus. Menjelaskan bahwa dari dulu sifat bangsa ini memang selalu grusa-grusu terburu2, tidak taktis, dan hobby memaksakan kehendak.

Setelah mengantarkan ke gerbang kemerdekaan, Dr. Radjiman seolah dilupakan sebagai salah satu Bapak Bangsa. Ia kembali menjadi dokter di mana semula ia berpraktek. Ia seolah disingkirkan, karena watak Kejawen-nya dan keanggotaannya sebagai seorang freemanson. Memang sempat beberapa kali menduduki jabatan lembaga negara, tapi ia selalu dicurigai karena “pikiran bebas”-nya. Sukarno sendiri baru membubarkan Fremanson pada tahun 1962, jauh hari setelah Radjiman meninggal. Sebelum akhirnya dipulihkan lagi oleh Gus Dur saat ia menjabat sebagai presiden.

Dr. Radjiman meninggal pada usia 73 tahun di tahun 1952. Ia wafat di satu-satunya rumah yang dimilikinya di Widodaren, Ngawi. Rumah yang oleh masyarakat setempat dikenal sebagai toponim “Kanjengan”, merujuk gelar keningratannya yang diperoleh dari Kraton Surakarta. Sebagaimana seorang Kejawen, ia meninggal di usia sepuh. Lalu kemudian dimakamkan di kampung kelahirannya di Desa Mlati, Sleman. Bersebelahan dengan pamannya Dr. Wahidin Sudirohusodo.

Sebelum ia meninggal, ia mencetuskan ide untuk lebih memberi perhatian pada manusia lanjut usia. Di usia tuanya, ia masih tercatat sebagai Anggota DPR yang aktif bolak-balik Ngawi-Jakarta. Usulannya tersebut disampaikan kepada Sukarno saat ia menjenguk ke rumahnya di Ngawi. Usulan tersebut, kemudian baru diterima oleh “Kejawen yang Lainnya” yaitu Suharto, pada tahun 1996. Berarti harus menunggu 44 tahun sejak gagasan itu pertama dilontarkan. Dan tanggal yang dipilih adalah 29 Mei sebagai tanggal ia memimpin Sidang Hari Pertama BPUPKI.

Radjiman adalah adalah sebuah ironi besar negeri ini, ia adalah seorang yang jenius dengan pergaulan “ke atas ke bawah” yang seimbang dan egaliter. Ia memiliki reputasi internasional, tetapi sekaligus tak malu kembali ke habitat aslinya di tengah rakyat jelata. Ia tak silau dengan Batavia, kota yang ikut membesarkannya. Ia tetap memiliki ikatan kuat dengan wong cilik yang membuatnya punya peran nyata yang lebih berarti. Hingga akhir hayatnya ia lebih bangga menyebut dirinya sebagai “Dokter Desa”.

Ia adalah potret “figur triple sial” yang akut di negeri ini. Sebagai seorang freemanson, kejawen, dan bersahaja. Sebagai seorang Bapak Bangsa ia baru ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional dengan sangat terlambat. Baru pada 6 November 2013, ia baru beroleh pengakuan setelah demikian lama dinggap bahaya laten. Atau sebaliknya, kurang keren untuk ukuran ibukota yang selalu butuh hal2 yang wah. Entahlah….

Demikianlah nasib seorang Kejawen sejati: seorang yang memiliki kepercayaan diri tinggi, tapi dengan kerendahan hati yang tak bertepi….
.
.
.
NB: Orang Kejawen itu “gampang nriman”. Ia mudah menerima, mengerti dan berempati. Ia sulit untuk menjadi pemarah dan penuntut. Apalagi menganggap diri penting. Sebagaimana nasib para Kejawen di hari Malam 1 Sura di hari2 ini. Liburnya digeser sehari, atas nama pandemi dan menghilangkan potensi libur kepanjangan.

Ia tak protes! Walau itu adalah satu hari terpenting dalam satu tahun kalender mereka. Padahal setelah semalam ngebyar, paginya ia harus kembali bekerja. Ia tak mengeluh, apalagi complain. Mengingatkan pesan mulia dari Dr. Radiman: “jangan pernah meminta sesuatu dari negerimu, tapi jika negara membutuhkan sesuatu: berikanlah!”

Avatar photo

About Andi Setiono Mangoenprasodjo

Penulis, Pemerhati Sejarah, Direktur The Heritage Society, tinggal di Yogyakarta