Setiap kali melihat makanan tersisa di piring, lalu dibuang ke tempat sampah, Nyong menjadi sedih. Nyong ingat nasehat orangtua dulu. Makanan itu menangis dan disia-siakan, karena tidak dihabiskan. Padahal makanan itu rejeki dari Allah.
Sejak kecil orangtua mengajari kami, anak-anaknya agar tidak menyisakan makanan yang diambil dari meja makan. Yang tersaji itu harus disyukuri dan dinikmati.
Seorang kakak Nyong pernah komplain pada Ibu, karena lauknya membosankan. Kalau tidak tahu, ya, tempe. Digoreng atau disayur. Seusai makan, Nyong melihat Ibu menangis di dapur.
Sorenya, ketika makan bersama, kakak diingatkan oleh Ayah agar anak menghargai kerja Ibu. Ayah juga cerita, selama ini tidak pernah komplain atau ngeluh pada Ibu, karena Ayah menyadari Ibu capai mengurus perkerjaan rumah tangga dan anak-anak yang tidak ada habisnya.
Intinya, Ayah mengajari agar kelak kita menghargai kerjaan istri. Jikapun komplain, tapi dengan cara elegan, lembut, atau bercanda, sehingga tidak menyinggung perasaan. Sebaliknya, suasana kekeluargaan semakin hangat dan mesra.
Pengalaman untuk menghargai rejeki dari Allah membuat kami hidup dengan ‘gemi lan setiti’. Hemat dan rajin menabung.
Hidup prihatin adalah jalan panjang masa depan Nyong untuk hidup sederhana dan tidak neka-neka.
Berasa tidak pandai di sekolah maupun di dalam hidup keseharian, membuat Nyong menjadi ringan tangan dalam bekerja. Nyong tidak pernah memilih-milih pekerjaan, asalkan halal pasti dikerjakan. Bekerja dan terus berusaha dengan gigih, sehingga memudahkan Nyong beradaptasi dengan bidang keilmuan dan lingkungan.
Kebiasaan untuk menghargai rejeki sebagai anugerah Allah memotivasi Nyong sekeluarga untuk hidup hemat dan prihatin. Sekaligus untuk menumbuhkan semangat berbagi pada sesama.
Nyong juga tidak membiarkan barang teronggok percuma atau terbuang mubasir. Barang yang masih layak pakai, kita tawarkan pada orang, sekiranya berkenan dan membutuhkan.
Begitu pula, ketika makan bersama di restoran. Kita pesan makanan secukupnya, bukan asal kita punya duit dan mampu bayar lalu kita tidak menghabiskan, dan sisanya dibuang mubazir.
Mengutip kata Paus Fransiskus, kebiasaan kita membuang makanan itu ibarat kita mencuri makanan dari orang-orang miskin.
Jika kita semua tidak mau dianggap sebagai pencuri rejeki orang miskin, lebih bijak kita peduli, berempati, dan berbela rasa pada sesama.
Gerakan berbagi dimulai dari keluarga kita sendiri.
(Mas Redjo)