Bagaimana reaksi kita, ketika kedatangan seorang tamu? Bersikap biasa, tak acuh, senang, heboh, atau surprise?
Perasaan tiap orang tentu tidak sama dalam menyambut dan memperlakukan seorang tamu.
Salah satu faktor yang mempengaruhi sikap kita adalah siapa tamu itu dan maksud tujuannya bertamu.
Ketika tamu itu teman lama, famili, atau orang terpandang, kita menyambutnya dengan ramah, hangat, dan gegap gempita.
Sebaliknya, jika tamu itu orang kebanyakan atau miskin, kita sering kurang ramah, kurang hormat, ogah-ogahan, dan takut direpoti atau dihutangi.
Coba bertanya pada diri sendiri. Seandainya kita bertamu ke rumah orang lain, tapi tidak ditanggapi dan disinisi?
Jika kita tidak mau diperlakukan seperti itu, ya, sudah sepantasnya kita menyambut tamu itu dengan ramah. Sebagai tuan rumah, kita mesti menyambut dan melayaninya dengan baik tanpa melihat status atau maksud tujuannya. Tamu itu rejeki dan berkah.
Bagaimana disebut rejeki, jika tamu itu hendak pinjam uang?
Tamu itu datang ke rumah, berarti ia percaya pada kita. Ia ingin silaturahmi dan berbagi cerita. Dibilang rejeki karena kita diajak untuk berbagi agar kita murah hati.
Dengan berpikir positif dan berprasangka baik, kita membuang syak wasangka untuk menjadi tuan rumah yang baik dan ramah.
Tidak berbeda, ketika kita menjadi tamu di rumah ibadah. Kita datang dengan segudang persoalan, keluh kesah, dan harapan.
Allah tidak pernah menolak kita. IA menyambut kita dengan sukacita dan menanggapinya dengan kasih.
Bertamu itu sejatinya membangun hubungan yang baik dan akrab. Tidak semestinya kita kotori dengan pikiran jelek dan curigaan.
Kelak, ketika ajal menjemput, kita juga pergi bertamu ke rumah Allah. IA menyambut kita, sebagaimana kita memperlakukan tamu kita. Dengan senyuman yang hangat dan akrab. Senyum kasih yang selalu dirindukan umat-Nya … (MR)