Muhammad Kace dan Keyakinan Gombal

Oleh SAHAT SIAGIAN

Saya tidak percaya pada kekuatan seseorang atau kelompok yang berjuang semata bagi keagungan sebuah agama. Itu basi dan irasional. Itu sebabnya saya gak pernah tertarik mendengar ceramah Christian Prince, apalagi Muhammad Kace. Halah, gombal.

Boleh saja mereka yakin bahwa apa yang mereka nyatakan adalah kebenaran tunggal. Boleh… Sila. Gak ada yang larang. Keyakinan adalah wilayah bebas, free zone. Bahkan ilmu pengetahuan pun tak berdaya di hadapannya. Siapa bernyali melarang orang Indonesia percaya bahwa negaranya lebih dulu dirancang Tuhan sebelum daratan atau pemerintahan lain?

Orang boleh berkata bahwa Sumeria—induk kebudayaan Timur Tengah (Yahudi, Kristen, dan Islam)—adalah kebudayaan tertua. Tapi temuan arkeologis membuktikan bahwa terdapat kebudayaan lain di Sulawesi yang usianya 3-4 kali lebih tua daripada kisah Adam-Hawa.

Suka-suka orang Kristen atau Islam meyakini Adam dan Hawa adalah manusia pertama. Tapi jangan lecehkan sains memampangkan bukti arkeologik bahwa manusia di Sunda atau Batak atau Sulawesi lebih tua daripada itu semua. Apakah kita ingin berkata bahwa sains telah menghina agama?

Jadi, ngapain kita risak Muhammad Kace? Bangsa ini perlu sadar untuk membiarkan orang meyakini apa saja. Kadang kita gak ngeh bahwa sebuah pendakuan—meski tidak bertujuan khusus seperti itu—sebetulnya telah menegasi kepercayaan lain.

Meski saya memahaminya berbeda karena Yesus tidak pernah menegasi kepercayaan lain, kepercayaan orang Kristen bahwa Yesus satu-satunya jalan keselamatan di dunia ini (Yohanes 14:6) sebetulnya telah meniadakan yang lain. Tapi apa ada dari kita nekad berkata bahwa Kristen telah menghina Islam, atau Buddha, atau Hindu?

Persoalah Mohammad Kace adalah bahwa dia usil dan rempong mengurusi agama lain. Apalagi dia mantan pemeluk Islam. Namanya tak dia ganti bahkan terang-terangan dipampangkan sebagai teaser untuk menggaet perhatian publik. Demi hukum positif Indonesia dia harus didakwa, saya setuju. Tapi lakukan juga hal senada kepada mereka yang terang-terangan mengusili agama lain dari mimbar masjid.

Dipenjara, no way. Adili saja dia secara terbuka. Hadirkan berbagai sudut pandang keagamaan agar lahir kesadaran komunal d dada orang Indonesia. Mungkin setelah itu Muhammad Kace bakal malu di hadapan orang banyak. Ilmunya masih sebutir debu dibanding keluasan ilmu di jagad ini. Biarkan dia reguk kembali ludah dari mulut besarnya. Itu ganjaran yang perlu dia alami.

Satu hal yang membuat saya kurang bersemangat menyambut pelandaian Covid-19 akhir-akhir ini adalah dibukanya kembali rumah-rumah ibadah. Karena beragama Kristen, saya rindu ucapan Yesus maujud: menyembah Allah dalam Roh dan Kebenaran. Semula saya mengira Covid akan mengantar kita ke sana. Ternyata tidak. Orang Krsten harus menemukannya sendiri. Besok masjid beroperasi. Demikian juga dengan gereja di hari Minggu. Saya cuma berharap Covid-19 telah mendewasakan kita.

Tengoklah Amirsyah Tambunan—Sekjen MUI. Justru dia yang berupaya mencari tahu kebenaran kabar seliwer bahwa Turki telah memesan 5,2 juta dosis vaksin Nusantara. Tanpa ragu media di Sumatera Barat, BentengSumbar.com, mengabarkan konfirmasi Amirsyah yang berkata tegas bahwa adalah benar Vaktara telah dipesan Turki. Mereka bergemuruh menyambut hasil kerja Dr Terawan, dokter bersuku jawa, beragama Kristen, yang aktif di GKI Kwitang.

Bergema lirih suara Ainun Jamilah, perempuan bercadar, bersama suster, pendeta, dan puluhan orang Indonesia berkata “and the dream were conceived in will reveal a joyfull face” https://youtu.be/5Pm82bQdQLQ

Itu yang kita kisah-dan-gemakan. Itulah wajah Indonesia sesungguh. Di dada mereka terdapat keyakinan berbeda dalam beragama. Tapi cinta lebih kuat daripada apa pun, bahkan dari syahadat pengakuan Iman Rasuli.