Penulis Aries Tanjung
Banyak orang menduga, mural adalah salah-satu cabang seni rupa. Mungkin karena kita di sini belum begitu lama terkena “demam” itu.
Mural justru sudah ada jauh sebelum seni rupa “diproklamasikan” sebagai salah-satu disiplin ilmu dalam sekolah kesenian, khususnya sekolah seni rupa.
Ada istilah seni rupa muni yang kita terjemahkan dari fine art. Ada istilah seni rupa terapan, yang kita terjemahkan dari applied art. Istilah seni rupa terapan agak lucu sesungguhnya. Karena, semua jenis seni rupa pada hakikatnya memang diterapkan bukan?
Seni rupa terapan, yang dimaksud adalah seni ilustrasi, seni kolase (?), dan seni grafis. Mungkin, karena ketiga cabang seni rupa itu sifatnya lebih rutin dan “diterapkan” di media publik yang lebih luas dan massal (dalam hal ini seni cetak), maka disebut seni terapan.
Seni terapan mutunya dianggap lebih rendah daripada seni rupa murni atau fine art. Karena, seni rupa murni dianggap lebih dalam, lebih sublim, lebih “berjiwa”, dan lebih-lebih yang lain. Karena, konon dikerjakan berdasarkan pengalaman, pengendapan, dan pergulatan batin senimannya. Sementara, seni terapan dikerjakan dengan… rutin itu tadi.
Kembali ke mural. Mural berasal dari bahasa Latin (?) murus, yang berarti dinding. Dinding dalam pengertian bidang yang luas, besar, dan kolosal.
Dinding bisa terbuat dari papan kayu, logam, dan batu. Manusia purba sudah membuat mural pada dinding gua. Mural itu bisa tentang sesuatu yang dilihatnya. Tentang sesuatu yang ingin dikisahkan atau sesuatu keinginan, harapan, atau kekhawatiran.
Karya Picasso yang “tak berharga” (karena saking mahal dan pentingnya, sehingga sulit menentukan harganya, haha) yang berjudul Guernica, bisa digolongkan karya mural, karena berukuran sebesar dinding rumah.
Ketika Picasso membuat karya itu, semangatnya memang “semangat membuat mural”. Ketika itu Spanyol sedang dijajah oleh Jerman. Tentara Jerman yang kejam membantai rakyat Spanyol. Secara mental, rakyat Spanyol sangat terpuruk. Pada saat-saat seperti itulah datang seorang pejuang Spanyol menantangnya untuk “membuat apa pun dengan kemampuan seni” yang dimiliki oleh Picasso untuk menyemangati mental rakyat Spanyol.
Picasso langsung meresponsnya.
“Aku membutuhkan kanvas yabg sangat besar ” katanya. Lalu lahirlah Guernica.
Ketika Jerman hendak merampasnya, karya itu disembunyikan dan diselamatkan oleh temannya di sebuah tempat rahasia di Paris. Puluhan tahun kemudian, ketika karya itu kembali ke “haribaan” Spanyol, seluruh rakyat memyambutnya seperti menyambut pulangnya pahlawan perang…
Zaman modern, “niat” manusia membuat mural pun tak jauh berbeda dengan zaman purba: informasi bombastis tentang kelompoknya, eksistensi dan pamer kekuatan komunitasnya, berita tentang kegembiraan, atau kegelisahan terhadap keadaan dan kritik.
Para kritikus kerap membedakan antara mural dengan grafiti. Grafiti dianggap pada awalnya “hanya” sebatas “keisengan” suatu kelompok remaja yang ingin diakui identitas kelompoknya oleh lingkungan atau kelompok lain.
Grafiti dianggap hanya merupakan “kegenitan” remaja. Pada perkembangannya, grafiti merupakan kritik terhadap lingkungan terdekat, lingkungan pemukiman, dan bahkan kritik terhadap kebijakan rezim yang sedang berkuasa.
Coretan-coretan itu beragam. Mulai dari yang indah, artistik, sampai yang brutal, jorok, dan kasar menantang. Di Amerika dan Eropa malah ada tempat-tempat tertentu yang dilarang membuat grafiti.
Pembuat grafiti New York yang mendunia adalah Matt Goering. Sedangkan terhadap Jaen Michael Basquiat, para pengamat dan kritikus agak bingung menggolongkannya. Adakah dia seniman mural atau grafiti?
Tapi, bagiku, penggolongan itu tak seberapa penting. Yang jauh lebih menarik perhatian adalah ungkapannya yang terkenal:
“Ketika sedang bekerja, aku tak berpikir tentang seni atau kesenian. Tapi, aku berpikir tentang kehidupan..!”