Seide id – Di suaru warung kopi, tempat orang orang santai melepas penat, saya duduk lesehan. Ada juga beberapa meja bangku, tapi saya memilih duduk lesehan di atas tikar, karena lebih nyaman.
Warung itu letaknya di pinggir kota, tidak terlalu ramai, tapi suasana khas pedesaan masih terasa. Apalagi saat gerimis kecil menjelang tengah malam. Wow!
Seperti biasa saya menulis di layar HP, sesekali ngobrol dengan Kasmo, si empunya warung.
“Kedelai masih mahal, Mas, jadi saya bikin baceman tahu tempe gak banyak. Kasian pelanggan kalo dinaikan, lebih baik saya cari jalan tengah,” ungkap Kasmo.
Semula saya bermaksud memesan baceman, jadi urung, lalu saya ganti memesan jadah bakar, perkedel, baceman ceker bakar, plus susu jahe kopi klothok agar badan jadi hangat.
Dingin malam makin menggigiti tubuh, gerimis kecil setia menemani dini hari, dan warung kopi itu tetap ramai.
Saya menengok ke samping meja Kasmo, TV di warungnya mati, karena ia belum membeli Set Top Box (STB) alat konversi analog ke digital. Tapi bagi Kasmo pribadi, hal itu tidak masakah, karena ia memiliki hp untuk melihat acara TV.
Kadang ada beberapa pelanggan yang meledek, mengenai tv-nya.
“Mo, tv-mu lagi sakit ya, mbokya diobatin agar sehat…”
Kasmo menjawab dengan senyum, atau nyengir. Baginya hidup itu harus mengalir bagai air. Setamat SMA ia tidak mau bekerja di pabrik atau daftar asn, apalagi kuliah, tapi ia bertekad untuk berwiraswasta dengan sedikit modal dari alm. orangtuanya. Ia dibantu adiknya membuka warung kopi, dari sore hingga menjelang subuh.
“Sudah lebih dua bulan ini memang beda, ya, mas… Biasa jam 1 an dagangan sudah habis, sekarang pasti sampai subuh”, kata Kusno seperti ditujukan pada diri sendiri.
Ia paham, hampir semua warung mengalami penurunan, dan sepi. Karena memang daya beli masyarakat yang kian menurun. Sehingga, mau tak mau ia juga mengurangi produksi penganan.
Saya masih menghisap kretek, ketika entah dari mana menyeruak suara, “Orang seperti Kasmo itu yang membuat adem Indonesia. Nggak banyak menuntut, gak protes, nggak cing-cong, apalagi nggresulo…. Itu karena ia sadar diri dan belajar pahami makna hidup ini.”
Ternyata Senton meledek saya. Wah, jika merembet ke arah politis moral begini ini bakal merembet ke mana-mana. Itu kebiasaan Senton, kawan misterius saya. Sehingga saya memilih banyak diam untuk mendengar.
“Coba kalo nggak percaya, di banyak tempat orang senang membahas Sambo, tv analog pada mati, bantuan alat STB kominfo belum datang, oknum asn berkomplot memalsu uang… Lha mbahas kok yang kita sendiri juga belum tahu jelas persis masalah dan sumbernya. Ya, kayak membahas ayam sama telur duluan mana…,” celoteh Senton kesal. Meski dalam hati saya tersenyum. karena Senton sewot dengan batinnya sendiri.
“Moo, tolong hitung semua berapa,” saya lalu memberikan uang lembaran ke Kasmo, dan pamit. Saya tahu Senton bakal uring-uringan, karena ocehannya terpotong.
Senton terus menguntit saya di belakang. (riz)