Oleh DIMAS SUPRIYANTO
ADA banyak politisi yang terang terangan mengkhianati rakyat, tidak menunjukkan simpati masyarakat yang sedang dicekam pandemi Covid 19. Alih alih ikut bagi bagi sumbangan, menyisihkan kekayaannya yang tujuh turunan – ikut sosialisasi pentingnya menjaga kesehatan – mereka malah pencitraan dengan memasang baliho di mana mana.
Mereka pamer wajah diri yang berlemak dan berminyak, tanda makmur dan terawat. Menunjukan penampilan sebagai sosok makmur, sentosa, sejahtera, makan enak, tidur nyak, isterahat cukup, banyak bersenang senang – pada saat rakyat ‘kesrakat’, tercekik, terkena pembatasan, PPKM, hilang job – putus kontrak, pontang panting mencari uang buat memberi makan keluarga.
Kesamaan dari mereka, para politisi yang pamer baliho itu, orang orang elite yang tidak merakyat – dan meski mengaku “bekerja untuk rakyat” – buat wong cilik, faktanya kehidupan mereka mengawang awang. Tidak membumi.
Memang – tidak semua elite harus membumi. Teknokrat dan pakar pembangunan, pakar keuangan, ilmuwan, cendekiawan, dan mereka yang bersinggungan dengan negara asing, mengolah duit negara dan menunggui bank sentral dan sumber keuangan serta keamanan negara lainnya, hendaknya tetap fokus menjalankan tugasnya di menara, di ruang tertutup yang aman. Menjaga arus ribuan triliun dan menyalurkan untuk keperluan pembangunan dan kepentingan rakyat.
Akan tetapi para pemimpin partai, yang sering menjual nama rakyat, bicara mengatas-namakan rakyat, seharusnya turun ke lapangan, bertemu rakyat yang sebenarnya. Menyerap aspirasi orang orang papa dan jelata. Bukan bergaya ala menak, bangsawan dan juragan. Pasang baliho di mana mana.
Di tangan saya, ada kiriman buku hadiah ultah, dari putri sulung saya: Leiden. Ini nama kota bersejarah di Belanda – yang ternyata juga bisa berarti pemimpin. Ada kata lain yang mirip dengan ‘Leiden’ yakni ‘Lijden’ – dan dua kata dalam bahasa Belanda dengan penyebutan yang sama, punya arti yang berbeda. Leiden berarti memimpin, sedangkan Lijden berarti menderita.
Ketika kedua kata ini dipadukan, Leiden is Lijden berarti “memimpin adalah menderita”. Perpaduan kedua kata ini kemudian menjadi pepatah yang menggambarkan keikhlasan para pemimpin untuk rela menderita demi rakyat yang dipimpinnya.
Kerelaan pemimpin untuk hidup menderita demi rakyat, tak berarti bahwa menjadi pemimpin pasti menderita. Ia hanyalah filosofi. Filosofi Leiden is Lijden adalah salah satu pilihan jalan pengabdian, siap berkorban, dan biasa dilalui oleh mereka yang paham bahwa kebahagiaan rakyat yang dipimpin lebih utama dibanding pemipinnya.
Makan secukupnya, kurang tidur, banyak berjalan, berkeliling, mengawasi jalannya pembangunan. Memastikan semua berjalan sesuai rancangan.
DALAM PERJALANAN sejarah bangsa, para pendahulu kita banyak menderita. Mereka masuk keluar penjara dan diasingan di pulau terpencil, bertikai dengan rekan seperjuangan. Terlibat berdebatan di parlemen dan istana. Mengatasi pembrontakan daerah, dan orang orang yang memanfaatkan jabatan untuk keuntungan diri dan keluarga besarnya.
Di zaman pra kemerdekaan, banyak pemimpin bangsa, seperti Soekarno, Tan Malaka, Hatta, dan Haji Agus Salim, yang memang pernah masuk penjara. Tetapi, itu demi kepentingan kemerdekaan Indonesia.
Tan Malaka, tokoh yang langganan masuk penjara itu pernah berujar, “Siapa ingin merdeka, ia harus rela masuk penjara.” Penjara bagi para tokoh bangsa yang disebutkan ini adalah penderitaan demi kebahagiaan rakyat. Tapi, itu dulu. Tidak sekarang. Kesederhanaan para tokoh bangsa itu kini adalah batu nisan, yang hanya ditengok secara simbolis di hari pahlawan, atau hari kemerdekaan.
DI masa kini pun pemimpin harus rela masuk penjara: Penjara ambisi dan nafsu mengutamakan partai keluarga besar, rekan dan koneksi. Penjara waktu, yang terus mengejar pencapaian untuk bangsa agar keluar dari krisis multi dimensi. Penjara itu masih relevan dan tak berarti fisik, jeruji besi.
Filosofi memimpin dengan manajemen ala Leiden is Lijden ini tentulah berat untuk dijalani, karena mengandung “keharusan yang merisaukan”, yakni bagi mereka yang memandang kempemipinan sebagai kekuasaan atau jalan kemakmuran—“memimpin adalah sejahtera”.
TAHUKAH Anda bagaimana dompet dan kantong jas Bung Karno sering tak ada uangnya – sering pinjam duit pada kolega, bahkan melelang peci yang dipakainya, jas Perdana Menteri Mohammad Natsir, banyak tambalan sehingga memancing perhatian wartawan dan politisi asing. Proklamator Bung Hatta hanya mampu menyimpan iklan sepatu Bally di lipatan bukunya dan tak terbeli hingga akhir hayatnya. Mereka semua mengutamakan rakyat, menjaga persatuan, memastikan aman dari Sabang sampai Merauke, yang kini kita nikmati bersama.
Bandingkan dengan para wakil rakyat saat ini, yang mendapatkan lima stel pakaian, dengan keperluan macam macam – dari duit negara. Di luar gaji mereka yang puluhan juta. Padahal rakyat banyak yang masih miskin dan sedang bertambah miskin.
Dengan ketokohannya, Anda mungkin tak percaya kalau Haji Agus Salim, salah satu The Founding Fathers itu, pada masa hidupnya tak pernah memiliki rumah layak, sebagaimana layaknya rumah pemimpin bangsa. Jika Tan Malaka hidup dari penjara ke penjara, maka Agus Salim hidup berpindah dari rumah tidak layak ke rumah jauh dari layak lainnya.
Haji Agus Salim adalah seorang pemimpin, dan pejuang kemerdekaan, yang hidupnya indetik dengan penderitaan. Ia hidup bersahaja bersama keluarga kecilnya. Penderitaanya lebur dalam kepemimpinannya, dan kepemimpinannya lebur dalam penderitaan. Kepemimpinan dan penderitaan tokoh yang juga jurnalis ini menyatu dalam Leiden is Lijden.
Dr. Tjipto Mangunkoesoemo, yang namanya kini diabadikan sebagai rumah sakit, sering keluar masuk penjara dan nafkahnya dimatikan, rumah pengobatannya ditutup, semata mata karena membela tanah airnya. Dia anak keluarga berada yang kalau mau kompromi dengan Belanda, hidup nyaman.
Dalam sejarah mutakhir, Nelson Mandela, Mahatma Gandhi, Raja Norodom Sihanouk, hidup dalam penjara dan pelarian. Juga Aung San Su Kyi di Myanmar kini.
Memimpin dengan jiwa Leiden is Lijden memang masih sulit kita temukan pada pemimpin saat ini, walau bukan tidak mungkin. Karena itu harus kita cari, sembari belajar juga untuk menjadi pemimpin, minimal atas diri sendiri.
Tapi di sini kita sedang memasuki zaman ketika “memimpin adalah sejahtera”, kepemimpinan merupakan gerbang kemakmuran karena di sana berbagai konsesi didapatkan, proyek proyek dan komisi, fee succes didapat. Kelamin ganda penguasa dan pengusaha menjadi kelaziman.
Bahkan, ada pemimpin yang kekayaannya tak habis sampai tujuh turunan. Tapi, mereka kadang kurang peduli dengan seberapa miskinnya orang miskin.
Memasang baliho besar-besar di tengah pandemi dan krisis multi dimensi menunjukan ketidak-pekaan, sebagaimana seragam lima stel 50 wakil rakyat seharga total Rp. 1,2 miliar. Jadikan bumerang bagi mereka. Jangan pilih. Kecuali Anda rakyat dan anggota masyarakat dengan IQ setara gorrila (87), sebagaimana yang sedang jadi viral di medsos hari hari ini. ***