Seide.id – Setiap 28 Oktober, setiap hari Soempah Pamoeda, tak bisa tidak, aku teringat kepada seorang tokoh pergerakan bernama Sutan Syahrir.
Syahrir, adalah seorang pemuda yang “nyaris sempurna”,…jika tubuhnya tinggi, maka sempurnalah dia sebagai pemuda. Tubuhnya termasuk mungil, bahkan untuk ukuran orang Asia. Tapi, tubuhnya atletis, karena menggemari olahraga. Kecil, gesit dan lincah. Konon dia cukup jago main sepakbola. Wajahnya tampan. Rambut ikal dan dipotong modis untuk kurun itu. Hidungnya mancung. Bibirnya penuh, selalu tersungging senyum. Matanya tajam dan cerdas. Keningnya agak luas.
Kecerdasan, jangan ditanya. Baik kecerdasan pelajaran sekolah, akademis mau pun kecerdasan sosial dan kecerdasan emosional. Pada usia belasan tahun dia sudah aktif dan cekatan berorganisasi. Pada usia 19 tahun (!), dia sudah memimpin kongres sebuah organisasi kepemudaan yang adalah cikal bakal Soempah Pemoeda.
Dia ikut merancang Negara Merdeka bersama Soekarno dan Hatta pada usia 28-29 tahun!
Ketika Jepang menyerah kepada sekutu, dia justru mengetahuinya sebelum Soekarno dan Hatta. Dwi-tunggal itu merencanakan mengumumkan kemerdekaan pada bulan September. Tapi para pemuda tak sabar. Karena jika menunggu sebulan atau 2 bulan lagi, Belanda yang masih bernafsu mengangkangi Ibu Pertiwi tergoda untuk kembali.
Para pemuda itu lalu menculik Soekarno, ‘menyembunyikannya’ di Rengasdengklok. Memaksa mengumumkan proklamasi secepatnya. Akhirnya proklamasi diumumkan kepada dunia pada tanggal 17 Agustus 1945, tanpa Sutan Syahrir.
Syahrir, konon agak tak sejalan dengan Soekarno. Syahrir yang bersekolah di Eropa dan beraliran sosialis, menganggap Indonesia yang terdiri dari pulau-pulau yang berpencar ini lebih cocok jika setiap propinsi diberi semacam keleluasaan untuk mengatur independesinya sendiri, mirip jalan fikiran Hatta, bukan?
Bahkan Syahrir berkata agak ketus: “Negara kesatuan cuma akan menghasilkan warga yang
kurang strugle, tak gigih, lemah, bahkan manja!”.
Meski kurang sejalan dengan Soekarno, tapi konon, Syahrir marah ketika para pemuda menculik Soekarno. Bahkan kabarnya Syahrir sampai menampar beberapa orang pemuda penculik.
Syahrir, menjadi Perdana Mentri termuda (di dunia?) ketika berusia 36 tahun. Bahkan merangkap Mentri Luar Negeri.
Mangun Wijaya pernah menganalisa, bahwa pemuda Indonesia modern paling cerdas adalah pada era pergerakan sampai beberapa tahun setelah kemerdekaan. Sekitar tahun ’20an sampai akhir tahun ’60an.
Ilustrasi: Sketsa Syahrir, Aries Tanjung
Aku kerap bertanya-tanya, mengapa di zaman pergerakan di mana para pemuda hidup ala-kadarnya. Mengkonsumsi makanan, bacaan dan nyaris tanpa hiburan, bisa ‘melahirkan’ orang-orang cerdas?.
Kata para ahli gizi, gizi yang baik adalah salah-satu syarat untuk membuat otak manusia sehat dan cerdas.
Bagaimana para pemuda yang mengkonsumsi apa adanya, jauh dari apa yang disebut “empat sehat lima sempurna” bisa melahirkan orang-orang cerdas. Sementara generasi sekarang punya: “empat sehat lima sempurna, enam nambah, tujuh mbungkus, delapan bawa pulang” malah biasa-biasa saja, bahkan lebih memble?. Ah, biarlah itu menjadi pe-er para ahli gizi.
Dalam novel Mangunwijaya “Romo Rahadi” yang menurut dugaanku adalah diri Romo sendiri ketika muda di era pergerakan. Dalam novel itu, dia menceritakan perjumpaannya dengan Syahrir dan istrinya yang cantik berkebangsaan Eropa. Dari situlah aku menduga Mangunwijaya ‘menyimpulkan’ bahwa generasi Indonesia modern paling cerdas adalah ketika era pergerakan menuju Indonesia merdeka.
Setelah itu, secara ekonomi mungkin membaik (mungkin),…tapi secara intelektual semakin menurun. Jika Romo Mangun masih hidup, mungkin bahkan merasa bahwa pemuda sekarang secara intelektual semakin menyedihkan. Tentu saja, masih ada pemuda yang berprestasi di bidangnya masing-masing tapi tak tertarik dengan pemberitaan atau tak muncul kepermukaan sehingga tak diketahui khalayak.
Tentu..
Ilustrasi: Sketsa Syahrir, baru beberapa menit yang lalu aku kerjakan dan belum selesai…(akrilik di atas art paper bekas kalender, 40x30cm)…
(Aries Tanjung)