Seide.id -Perlindungan perempuan dan anak merupakan isu yang sangat penting di Indonesia. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memastikan hak-hak mereka terlindungi dan terpenuhi. Sebagai salah satu yang terpenting adanya perlindungan hukum dalam perkawinan terus diperkuat dengan berbagai revisi dan penegakan hukum yang lebih ketat.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah menaikkan usia minimum perkawinan bagi perempuan menjadi 19 tahun. Ini bertujuan untuk mengurangi perkawinan anak dan memberikan perlindungan yang lebih baik bagi perempuan.
Dibandingkan dengan negara lain, Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam hal perkawinan anak. Menurut data UNICEF, Indonesia menempati urutan ketujuh di dunia dengan jumlah absolut tertinggi dari perkawinan anak. Perkawinan anak adalah pernikahan yang melibatkan individu di bawah usia 18 tahun, yang sering kali berdampak negatif pada kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan anak.
Kemudian yang menjadi tantangan masih tingginya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) perlu menjadi perhatian utama. Data terbaru dari Komnas Perempuan menunjukkan peningkatan laporan kasus KDRT menjadi 34.682 kasus pada tahun 2024.
Kekerasan dalam rumah tangga yang dominan terjadi di ranah personal, dengan kekerasan seksual sebagai jenis kekerasan tertinggi yang dialami oleh korban, diikuti oleh kekerasan psikis dan fisik, hingga traumatis pada berbagai kasus pemerkosaan pada anak di bawah umur.
Begitu banyak kendala dalam penanganan sedemikian lama, akibat dari tidak efesiennya SOP dengan adanya oknum-oknum aparat penegak hukum. Sehingga dampak terhadap anak (korban) perkosaan menjadi semakin dalam karena penanganan hukum yang lamban menangani kasus2 tersebut.
Dalam kasus pemerkosaan terhadap anak dibawah umur adalah sebaiknya ditangani secara khusus dan cepat tanpa ada perbedaan kelas sosial masyarakat. Terutama jika korban adalah masyarakat marjinal yang miskin.
Bahkan seringkali Relawan Perempuan dan Anak (RPA) merasakan kegetiran akibat lambatnya penganan kasus. Sedangkan masih banyak lagi kasus-kasus perkosaan terhadap anak dimana tidak adanya pendampingan pada anak dibawah umur.
Sehingga akibat lambatnya penanganan membuat banyaknya perkara perkosaan terhadap anak, menjadi kalah dalam persidangan. Maka tidak salah jika disebutkan Indonesia ada dalam kondisi darurat kekerasan terhadap anak.
Dimana masyarakat kemudian menjadi merasakan frustasi jika melaporkan perkara kepada yang berwajib, akibat ulah oknum aparat penegak hukum yang seakan setengah hati atau bermain-main dalam penanganan kasus terlapor. Belum lagi penyelewengan kasus oleh aparat bersama pelaku.
Sehingga perlu komitmen yang kuat untuk segera memperbaiki standar operasional prosedur (SOP) menjadi lebih efesien dalam penanganan kasus terhadap perempuan dan anak khususnya.
Upaya-upaya dan perjuangan untuk meningkatkan kesadaran dan menyediakan layanan dukungan bagi korban harus terus dilakukan, termasuk melalui hotline dan pusat layanan terpadu.
Secara global, Indonesia masih memiliki tingkat kekerasan terhadap anak maupun kekerasan dalam rumah tangga yang tinggi dibandingkan dengan negara-negara maju, meskipun ada kemajuan dalam penanganan dan pelaporan kasus.
Menurut data WHO, prevalensi kekerasan terhadap perempuan di Indonesia adalah sekitar 33%, lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata global yang sekitar 27%. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah tindakan kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga, termasuk kekerasan fisik, psikis, seksual, dan ekonomi, yang dilakukan oleh anggota keluarga terhadap anggota keluarga lainnya.
Selanjutnya selain kedua hal diatas adanya prevalensi stunting pada anak di Indonesia walau telah menurun menjadi 24,4% pada tahun 2023. Tentu ada rasa syukur dengan adanya program-program seperti Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi (Gernas PPG) dan intervensi gizi spesifik serta sensitif terus digalakkan untuk mencapai target penurunan stunting yang lebih rendah.
Dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia Tenggara, Indonesia masih termasuk memiliki prevalensi stunting yang relatif tinggi. Untuk sebagai perbandingan, prevalensi stunting di Thailand adalah sekitar 10,5%, dan di Malaysia sekitar 20,7%.
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan gizi kronis, yang ditandai dengan tinggi badan yang lebih rendah dari standar usianya. Stunting dalam hal ini dapat menghambat perkembangan fisik dan kognitif anak.
Lebih jauh lagi mengenai mutu dari pendidikan di Indonesia menunjukkan peningkatan dengan berbagai inisiatif baru. Program seperti Merdeka Belajar yang diluncurkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi cukup berperan untuk memberikan kebebasan dan fleksibilitas dalam proses belajar mengajar. Dimana selain itu, peningkatan akses teknologi dan digitalisasi pendidikan juga menjadi fokus utama.
Namun, perlu juga dibandingkan dengan negara-negara maju, dimana mutu pendidikan di Indonesia masih perlu ditingkatkan, terutama dalam hal akses dan kualitas pendidikan di daerah terpencil.
Menurut laporan PISA 2018, Indonesia berada di peringkat 72 dari 79 negara dalam hal kemampuan membaca, matematika, dan sains. Program Merdeka Belajar merupakan inisiatif pemerintah Indonesia untuk memberikan kebebasan dan fleksibilitas dalam proses belajar mengajar, dengan tujuan meningkatkan kualitas pendidikan.
Perjuangan perempuan untuk persamaan hak dan gender masih terus mendapatkan momentum. Kampanye dan program pemberdayaan perempuan semakin banyak dilakukan, termasuk pelatihan keterampilan dan akses ke peluang ekonomi.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan peningkatan partisipasi perempuan dalam angkatan kerja menjadi 54,3% pada tahun 2023. Dibandingkan dengan negara-negara lain, partisipasi perempuan dalam angkatan kerja di Indonesia masih terbilang lebih rendah.
Sebagai perbandingan saja, partisipasi perempuan dalam angkatan kerja di Vietnam adalah sekitar 73%, dan di Filipina sekitar 49%. Persamaan hak dan gender adalah prinsip bahwa semua individu, tanpa memandang jenis kelamin, memiliki hak yang sama dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan, pekerjaan, dan partisipasi politik.
Kemudian untuk layanan kesehatan di Indonesia juga masih perlu menjadi fokus utama dalam upaya perlindungan perempuan dan anak. Menurut CEOWORLD magazine Health Care Index 2021, Indonesia menempati peringkat 52 dari 89 negara dalam hal sistem kesehatan global.
Indonesia kalah jauh bila dibandingkan dengan negara tetangga di ASEAN seperti Thailand (peringkat 13), Singapura (peringkat 24), dan Malaysia (peringkat 34). Meskipun demikian, Indonesia telah mencapai kemajuan dalam mengurangi jumlah orang yang menghadapi pengeluaran kesehatan katastropik.
Indeks cakupan layanan kesehatan (service coverage index) UHC Indonesia meningkat dari 42 pada 2010 menjadi 55 pada 2021. Layanan kesehatan mencakup berbagai layanan medis yang diberikan kepada individu untuk menjaga dan meningkatkan kesehatan, termasuk pencegahan, diagnosis, pengobatan, dan rehabilitasi.
Bagaimanapun juga perjuangan untuk melindungi perempuan dan anak di Indonesia masih jauh dari sempurna serta harus terus berlanjut dengan berbagai upaya dan program yang semakin ditingkatkan.
Untuk itu perlu adanya dukungan dari semua pihak sangat diperlukan untuk menciptakan lingkungan yang lebih aman dan adil bagi semua.
Oleh Jeannie Latumahina
Ketua Umum Relawan Perempuan dan Anak (RPA) Perindo