Mahasiswa 19 tahun setengah mendedah trilogi buku Martin Aleida; Romantisme Tahun Kekerasan, Teropong dan Suryakanta serta Tuhan Menangis, Terluka. Chris lahir 1 Agustus 2003, lima tahun setelah Orde Baru tumbang, 38 tahun berselang setelah tragedi 1965. Jelas sekali dia pemuda yang amat langka. Dia mengaku sebagai “korban” juga dari narasi sepihak yang disampaikan penguasa selama ini. foto : Teguh Imam Suryadi
Oleh DIMAS SUPRIYANTO
SEORANG anak muda, berusia 19 tahun setengah, tampil memukau di hadapan barisan penulis, sastrawan, wartawan dan penyintas tragedi 65-’66, yang rata rata sumuran kakeknya, lewat kajian dan telaah tentang tiga buku Martin Aleida, utamanya Tuhan Menangis, Terluka, Kompedium kisah kisah kejahatan terhadap kemanusiaan 1965-66. Dialah Chris Wibisana.
Chris Wibisana menjadi pembicara tamu, bersama sama sejarahwan Asvi Marwan Adam, Berto Tukan, Dewi Kharisma Michellia, di Beranda Rakyat Garuda yang dikelola pematung kondang Dolorosa Sinaga, di kawasan Pinang Ranti, Pondok Gede Jakarta Timur, Jumat petang (14/1/2023) kemarin. Peluncuran dan beda buku itu dipandu moderator Eka Budianta, jurnalis dan sastrawan kawakan.
“Chris bintangnya malam ini, selain Martin sendiri, “ kata Yon Moeis, jurnalis senior yang hadir di acara dan duduk takzim di belakang. Matt Bento dan Teguh Imam Suryadi yang juga datang di awal acara mengiyakan. Yon Moeis teman sekantor saat bersama Martin mengelola media olahraga.
Chris lahir 1 Agustus 2003, lima tahun setelah Orde Baru tumbang, 38 tahun berselang setelah tragedi 1965. Jelas sekali dia pemuda yang amat langka.
Melihat sosoknya, kita patut menduga dia dibesarkan di lingkungan keluarga (Tionghoa) yang kecukupan dan didorong untuk mewujudkan mimpi, memantapkan karir atau bisnis, dan ujungnya mengejar “cuan”. Nyatanya, Chris bukan sosok seperti itu. Dia peneliti sejarah independen – predikat dan “karir” yang tak banyak orang yang meminatinya – utamanya di ibukota yang sangat materialistis ini. Jauh dari “cuan”.
Tapi bukan hanya itu saja yang mengagumkan. Selain berminat meneliti dan mendalami tragedi 1965-’66, mahasiswa FISIP UI jurusan Hubungan Internasional ini, menulis esei dengan baik, runtut dan dia membacakannya dengan kata kata yang tegas dan terjaga.
Tulisan yang dibacakan pada acara peluncuran dan bedah buku kemarin itu, merupakan artikel yang akan dimuat di majalah Prisma edisi Januari 2023 ini. Majalah yang bergengsi dan dibaca para intelektual, sosiolog dan cendekiawan.
Chris mendedah trilogi buku Martin Aleida; Romantisme Tahun Kekerasan, Teropong dan Suryakanta dan Tuhan Menangis, Terluka. Dia mengaku, sudah membaca buku-buku Martin, sastrawan cum wartawan tersebut – sejak klas 2 SMP, yaitu Mati Baik Baik Kawan, setelah selesai membaca Memoar Buru dari Hersri Setiawan, dan berlanjut dengan karya karya Pramoedya Ananta Toer.
Sejak itu kisah kisah seputar tragedi 1965-‘66, baik fiksi maupun kajian sejarah, menjadi bacaan wajib baginya.
“Sebagai generasi Z, kami termasuk ‘korban’ propaganda dari sistem berpikir dan direproduksi narasi sejarah Orde Baru” katanya. Generasi Z adalah mereka yang lahir di antara tahun 1995 -2010.
Dia juga mengaitkan pernyataan Presiden Jokowi yang mengakui 12 peristiwa pelanggaran HAM Berat, termasuk tragedi 1965, dan ungkapan menyesali peristiwa itu terjadi. “Namun sepanjang saya simak, tak ada kata maaf dan penjelasan, siapa yang melakukan apa dan siapa yang harus bertanggung jawab, “ katanya.
Panjang lebar sebagai generasi Z meresapi tragedi kelam bangsa, 57 tahun lalu, terutama apa yang dialami Martin Aleida dan korban lainnya. “Tanggung jawab saya sekarang adalah menjaga agar ingatan tragedi ini tidak hilang dari generasi kami, ” kata Chris menutup telaahnya .
Eka Budianta, menyambut penutup itu dengan setengah berteriak, “Kita harus berdiri dan tepuk tangan untuknya, “ katanya, disusul gerakan pengunjung yang bangun serentak dari tempat duduknya, memberikan tepuk tangan. Standing ovation! Sungguh jarang terjadi, pembicara mendapat tepuk tangan panjang dalam acara bedah buku.
“Anda luar biasa – dalam umur 19 tahun yang tidak ada sangkut pautnya (dengan tragedi) ini, “ kata Eka Budianto, mantan jurnalis BBC.
MEMBACA buku ini seperti membaca peta Indonesia, dari Aceh hingga Ambon – peta yang cukup lengkap dalam tragedi keseluruhan Indonesia, kata Berto Tukan, pembicara berikutnya yang mengkaji tulisan Martin Aleida dari sudut karya sastra. Papua memang seperti tak pernah terimbas kasus kelam 1965-’66.
Menurut peneliti lepas kelahiran Larantuka, Flores Timur yang pernah belajar di Program Studi Jerman, FIB-UI – dan Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta ini – informasi, data dan cerita di buku Martin Aleida, mencukupi untuk pengetahuan awal. Untuk mendetail, bisa dikaji dari hasil peneliti lainnya.
“Buku ini kompres dari tiga lemari besar – bacalah buku ini dulu, barulah baca tiga lemari berikutnya, “ tegas Berto Tukan.
Martin Aleida susah-payah ia bangkit dengan identitas baru. Ia jadi pedagang kaki lima, membuka kios pakaian sambil menulis cerita pendek. Setelah ditangkap Operasi Kalong – Angkatan Darat, diinterogasi, ditahan dan dilepas begitu saja, setelah dipaksa menyaksikan berbagai siksaaan pada teman temannya.
Dia kembali ke bidang jurnalistik, bergabung dengan majalah Ekspres, kemudian beralih ke majalah TEMPO. Kemudian melanglang buana, memperdalam bahasa Inggris di Georgetown University.
Martin menemukan lagi dunia yang sangat dicintainya: kata-kata. Dengan kata-kata, ia melukiskan perjalanan hidupnya seraya menyuarakan kesaksian atas jalannya sejarah yang mempengaruhi nasibnya. Cerita-cerita pendeknya mendapatkan sambutan hangat dari masyarakat pembaca.
Sebagai sebuah memori, Trilogi buku Martin Aleida penting kita baca karena di sana begitu banyak fakta yang terungkap, betapa kelam dan gelap hidup orang-orang yang terdampak setelahnya. Ada banyak tokoh penting, utamanya penulis dan sastrawan yang berafiliasi dengan Lekra maupun PKI, diceritakan dalam buku buku Aleida. “Bagi mereka yang melakukan studi sastra dan studi sejarah, tentu ini merupakan data yang berharga, “ kata Berto Tukan.
MICHELLIA DEWI KHARISMA, penulis dari generasi milenial menggaris bawahi pernyataan Chris Wibisana. “Generasi kami, memang perlu kontra narasi atas sejarah yang disampaikan oleh negara. Dari pengalaman Chris dan Berto dan berkaca pada pengalaman sendiri di Bali, dibutuhkan kontra narasi agar ada dialog, tidak satu arah, “ katanya
Michellia, penulis karya fiksi, putri seorang dosen kelahiran 13 Agustus1991 ini menyatakan, lewat kisah dari Pramoedya Ananta Toer, selama di Pulau Buru, mengaku ngeri membayangkan, bagaimana ada tahanan Buru dipukuli penjaga sampai mati gara-gara kedapatan membaca koran bekas.
“Betapa bahayanya kertas – betapa bahayanya pena penulis bagi penguasa, “ sergah Michellia. **