Presiden Memang Harus ‘Cawe Cawe’

Jokowi in White

Tanpa “cawe cawe” petinggi negara, seperti presiden, menko polkam, panglima TNI dan Kapolri, rakyat dan kaum awam sering dipermainkan, dirugikan didzalimi dinistakan, oleh kekuasaan. Di papan tengah ke bawah, penyimpangan hukum dan kekuasaan sering begitu telanjang. Vulgar. Oknum penegak hukum, cenderung pamer kuasa, ‘kalap’ dan aji mumpung. Politisi dan aktifis sama saja. Kalau tak ada ‘cawe cawe’ penzaliman terus berjalan.

Oleh DIMAS SUPRIYANTO

‘DEMI bangsa dan negara saya akan cawe-cawe, tentu saja dalam arti yang positif. Saya tidak akan melanggar aturan, dan tidak akan mengotori demokrasi,” begitu kata Presiden Jokowi dalam pertemuan dengan para pemimpin redaksi sejumlah media di Istana Negara, Senin (29/5/2023).

Pernyataan soal ‘cawe-cawe’ yang disampaikan Jokowi, tak pelak, menuai beragam reaksi dari sejumlah partai politik (parpol).

“Cawe-cawe ini bahasa kosakata diksi Jawa, diksi Jawa Tengah. Kalau orang Jawa Tengah tahu. Cawe-cawe itu artinya adalah akan ikut campur, ikut mewarnai,” kata politisi PDI-P, Bambang Pacul menjelaskan di rumah dinasnya, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (30/5/2023).

Kita sama sama tahu. Ada banyak peristiwa yang menghinakan dan mendzalimi anak bangsa, rakyat jelata, teratasi setelah menjadi viral dan elite “cawe-cawe”. Alias campur tangan dan intervensi.

Tanpa “cawe cawe” petinggi negara, seperti presiden, menko polkam, panglima TNI dan Kapolri, rakyat dan kaum awam sering dipermainkan, dirugikan didzalimi dinistakan, oleh kekuasaan.

Di papan tengah ke bawah, penyimpangan hukum dan kekuasaan sering begitu telanjang. Vulgar. Oknum penegak hukum, cenderung pamer kuasa, ‘kalap’ dan aji mumpung.

Tak malu memamerkan kekayaan yang didapat dengan cara haram, menjual jabatan. “Maju tak gentar membela yang bayar”.

Mereka menikmati ketakutan pelanggar aturan hukum dan pasal pasal KUHP. Lalu memilih siapa yang kuat nyogok, siapa yang paling deras “menyiram” – dia yang dibela dan dimenangkan.

Dalam kasus “keluarga Sultan” yang nampak santai memakai dan mencopot borgol plastiknya – dan menjadi viral – menunjukkan lemahnya persamaan hak di depan hukum (equality before the law).

Meski sama sama terlibat kasus penganayaan, “anak sultan” (pejabat dinas pajak ) jelas beda kasta dan beda perlakuan dibanding, misalnya, anggota ormas atau anak kampung. Karena potensi “nyiram”nya ke oknum lebih “kenceng”.

Jika merujuk pada skenario oknum para petinggi kepolisian, maka kasus mantan Kadiv Propam Polri, Irjen.Pol Ferdy Sambo tidak terungkap – seperti yang kita lihat kemudian. Korps polisi sangat kuat solidaritas terhadap korpsnya. Hanya karena diteriaki IPW – LSM yang paham kejahatan dan penyimpangan hukum – dan dukungan Menko Polkam Prof. Mahfud lah – maka upaya penggiringan opini publik dan skenario “tembak menembak antar ajudan” terbongkar.

Karena itu, “cawe cawe” dari penguasa tertinggi dan elite tidak selalu berkonotasi negatif. Bahkan sering diperlukan.

Di Senayan, ada banyak rancangan undang undang dipeti-eskan di gedung dewan, sampai sekarang. Lantaran skala prioritas politisi – sebagai kepanjangan partai – di Senayan beda dengan kebutuhan rakyat pemilihnya. Mereka giat membahas RUU yang pasal-pasal berbau cuan, ketimbang RUU yang cuma bikin mumet – meski menyangkut hajat hidup orang banyak dan mendesak pengesahannya.

Karena itu, pernyataan Presiden Joko Widodo yang akan cawe-cawe di Pilpres 2024 mendatang bermakna positif bagi rakyat – dan bikin senewen para politisi dan aktifis sok taat azas.

Jelas kita semua sepakat, segala yang susah payah dibangun 10 tahun terakhir tak boleh dirusak, dan dimangkrakan oleh politisi oposan yang cuma ingin “perubahan” tapi sekedar “berubah” – sekadar melampiaskan balas dendam, dengan mengganti semua dengan yang baru – karena kesal dengan yang lama, dan ingin “cari kembalian” .

Dalam konteks politik, sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara Presiden Joko Widodo justru tidak boleh netral. Merujuk pada amanah konstitusi, Presiden harus memastikan sukses kekuasaan berjalan untuk kesinambungan pembangunan yang menguntungkan rakyat dalam jangka panjang.

Pihak istana pun sudah menjelaskan, cawe-cawe yang dimaksud Presiden Jokowi adalah dalam rangka mengawal Pemilu Serentak 2024 berlangsung jujur, adil, dan demokratis.

Menurut Jubir Istana, Presiden Jokowi berkepentingan agar pemilu berjalan dengan baik dan aman, tanpa meninggalkan polarisasi atau konflik sosial di masyarakat.

Ditambahkan, kepala negara ingin pemimpin nasional ke depan dapat mengawal dan melanjutkan kebijakan-kebijakan strategis, seperti pembangunan Ibu Kota Negara (IKN), serta hilirisasi dan transisi energi bersih.

Presiden layak juga berharap seluruh peserta Pemilu 2024 dapat berkompetisi secara bebas dan adil.

Sudah tentu, pernyataan Presiden Joko Widodo,ketika bertemu para pimpinan redaksi dan konten kreator di Istana Negara, Senin (29/5) lalu itu – memunculkan kontroversi dari banyak pihak termasuk kaum intelektual dan sebagainya yang dengan menyinggung moral politik yang baik. Grup salah paham yang terbiasa mengelirukan, cari selah, unjuk suara. Protes keras. Nyinyir.

Sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara, Presiden harus menyelamatkan negara. Pembiaran atas penyimpangan dan kecurangan atas nama “netralitas” – dan manuver politisi serta aktifis – justru menjadi abuse of power.

Ada kewenangan mengamankan negara kok tidak melakukannya?

Maka, rakyat harus “positif thingking”. Kelompok oposan lah yang selalu ‘senewen’ pada langkah keberlanjutan pembangunan – semata mata sibuk “menjual” gagasan “perubahan”, meski tak jelas berubah seperti apa, bagaimana mengubahnya, dan mengapa harus berubah?

Bukan melanjutkan yang sudah ada dan dikerjakan.

Sejauh ini, sebagai presiden aktif secara ‘de jure’ dan ‘de facto’ Presiden Jokowi telah menjaga koridor dan tidak intervensi karena konstitusi Indonesia jelas mengamanatkan presiden sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara kedudukannya dalam konteks politik harus independen.

Penegasan Presiden Jokowi nyata bukan political fear ; menciptakan ketakutan, sebagaimana juga peringatan tegas Panglima TNI dan Kapolri yang mengancam para pengacau keamanan dan kesungguhan menegakkan aturan hukum.

Jokowi tak perlu cawe cawe, jika politisi yang bertarung di Pilpres 2024 menjalankan fungsi-fungsi politiknya secara baik, bermoral, fair, dan menunjukkan otoritas dan menjaga adabnya, tidak menghalalkan segala cara dalam menjalankan roda partainya.

Banyak politisi yang menyuarakn demokrasi, kebebasan berpendapat, semata-mata demokrasi prosedural. Dalam praktiknya melakukan manipulasi yang merugikan rakyat.

Kalau mengatas namakan “kebebasan demokrasi”, mendukung program pemerintah dan setia pada presiden hingga akhir jabarannya, tapi korupsi triliunan rupiah – demi mengongkosi kampanye kandidat andalan – lawan politik – dengan cara menghancurkan program program jangka panjang pemerintrah, mosok dibiarkan?

Ya, presiden harus cawe cawe, dong! ***

Avatar photo

About Supriyanto Martosuwito

Menjadi jurnalis di media perkotaan, sejak 1984, reporter hingga 1992, Redpel majalah/tabloid Film hingga 2002, Pemred majalah wanita Prodo, Pemred portal IndonesiaSelebriti.com. Sejak 2004, kembali ke Pos Kota grup, hingga 2020. Kini mengelola Seide.id.