Membaca tragedi Amini Tragedi Amini di Iran yang membangkitkan gelombang protes sehingga 75 orang meninggal dan ribuan ditangkap aparat, Profesor Sumanto al Qurtuby menyebut sebagai “dampak dari ideologi militan-konservatif “khomeinisme.” Sebelum tahun 1979, Iran merupakan negara yang sangat terbuka dan moderat dalam hal berbusana, ungkapnya.
Seide.id. Tidak ada dress code atau aturan berbusana secara ketat bagi perempuan, sebelum Iran jatuh ke tangan Imam Khomeini. Tidak ada aturan tentang kewajiban memakai “busana Islami” atau “busana syar’i” atau kewajiban berhijab bagi perempuan. Oleh karena itu perempuan Iran dulu banyak yang tak berhijab dan mengenakan busana kasual di ruang-ruang publik.
“Fenomena atau pemandangan ini berubah drastis setelah Imam Khomeini berkuasa. Hingga kini Iran masih dikuasai oleh rezim politik-agama konservatif yang menerapkan aturan sangat ketat dalam hal berbusana, khususnya bagi perempuan, “tulis Profesor Sumanto Al Qurtuby, pengajar King Fahd University of Petroleum & Mineralsdi Riyadh, Arab Saudi, dalam kolom khususnya di laman Deutsche Welle.
Menurut Profesor Sumanto, ideologi “Khomeinisme” di Iran ini sama dengan ideologi “Talibanisme” di Afganistan. Sebelum rezim Taliban menguasai Afganistan pada pertengahan 1990an, perempuan Afganistan juga bebas mengenakan busana di ruang publik, tidak harus mengenakan hijab dan “busana syar’i” ala Taliban.
“Ketika mereka berkuasa, aturan hijab dan berbusana syar’i seperti yang mereka tafsiri pun diterapkan dan dipaksakan ke masyarakat, khususnya perempuan. Jika melanggar aturan yang mereka terapkan, sudah pasti “polisi syariat” akan menceramahi dan menyabeti mereka seperti yang menimpa Amini, “ papar cendekiawan muslim, pendiri dan Direktur Nusantara Institute ini.
Peristiwa serupa juga terjadi di Arab Saudi saat ideologi “sahwaisme” diterapkan dan dipaksakan sejak awal 1980an atau “nimeirisme” di Sudan sejak 1980an, kenang Senior Research Fellow di Middle East Institute of National University of Singapore ini
Jika khomeinisme masih berjaya, Sahwaisme dan Nimeirisme sudah tumbang. Akibatnya, aturan berbusana bagi perempuan pun cukup longgar, tidak seketat dulu. Sementara itu, Talibanisme kembali berkuasa setelah sebelumnya “mati suri” dibekukan oleh Amerika dan faksi moderat Afganistan.
Lebih jauh Profesor Sumanto al Qurtubi, 47, menyebut “ribut kulit, lupa isi” terkait, karakteristik kelompok militan-konservatif agama (di dunia Islam).
“Dengan kata lain, mereka sibuk menerapkan tetek-bengek aturan yang sama sekali tidak penting dan tidak substansial (seperti soal jenis busana apa yang wajib dikenakan muslimah) sementara melupakan, mengabaikan, dan bahkan mengubur dalam-dalam berbagai ajaran substantif-fundamental agama seperti masalah kemanusiaan, pendidikan, keadilan sosial, pengentasan kemiskinan, perwujudan perdamaian, menghormati sesama, respek terhadap agama/kepercayaan lain, larangan berbuat kekerasan serta menyakiti dan menyerobot hak-hak orang lain, dan lain-lain.
“Energi mereka habis terkuras mengurusi dan membuat aturan hal-hal yang remeh-temeh dan sepele seperti tentang “sehelai kain” dan “aurat” itu sementara berbagai persoalan penting dan mendasar menyangkut kemajuan intelektual, pengetahuan, ekonomi, teknologi, dan peradaban umat Islam nyaris tak tersentuh sama sekali, “ kritik cendekiawan alumni IAIN Walisongo – Semarang (1999) Progam Pasca Sarjana Sosiologi Universitas Satya Wacana di Salatiga (2003) ini.
Dampaknya umat Islam tak kunjung maju dari keterpurukan. Padahal, jika dioptimalkan dan dikelola dengan baik dan benar, potensi umat Islam sangat besar untuk dijadikan sebagai salah satu agen/aktor kemajuan peradaban dunia, paparnya.
Selanjutnya, Hijab itu Syariat Yahudi