Seide.id -Lelaki baya itu teramat gelisah di ruang tamu rumah petakan yang sempit. Ia mondar mandir, wajahnya kucel. Sesekali ia menghembuskan asap rokok sambil menekuri lantai yang kusam dan berdebu itu.
Tiba-tiba ia terhenyak disergap oleh emosinya sendiri. Nafasnya makin terengah ibarat lokomotif kereta api yang melaju kencang. Sejuta teror seperti memburunya.
Sesungguhnya ia mencoba mengalah dan memilih untuk meninggalkan keluarga, karena ia tidak tahan diteror oleh anak-anaknya yang banyak keinginan dan berebut harta warisan.
Dengan sedikit uang, ia mengontrak rumah. Ia lalu mencoba menata hidupnya, dan memulai dari awal lagi.
Dengan tinggal sendiri dan jauh dari keluarga itu, ia ingin mendidik anaknya agar tidak bergantung pada orangtua. Tujuannya, agar mereka sadar, rukun, mandiri, dan bertanggung jawab dengan masa depan sendiri.
Sesungguhnya hidup itu tidak seringan dan semudah yang dibayangkan oleh kebanyakan orang.
Faktanya, saat kita terpuruk, dan tidak mempunyai apa-apa lagi, banyak teman yang tidak peduli dan menolak dihubungi. Kita ibarat sampah yang dicampakkan dan ditinggalkan orang, karena berbau, bahkan menjijikan!
Hidup sendiri, seperti kehilangan arti.
Sesungguhnya ia memilih kontrak rumah petakan dan tinggal jauh di lingkungan padat supaya tidak dikenali orang.
Ia mencoba menerima keadaan dan belajar hidup prihatin, ternyata hal itu juga tidak mudah. Ia juga sulit memperoleh pekerjaan di usia senja. Sedang untuk bekerja kasar dan serabutan itu, tenaganya kalah bersaing dengan orang muda.
Sekarang, di saat keuangannya makin menipis itu, si empunya rumah itu menagih uang sewa bulanan pertiga bulan ke depan, meskipun belum jatuh tempo. Alasannya untuk biaya berobat istrinya. Lebih konyol lagi, jika tidak diberi, kontrakan itu akan diberikan pada orang lain yang berani membayar lebih mahal. Sedang sisa sewa kontrakannya tinggal beberapa hari lagi.
Tiba-tiba ia ingat pada keluarga; istri dan anak-anaknya. Istrinya yang terlalu lemah, karena tidak mampu menolak keinginan anak. Sehingga anak jadi manja dan bergantung pada orangtua. Padahal ia sudah mewanti-wanti pada istri agar tidak kalah pada anak. Kenyataannya… Hati seorang Ibu…
Tiba-tiba ia juga jadi menyesal. Karena jengel dan dikuasai emosi, ia meninggalkan keluarga. Bahkan, lebih gila lagi ia tidak berkirim kabar. Ia menghilang seperti ditelan bumi.
Ia lari dari kenyataan dan tanggung jawab. Padahal, ketika ada seorang anak yang minta warisan itu semestinya diajak bicara baik-baik. Dari hati ke hati, dan tujuannya untuk apa. Hal itu tidak pantas dilakukan anak, karena kedua orangtua masih hidup. Tidak seharusnya orangtua kalah dengan anak. Memanjakan anak hingga salah kaprah itu dosa. Orangtua harus berani bersikap tegas demi kebaikan anak itu sendiri.
Kini, istri si empunya rumah sedang berbaring sakit membuat ia disadarkan untuk kembali pada keluarga.
Sesungguhnya ia memaksakan diri untuk bertahan di tempat kontrakan itu karena jengkel, emosi, dan bisa juga ia membenci kelakuan seorang anaknya yang tidak segera insyaf dan memperbaiki diri.
Ia bertahan pisah dari keluarga, karena demi gengsi. Kenyataannya hatinya menjerit dan sakit. Tidak seharusnya ia melarikan diri, dan lari dari kenyataan…
Ia menarik nafas panjang dalam peyesalan. Ia harus membuang gengsi dan emosi itu, karena sikapnya juga keliru. Ia harus belajar untuk mengalah dan sabar dalam menghadapi anak-anak. Tidak untuk mencari yang menang atau kalah, tapi dengan saling mengasihi demi kebahagiaan keluarga.
Kasih itu sabar, lemah lembut, murah hati, dan menyembuhkan segala luka…
…
Mas Redjo / RED-JOSS