RUDI EIKEL KEI Pendeta Mantan Anak Punk

Punk

Oleh RAHAYU SANTOSO

Hidup ini tak bisa diduga. Hari kemarin, hari ini atau hari esok, tak pernah kita tahu apa yang akan terjadi. Demikian pula jalan hidup Rudi Eikel Kei. Ia anak jalanan yang dikenal sebagai Punk. Ia pengamen, pemabuk, pencuri dan hidup menggelandang.

Tak disangka, Tuhan membersihkan daki dalam hidupnya, Tuhan  menggandeng  tangannya. Hingga ia jadi seorang penggembala di Ladang Tuhan. Rudi Eikel Kei jadi   pendeta di Gereja Sidang Jemaat (GSJA) Air Mengalir, Madiun.

 ‘’Masa lalu saya memang hitam,’’ kata lelaki asal Pulau Kei, Maluku Tenggara ini.

Awal tahun 2000-an, atau tepatnya tahun 2002, ia mulai mengenal kehidupan jalanan sebagai anak Punk. Hidup bohemian dari kota ke kota lain mereguk kebebasan. Ia mengaku tidak mandi selama 6 bulan untuk mentasbihkan keberadaanya sebagai anak punk. ‘’Anak punk itu, makin dekil makin keren,’’ungkapnya.

Dandanan dan penampilannya waktu itu  nge-punk. Rambut jabrik ke atas, dicat lagi. Bibir dan telinganya ditindik dan diberi anting besar. Bajunya penuh asesoris, seperti rantai anjing sampai pernak-pernikyang membuat penampilannya semakin sangar.

Sehari-hari ia ngamen di perempatan Klegen, Kota Madiun. Uangnya pun habis untuk membeli minuman keras. Menenggak miras dan nge-drug sudah jadi kebutuhan sehari-hari. Kalau tidak minum arak, minuman oplosan pun ia tenggak bersama komunitasnya yang berjumlah 12 orang. Misalnya kopi dicampur Autan, soft-drink dicampur alkohol.

Tak hanya di Madiun. Rudi dan komunitasnya yang berjumlah 12 remaja itu pun berkelana dari satu kota ke kota lainnya. Hampir semua kota besar di Jawa Timur pernah ia singgahi. Termasuk ngelayap sampai Jawa Tengah, Yogya, Solo, Semarang.

Urusan  makan, ia tak segan mencari dan mengais-ngais tong sampah. Persis gelandangan. Kalau tidak begitu mengambil makanan sisa di warung-warung. Makanan itu dijadikan satu dan dimakan rame-rame. ‘’Kalau ada kesempatan, nyuri juga,’’ akunya.

Tapi Tuhan rupanya membalik kehidupannya. Semula adalrasa bosanhidup di jalanan yang keras.  ‘’Masak  saya harus hidup begini seterusnya,’’ katanya suatu saat curhat ke adiknya. Ia pun berkehendak pulang ke Indonesia Timur, tempat di mana ia dilahirkan.

Punya niat seperti itu, lagi-lagi Tuhan memberikan jalan. Tiba-tiba saja kakaknya yang tinggal di Sorong, menelepon. Ia diminta ikut kakaknya di Sorong., Papua Barat.

Akhirnya Rudi dan adiknya memutuskan untuk kembali ke Indonesia timur. Tujuannya Papua, ke rumah kakak kandungnya.

Begitu tekad sudah bulat ke Papua, ia pun pamitan ke teman-teman dan keluarganya di Madiun. Persoalannya, ia tak punya ongkos ke Papua. ‘’Saya nekad melakukan apapun untuk ongkos,’’akunya.

Ada uang sedikit, Rudi pun menujuTanjung Perak Surabaya, karena sudah janjian dengan kakak iparnya yang ada di Surabaya untuk berangkat bersama. Ketika tanya tiket ke kakak ipar, dijawab ‘’Tak ada tiket.’’

Mereka pun menyelinap naik kapal tanpa tiket. Saat kapal Pelni yang menuju Sorong sampai di perairan Makasar. Ada  pemeriksaan tiket, maka  HP dan gitarnya disita petugas. Ia sempat emosi, namun dicegah oleh iparnya. ‘’Nanti di Sorong kita bisa mendapatkan lagi,’’ kata iparnya itu, meredam amarah Rudi. Akhirnya sampai Sorong  juga.

Kuliah Teologi

Sorong ternyata menjadi titik balik kehidupan Rudi. Saat hari Minggu diajak kakaknya ke gereja, ia merasa ada yang aneh. Ia menangis, apalagi ketika didoakan oleh pendeta. ‘’Pendeta bilang bahwa saya akan dipakai Tuhan,’’katanya.

Sejak  itu Rudi kuliah  di STT (Sekolah Tinggi Theologi) Jafet Kapitarauw di Sorong. ‘’Saya banyak belajar tentang kekristenan,’’ akunya.

Namun niat menjadi orang baik tak semulus yang diduga. Banyak tantangan. Ia sering berantem dengan teman se asrama. Di  asrama STT itu terdiri dari bermacam suku. Ada yg dari Maluku, Papua, Sulawesi dan Jawa. ‘’Jadi sering beda pendapat, tapi memang di situ karakter kami dibentuk untuk menjadi seorang Hamba Tuhan yg rendah hati,’’ katanya.

Ia juga sempat   juga pernah diragukan oleh dosen-dosennya. Mereka meragukan apakah ia  bisa menjadi hamba Tuhan dengan latar belakang seperti itu. Tapi dengan keteguhan hati , akhirnya mereka tahu. ‘’Bahkan  sampai saat ini saya dipakai Tuhan untuk melayani anak-anak  jalanan, ujarnya.

Terkadang ia merasa heran. Kuliah di STT tanpa sponsor atau donatur. Bahkan sampai sekarang pun dia tak tahu, siapa yang membiayainya. ‘’puji Tuhan akhirnya saya lulus dan diwisuda,’’ kenangnya.

Mendirikan Rumah Singgah

Kuliah  selesai, ia kembali ke Madiun. ‘’Tempatmu di Madiun bukan di sini. Di sini sudah ada pendeta, kamu dipromosikan Tuhan di Madiun,’’ kata pendeta di Sorong.

Sesampainya di Madiun, ia mendirikan Rumah Singgah Pondok Pemulihan. Rumah singgah itu untuk menampung dan membina anak-anak jalanan, agar mereka hidup lebih baIK. Semulai rumah singgah itu berada di Jalan Glatik, Madiun. Sekarang , pindah Jalan Mliwis 3 Madiun, masih ngontrak. ‘’Kami rindu punya tempat permanen dan bisa menampung anak-anak jalanan, yatim piatu dan orang yang tak punya tempat tinggal,’’ kata Rudi.

Sejak 2018, rumah singgah iru tergabung dengan Crossline yang berpusat di Surabaya. Crossline (Christina underground Community) dengan motto ‘’Kami sahabat orang berdosa.”

Rudi Eikel Kei lakukan semua itu lantaran bisa memahami dan menghayati bagaimana hidup di jalanan dan dipandang sebelah mata. ‘’Hati saya menangis kalau melihat mereka,’’ kata Rudi yang sekarang Pendeta GSJA (Gereja Sidang Jemaat Allah) Air Hidup, Jalan Cendrawasih 19 Madiun.

Saat ini ada 12 orang yang tinggal di Rumah Singgah itu, dari 30 anak jalanan yang jadi anggotanya. Setiap Senin malam mereka berkumpul untuk sharing dan dikenalkan dengan agama.

Selain itu juga diadakan pelatihan ketrampilan untuk bekal hidup mereka nantinya. Di antaranya tanaman hidroponik, cuci sepatu dan lainnya. ‘’Bahkan ada yang membuka Kedai Orion secara online dan juga ada yang sudah bekerja,’’  ungkapnya.*

Avatar photo

About Rahayu Santoso

Penulis, editor, studi di Akademi Wartawan Surabaya, tinggal di Madiun