Kali ini, Yudhis antara lain didukung oleh Kelompok Musik Kluwung dan aktivis Komunitas Seni Bulungan (KSB) Jakarta: Siska Yudhistira, Wita Maharadjo, dan aktor/rocker Renny Djajoesman.
Oleh HERYUS SAPUTRO SAMHUDI
Seide.id 09/02/2023 – Seorang sahabat penyair, berkirim khabar bahwa kini dia sedang mengurangi aktivitasnya mengunjungi (atau tampil di) acara-acara sastra, tampil rutin dalam acara ‘Senja Berpuisi‘ di pelataran TIM Jakarta misalnya, “Karena untuk kegiatan positif itu saya paling tidak, harus mengeluarkan sendiri ongkos transportasi yang cukup ‘mehong‘ alias mahal. Sekali dua kali bolehlah tapi bila rutin tiap minggu, repot juga bagi saya, lansia pensiunan yang tak punya uang pensiunan,” katanya sambil tertawa.
Sebagai solusi, untuk tetap bersetia pada aktivitas bersastra yang sudah mendarah-daging baginya, dia memilih aktif di panggung-panggung sastra ‘lokal’ .
Apa yang diungkap sahabat saya itu sesungguhnya merupakan ‘suara bawah tanah’ yang umum dialami oleh para pegiat sastra (baca: puisi) di Indonesia, khususnya mereka yang tidak (lagi) berpenghasilan untuk mendukung aktivitasnya dalam menulis puisi ataupun hadir berhidmad menghidupkan ghirah acara bersastra/puisi.
Gairah berpuisi sendiri, tidak mati. Bahkan bisa dibilang, Indonesia merupakan negara produsen puisi paling utama di dunia. Di zaman internet dan gadget yang hadir nyaris di tiap saku orang-seorang, setidaknya dalam sepuluh tahun terakhir ini, nyaris tiap menit…ada saja sahabat, teman atau sekadar kenalan yang posting karya puisi ke laman sosmed pribadi atau grup yang saya ikuti. So pasti, di luar sana…jauh lebih banyak karya puisi yang tak terpantau mata dan telinga saya.
Namun kita sama tahu bahwa hidup dan matinya sebuah puisi benar-benar ibarat berada dibawah telapak kaki si penulis atau si penyairnya sendiri. Tersebar atau hanya sekadar jadi barang simpanan di arsip, nasib sebuah puisi benar-benar bergantung sepenuhnya pada usaha dan kreativitas penyairnya sendiri. Yang paling umum dan mudah di zaman ini, si penyair (ataupun yang bukan penyair) mem-posting karya puisinya (atau “catatan harian yang ditulis seperti larik dan bait puisi,” ungkap penyair Adri Darmadji Woko) ke medsos (FB atau WA) agar bisa beredar dan dibaca oleh sahabat dan teman pemirsa laman-laman medsos tersebut.
Usaha lain yang bisa dilakukan adalah membaca karya-karya itu di berbagai acara puisi yang banyak digelar komunitas berpuisi di banyak kota atau bahkan di pelataran TIM Jakarta. Sementara yang punya karya cukup banyak, sila membukukannya, atau bergabung dengan para penulis lain dengan membuat antologi puisi bersama. Dan di zaman ini, semua upaya menghidupkan puisi itu nyaris selalu harus dilakukan secara mandiri, swadaya, baik sendiri-sendiri ataupun patungan. Bahkan bila karya puisi kita terpilih dan lolos seleksi (oleh dewan juri pilihan panitia) sebuah penerbitan buku anrologi, kelak bila buku terbit, si penulis puisi tetap diminta kesudiannya membeli (minimal) satu eksemplar buku terbitan sebagai pengganti ongkos cetak.
Tapi di antara yang kebanyakan di atas, tentu saja selalu ada penyair yang tidak masuk katagori kebanyakan. Mereka (penyair yang sedikit jumlahnya) ini mampu menghasilkan karya-karya puisi, yang tidak hanya ditunggu penerbit-penerbit mainstream untuk dibukukan dan dipasarkan (dan si Penyair mendapat royalti sepadan), tapi aktuvitas si penyair untuk memasyarakatkan puisi karyanya (dengan menggelar acara sastra misalnya) juga sudah ditunggu pihak-pihak sponsor. Seorang dari sedikit penyair Indonesia yang mampu ‘menjual’ dan memberdayakan kekuatan puisi-puisinya ini adalah Yudhistira ANM Massardi.
Safari Sastra Yudhistira (SSY) Part III Senandung Cinta Pantura. Begitu tajuk pagelaran baca dan musikalisasi puisi yang disafarikan Yudhis pada 14 s/d 25 Februari 2023 ke 8 kota di pantura (pantai utara) Jawa. Berangkat dari rumahnya di Bekasi, Jawa Barat, berturut-turut Yudhis dan tim insyaallah akan tampil berturut-turut di Kota Cirebon, Pemalang, Pekalongan, Demak, Kudus, Jepara, Pati dan Pesantren Raudhatun Talibin pimpinan Kiyai/Penyair Gus Mus di Rembang Jawa Tengah. Kali ini, Yudhis antara lain didukung oleh Kelompok Musik Kluwung dan aktivis Komunitas Seni Bulungan (KSB) Jakarta: Siska Yudhistira, Wita Maharadjo, dan aktor/rocker Renny Djajoesman.
Diinisiasi oleh Sentra Seni Batutis (Batutis adalah lembaga pendidikan bagi anak-anak tak mampu yang dibangun Yudhis dan Siska) dan didukung panitia/koordinator lapangan di tiap kota, safari kalinini didukung antara lain oleh DitJen Kemendikbud – Ristek RI, dan Djarum Bhakti Budaya
SSY Part III Senandung Cinta Pantura disiapkan Yudhis dengan serius sebagai upaya mengidupkan dan menggaungkan karya-karya puisinya agar tak sekadar “pensiun” setelah dibukukan. Seri safari misalnya diawalinya dengan SSY pertama pada Maret 2022 dengan pentas puisi di Tegal, Kendal, Semarang, Magelang, Yogyakarta, dan Solo yang selain didukung Siska juga melibatkan Wita Maharadjo dan Uki Bayu Sedjati dari Komunitas Seni Bulungan.
Lalu SSY II pada Juni 2022 di 7 buah kampus di Jawa Barat, yakni Unibersitas Perjuangan, IAILM Suryalaya – Tasikmalaya, UNPAD UNISBA UIN, UPI, dan UNPAR uang antara lain juga melibatkan penyair Acep Zamzam Noor, Nizar M dan Kelompok musik Kluwung.
Renny Djajoesman sendiri bukan orang baru bagi Yudhis. Bukan cuma mereka sejak remaja aktif berteater di Gelanggang Bulungan Jakarta Selatan. Bersama putrinya, Yuka Mandiri, Renny juga mendukung pentas puisi Yudhis di Galery Indonedia Kaya Jakarta pada Februari 2017. Lalu pada Maret 2018, Yudhis fan Renny pentas keliling Puisi Nge-Rock bareng 2 rocker Solo Gema Isyak Soloensis Adam & Gandhi, Asta “Imajinarium” sejak mulai berangkat dari Jakarta, lanjut ke Yogyakarta, Solo, Malang, Medan, Makassar, Denpasar, dan Ubud.
“Dalam Safari Pantura kali ini Renny akan lebih fokus eksplorasi vocal dan ekspresi baca puisi,” ucap Yudhis yang seperti mengingatkan (kepada saya) bahwa puisi itu jangan cuma ditulis dan diterbitkan, tapi harus terus-menerus dihidupkan sepenuh gairah. *
13/02/2023 PK 10:48 WIB.