Seide.id – Tentang peran sastra, di atas itu ungkapan sahabat Rg Bagus Warsono. Dan tadi pagi sahabat Kurniawan Junaedhie menurunkan gambar di bawah ini. Tekun membaca. Mungkin kegilaan membaca. Ketika orang lain sibuk piknik dan rekreasi, mengobrol tanpa juntrungan, dia tekun membaca. Ilustrasi yang mengispirasi. Bahwa dengan membaca nasib hidup bisa berubah. Siapapun profesinya apa, tekun membaca juga berarti kerja. Berarti kerja keras. Bisa memang menyukai, bisa karena pikiran memutuskan bahwa membaca itu perlu. Banyak membaca lebih diperlukan, siapapun kita.
Membaca bisa berarti literasi. Berarti mengisi kepala, selain menambah vitamin batin dari membaca susastra, menambah wawasan, menentukan seperti apa sikap hidup, membangun mind set. Berujung membuka peluang, membuahkan kelimpahan.
Berbeda cara bicara cara pidato cara ungkap mereka yang suka membaca. Ada warna khusus dari ungkapannya, luas bunga ungkapannya, apakah dia pendeta, pejabat, atau pebisnis. Nyata bila mereka cendekia, budayawan.
Bahwa untuk sukses hidup butuh kerja keras. Peran IQ hanya seberapa saja, kata Einstein. Juga betapa besarnya peran EQ (emotional Quotient). Peran EQ lima kali lebih dari peran IQ. Juga peran spiritualitas (Sipirual Quotient). Cerdas beremosi dan spiritualitas ikut menentukan nasib, dan sukses kita ke depan.
Ingat momen wisuda ITB, orangtua lulusan banyak berasal dari desa. Mengenakan jas kebesaran karena mungkin bukan miliknya. Tapi anaknya menyimpan hari depan. MAW Brower dalam satu tulisannya tahun 80-an bilang begini. Ketika semua mahasiswa berfoya-foya selama kuliah, anak ITB yang dari desa itu tekun tidak tidur. Tekun kerja keras. Makannya tidak selalu tentu, hari rekreasinya digunakan untuk belajar.
Setelah lulus, mereka yang menjadi orang. Anak orang kaya disekolahkan ke luar negeri, pulang belum tentu membawa gelar karena kuliahnya setengah hati, lebih banyak bersenang-senang. Kondisi berkepapaan hidup yang bisa menjadi cambuk untuk harus kerja keras. Sebaliknya keenakan hidup yang cenderung mengendurkan fighting spirit.
Spirit meraih lebih itulah spirit orang Troya. Tidak mau menyerah, bertekun untuk mencapai yang terbaik. Menunda kepuasan sebagai disiplin hidup. Yang tidak enak didahulukan. Yang enak kemudian. Mereka calon pemenang sukses hidupnya di depan nanti.
Gagasan kreatif diperoleh dari membaca. Menembus prestasi gemilang jalannya melalui banyak membaca. Juga sebagai ilmuwan, sebagai apapun, terlebih sebagai penulis, pengarang, penyair. Bersyukur Indonesia menggalakkan program literasi nasional. Banyak baru melek huruf perlu literasi bukan sekadar bisa membaca, melainkan mengisi kepala juga. Penulis memperkaya perbendaharaan ungkapan, enak dibaca, penuh bunga ilustrasi. Penyair butuh banyak cara ungkap dari terinspirasi bacaan lain. Keanekaragaman apa saja.
Saya mengalami hal ini sejak sekolah dulu. Sekolah jurusan pasti-alam tidak menutup interes bacaan saya ilmu sosial, selain bacaan sastra. Juga manakala sekolah dokter, saya membaca juga ilmu-ilmu sosial, ada manfaatnya dalam berinteraksi dengan pasien. Kaya wawasan, dari membaca koran juga. Bukti bahwa itu memperkaya cara ungkap kita dalam menulis, dan cara berbicara (speaking). Tanpa sadar itu menambah penguasaan saya membuat orang lain menjadi senang mendapatkan tambahan ilmu dan wawasan orang, selain sentuhan oleh apa yang saya ungkapkan dalam artikel ilmiah, kalau bukan puisi.
Di bawah ini harapan saya menggandeng upaya pemerintah menggalakkan literasi sebagai program nasional. Walau kecil Komunitas Negeri Poci ikut andil.
“Komunitas Dari Negeri Poci”
28 Tahun Menggerakkan Literasi
Badan Bahasa menyatakan “akan melakukan kegiatan Praktik Baik Literasi bagi Generasi Muda dan Pembinaan Komunitas Literasi”, sebagaimana ditulis Kompas, 30/12/21 halaman 8, bertajuk Upaya Memartabatkan Bahasa Indonesia. Tujuannya meningkatan literasi nasional (Gerakan Literasi Nasional).
Saya bersama 12 teman penyair, menggagas Komunitas Negeri Poci (DNP) lebih 28 tahun sejak 1993, menyelenggarakan aneka kegiatan bersastra, selain menerbitkan Antologi Puisi secara berkala. Antologi Puisi yang menampung siapa saja penyair, penulis puisi, atau penulis pemula dari seluruh Nusantara. Kini sudah buku Antologi yang ke-11.
Sebagaimana kita maklumi, sejak tahun 2000-an sastrawan kehilangan ruang untuk hadir di koran dan majalah, karena susastra media massa cetak tergusur oleh iklan dan berita politik-ekonomi. Karya mereka lalu hanya tersimpan dalam laci kamar. Prihatin, kami Komunitas DNP membukakan peluang agar karya sastra mereka masih bisa hadir. Bukankah karya sastra baru hadir bila karyanya dipublikasikan. Demikian pula puisi.
Antologi Puisi DNP secara sukarela kemudian menampungnya.
Sampai tahun 2021, lebih 600 penyair dan penulis puisi pemula dari berbagai kota ditampung dalam 11 Antologi Puisi DNP. Total mengisi lebih 2.500 halaman buku. Sampai tahun 2021 kami menerbitkannya secara swadaya, dari kocek sendiri. Demikian pula untuk acara peluncuran buku yang diikuti dengan acara lomba baca puisi, dan kegiatan bersastra lainnya, di beberapa kota yang berbeda.
Bukankah kehadiran karya sastra, sekurangnya gairah untuk menulis begini, semeruah ini, merupakan aset bangsa. Bonus sosial yang menggembirakan ketika kini literasi nasional tengah kita gelorakan.
Kini kita melihat bertebaran komunias sastra di mana-mana kota, yang juga dihidupkan secara swadaya. Sahabat Kurniawan Junaedhie, salah seorang penggagas DNP, menangkap begitu banyak teman-teman, generasi muda, yang bergairah menulis, lalu menggagas “Aksi Swadaya Menulis dari Rumah”. Mengundang mereka yang suka menulis, yang masih pemula sekalipun untuk berhimpun dalam buku antologi.
Dalam setahun sudah berhasil diterbitkan 20 buku antologi dengan 7 tema yang akrab keseharian, ditulis oleh ratusan mereka yang ingin hadir, ingin tampil menulis, dengan hanya membayar ongkos cetak. Peluang menulis begini ternyata luar biasa bersambut.
Gairah besar itu tampak setelah mereka diberi kesempatan meluncurkan antologinya, dan saling bertemu. Bukankah kiprah ini menjadi bukti bahwa ini juga aset bangsa. Bahwa budaya literasi menulis generasi muda anak bangsa, sebetulnya sebegitu bergelora.
Kami kini tinggal berempat penggagas Komunitas DNP. Terus terang kami sudah terengah-engah terlanjur berkomitmen untuk terus melanjutkan penerbitan Antologi DNP agar tetap bisa terbit setiap tahun. Masih keluar dari kocek kami, terkadang saja ada sponsor.
Membaca Badan Bahasa ke depan punya kegiatan untuk meningkatkan literasi bagi Generasi Muda selain buat Komunitas Literasi seperti Komunitas DNP kami ini, kesempatan ini kami berharap ada uluran tangan Badan Bahasa demi masih tetap langgengnya kegiatan literasi kami. Bukanlah aset sebagus ini yang nantinya menjadi fondasi semakin terbangunnya masyarakat pembelajar (learning society), masyarakat menulis (writing society), dan untuk menulis mereka harus gemar membaca (reading society).
Sungguh kami Komunitas DNP menunggu dengan rindu uluran tangan Badan Bahasa.
Komunitas DNP,
Dr Handrawan Nadesul
Prof Prijono Tjiptoherijanto
Adri Darmadji Woko
Kurniawan Junaedhie
Salam literasi,
Dr Handrawan Nadesul