Penulis Jlitheng
Topik refleksi APP yang kedua adalah kesehatan. Pemandu membuka pertemuan dengan berkata bahwa “Sehat itu mahal”. Untuk mendukung kebenaran pernyataannya, dia bercerita bahwa saat semua anggota keluarga terpapar covid-19, termasuk dirinya, dia harus mengeluarkan banyak uang untuk menebus obat. Masih ditambah lagi tidak dapat bekerja dan harus isolasi.
Peserta yang hadir mengiyakan alasan pemandu bahwa jika sakit akan mengeluarkan biaya untuk jasa nakes, obat, biaya perawatan di rumah sakit, biaya orang yang menunggu, dan biaya-biaya lainnya.
Kalau begitu mana yang murah, “sehat atau sakit”? Pertanyaan ini tidak dijawab, malah ada yang tertawa atau senyum-senyum, bingung mau menjawab apa.
Sehat itu murah. Yang mahal itu kalau sakit.
Ketika sehat, nasi putih pun nikmat dan air putih menyegarkan. Sebaliknya, jika sakit, biaya akan makin mahal jika yang terdampak tidak hanya fisik, tapi juga mental, yakni pikiran dan hatinya.
Pikiran mudah kalut, hati mudah cemas, mudah lelah, mudah hilang energi, dan, lebih jauh lagi, mudah hilang harapan. Makan tak enak, tidurpun selalu gelisah.
Sehat dan sakit juga memiliki dimensi rohani Menarik ketika ada peserta APP yang melihat “sakit sebagai cahaya Tuhan”.
Kisahnya demikian: Tahun 2017 dia divonis terkena kanker. Gelap dan hidup seperti diambang akhir. Setelah operasi, banyak waktunya berada dalam sujud memohon sembuh. Tekun sekali mohon bantuan Santo Peregrinus dan Bunda Maria, agar kesehatan itu kembali dalam hidupnya .
Tuhan menjawab doanya dan memberinya karunia melebihi yang diharap yakni rasa “bahagia” dalam doa dan ekaristi.
Sehat itu rahmat dan sakit dapat menjadi tongkat pengingat, bahwa Tuhan lah Sang Penyembuh Sejati.
“Ya Tuhan, aku tidak pantas Engkau datang kepadaku. Bersabdalah saja, maka aku akan sembuh.”
Salam sehat dan jangan jemu berbagi cahaya.