oleh NESTOR RICO TAMBUN
Buku “Brieven uit Sumatra (Surat-surat dari Sumatra)” karya J.J. van de Velde sebuah buku yang unik dan menarik. Buku ini berupa kumpulan surat-surat yang pernah dikirim van de Velde kepada keluarganya di Belanda, selama bertugas sebagai pegawai pemerintah Belanda di Sumatera, termasuk di Tapanuli, dari tahun 1930-an hingga 1940-an.
Karena berasal dari surat-surat pribadi, tulisan-tulisan dalam buku ini terasa lebih jujur dan natural dalam bertutur. Menceritakan banyak hal yang bersifat pengalaman-pengalaman dan penilaian pribadi, tanpa pretensi menulis buku seperti penulis-penulis Belanda yang lain.
Buku Brieven uit Sumatra diterbitkan pertama kali oleh Uitgeverij T. Wever B. V., Franeker. Tahun 1986, buku ini diterjemahkan dan diterbitkn penerbit Pustaka Azet, Jakarta, dengan judul Surat-Surat dari Sumatera.
Berbagai Sejarah dan Situasi Toba
Dr. J.J. van de Velde merupakan rekan Ali Sastroamidjojo ketika kuliah hukum di Leiden. Mereka kemudian bertemu lagi sebagai sama-sama anggota delegasi dalam Perundingan Roem–Royen. Jabatan terakhirnya di Indonesia sebagai Penasehat Pemerintah untuk Urusan Politik di Sumatera.
Van de Velde dua kali bertugas di Tapanuli. Pertama, Juli 1935, ia ditempatkan di kantor Residen Heringa, di Sibolga, sebagai kontrolir yang diperbantukan, dengan tugas utama pengawasan atas semua keputusan rapat atau peradilan pribumi di seluruh Keresidenan Tapanuli. Ia tergolong pegawai yang kaya, karena datang ke Tapanuli membawa mobil sendiri. Ia terpesona pada pandangan pertama atas Danau Toba. “Oh, betapa indahnya, Tanjung Siuhan dan Prapat tampak seperti dongeng saja,” tulisnya (30 Juli 1935).
Membaca surat-surat van de Velde seperti mendengar cerita. Kita seperti diajak melihat panorama dan keadaan masyarakat Toba, lengkap dengan sikap dan perilaku budaya pada saat itu.
Van de Velde menggambarkan, melewati jalan hingga Sigumpar, tempat makam Nommensen berada, dimana-mana di pinggir jalan atau di lereng-lereng bukit, tampak gereja-gereja kecil bercat putih. Van de Velde menyebut itu salah satu perbedaan suasana yang menyolok sekali dengan alam Aceh, tempat ia tugas sebelumnya.
Surat-surat van de Velde terasa jujur dan berempati. Sebagai seorang pegawai pemerintah Belanda, ia bekerja dengan sungguh-sungguh dan profesional. Diluar tugas itu, ia melihat tano Batak dan orang Batak dengan rasa senang. Tidak merendahkan sebagaimana biasanya kacamata penjajah.
Surat-surat (catatan) van de Velde menyajikan banyak pengetahuan dam fakta yang belum banyak kita ketahui dan dengar, termasuk tentang kehidupan orang Batak pada saat itu. Antara lain penilaian bahwa kehidupan orang Batak di Tapanuli saat itu sudah maju, tertib, berpendidikan, meskipun karakter-karakter asli yang keras kepala masih ada di sana sini. Ia menggambarkan kehidupan sosial, seperti suasana huta, kebiasaan-kebiasaan orang Batak apa adanya, seperti bercerita kepada keluarga atau teman. Tak ada pretensi merahasiakan atau merendahkan.
Sejak awal van de Velde sudah menunjukkan keterpesonaan. Ia menyebut, Residen Tapanuli, yang pada tahun 1930 tercatat berpenduduk satu juta lebih, sebagai negeri yang indah. Lebih dari separoh penduduk itu terdiri dari suku Batak yang tinggal di daerah tingkat dua Tanah Batak sekitar Danau Toba dan Pulau Samosir. Di daerah Sibolga dan Barus, penduduknya campuran.
Van de Velde sering turun ke lapangan, antara lain ke Padang Sidempuan, Sipirok, Padanglawas, hingga ke Nias. Ia mengaku senang dengan perjalanan-perjalanam tugas itu. Ia sering disambut dengan memotong hewan dan disambut dengan tari-tarian.
Salah satu sejarah penting dari van de Velde, adalah catatan pada 8 Mei 1936, ketika ia bersama rombongan Residen menghadiri pembukaan jalan dari Tele ke Samosir dan jalan lingkar mengelilingi Samosir sepanjang 129 kilometer. Ia menyebut jalan terjal dari Tele ke Pangururan dengan ketinggian 900 meter itu sebagai “suatu hasil karya raksasa dari mereka yang selama bertahun-tahun datang dari hutan-hutan yang jauh letaknya untuk melakukan penggalian”.
Maksudnya tentu pekerja rodi. Pekerja rodi dikerahkan dari kampung-kampung di Tapanuli, lewat koordinasi Kapala Nagari dan aparat pemerintah Belanda lainnya. Pekerja rodi ini semacam kerja paksa, tidak dibayar. Banyak dari pekerja rodi ini yang meninggal dan jatuh sakit. Ini sama halnya ketika membuka jalan lintas Prapat – Sibolga pada tahun 1917, yang menjadi poros awal jalan lintas Sumatera.
Van de Velde tertarik dengan banyak nama-nama orang Batak yang menurutnya indah, seperti Oloan, yang berarti yang dituruti, Soaloon, tiada tandingan, Hamorangan, yang tidak terkalahkan, Natigor, yang jujur. Tapi yang lebih umum nama-nama dari Alkitab, Israel, Petrus, Paulus, Maria, Magdalena dan sebagainya. Ia juga merasa lucu nama yang unik, seperti Setermelem. Ternyata nama itu diambil dari C. ter Meulen, rekan van de Velde, kontrolir yang pernah bertugas di Pangururan. C. ter Meulen rupanya pernah menolong ayah si anak. Sebagai tanda terimakasih si anak yang lahir kemudian diberi nama penolongnya itu dalam lidah Batak, Setermelem.
Van de Velde juga menulis betapa kuatnya identitas garis keturunan orang Batak dengan garis marga-marga yang selalu disebut di belakang nama. Pejabat pemerintah Belanda sangat memperhatikan marga ini, agar tak salah dalam setiap perkara yang diadukan dan diputuskan.
Pada penugasan pertama ini, van de Velde tidak sampai setahun di Tapanuli. Juni 1936 dia dipindahkan ke Batavia ke Algemene Secretarie (Sekretaris Umum) di Buitenzorg (Bogor), dengan tugas mengurus semua surat-surat antara Den Haag – Jeddah – Batavia, mengenai jemaah haji yang tiap tahun berangkat dari Hindia ke Mekkah.
Oktober 1939 van de Velde ditugaskan kedua kali ke Tapanuli. Kali ini menjadi Kontrolir di Balige, menggantikan Kontrolir Baarspul. Kedatangan kedua mereka naik kapal ke Padang, kemudian mengendarai mobil lewat Solok, Bukittinggi, mampir di Sibolga, kemudian ke Taturung, Siborong-borong, lalu ke Balige.
Saat itu, selain van de Velde, asisten kontrolir Berkhoff, inspektur polisi Van der Maas, pejabat pemerintah Belanda sudah diisi pejabat Batak, seperti Demang Frederik Gultom beserta asisten-asistennya. Salah satu catatan menarik, keluarga van de Velde memesan peralatan ruang makan dari bengkel di Laguboti, dimana gereja dan dua ahli dari Jerman melatih 100 lebih pemuda Batak menjadi tukang kayu. Sekolah Teknik di Laguboti ini terkenal hingga Indonesia merdeka.
Van de Velde termasuk orang yang teliti, dia dengan jelas menggambarkan keindahan Danau Toba dan Samosir, keadaan kota Balige yang dikeliling sawah-sawah dan beriklim ideal, cukup panas untuk menanam pohon-pohon daerah tropis, tapi juga bisa menanam tumbuhan Eropa, seperti wortel, slada, tomat, dan sebagainya.
Daerah Tingkat II Toba, dengan ibukota Balige, saat itu berpenduduk 125.000, diurus seorang Kontrolir didampingi aspiran (asisten), seorang inspektur polisi, 2 demang dan 4 asisten demang, serta 45 kepala negeri. “Negeri ini mempunyai nama-nama indah, seperti Sonak Malela, Laguboti, Sitio-tio, dan sebagainya,” tulis van de Velde.
Satu hal yang agak unik di masa itu, secara resmi Tanah Batak dibawah pemerintahan Belanda, tapi sebagian besar struktur kehidupan diurus oleh gereja Zending Rijn (cikal-bakal HKBP) yang dirintis Nommensen, seperti sekolah-sekolah, rumah sakit, dan usaha sosial lain, yang umumnya ditangani orang Jerman.
Pada saat itu orang Batak banyak yang menderita kusta (puru). Di Huta Salem ada rumah sakit kusta yang dikelola Zending Rijn, yang dikelola dokter dan 2 suster dari Jerman. Rumah sakit itu berupa kompleks besar, dimana 500 penderita kusta yang berasal dari Tanah Batak dirawat. Mereka tinggal di rumah-rumah kecil, tiap rumah 2 orang, laki-laki terpisah. Semuanya bekerja membuat aneka kerajinan.
Van de Velde cerita menghadiri acara pelepasan untuk pertama kali 25 orang penderita yang sudah dinyatakan sembuh dan kembali ke huta masing-masing. Rumah sakit mengadakan ucapacara besar. Keluarga mereka datang dari tempat-tempat jauh untuk menjemput mereka. Ada yang jari-jarinya tinggal sepenggal, tapi menurut dokter tidak lagi menular. Acara itu diawali kebaktian yang megah dan mengharukan. Ketika berpamitan, para dokter dan suster menjabat tangan mereka untuk menunjukkan kepada keluarga tak perlu khawatir terhadap penularan. Van de Velde menyebut, ketika ia bertugas di Aceh, dekat Blang Kejeren, ada sebuah komunitas kusta di sebuah lembah sungai yang kecil. Tapi itu hanya merupakan tempat pengasingan.
Dalam surat-suratnya terlihat van de Velde senang melakukan perjalanan ke daerah-daerah dan menikmati kunjungan itu. Ia menggambarkan dengan baik suasana huta-huta yang dikelilingi tembok yang ditumbuhi rumpun bambu, dikelilingi sawah-sawah. “Di dalam huta-huta yang terlindung itu terdapat rumah adat yang indah sekali, terbuat dari kayu dan dihiasi ukir-ukiran. Di dalam huta itu berkeliaran banyak sekali ternak-tenak babi dan anjing, yang melahap semua sampah dan kotoran, termasuk kotoran manusia!
Kalau ada perayaan, seperti tahun baru, mereka mengadakan acara. Mengucapkan pidato yang panjang, sesuai dengan tata-cara Batak, dengan kalimat-kalimat yang indah. Mereka suka berpidato dengan kalimat-kalimat indah (maksudnya umpasa). Mengharukan.
Tugasnya aparat pemerinah Belanda, antara lain menetapkan pajak, pada awal tahun. Tapi van de Velde menyebut kerja di tanah Batak lebih mudah dari di Aceh. Demang, asisten demang, dan kepala negeri di 45 negeri, membantu dengan lancar. Orang Batak juga sudah lebih terbiasa dengan tata-laksana rumah tangga berdasarkan uang daripada orang Aceh dan Gayo.
Di Pintu Pohan, dimana terdapat Air Terjun Wilhelmina (Sigura-gura), Maskalai Billiton sedang berencana mengerjakan pembangkit listrik dan sebuah pabrik akuminium. Van de Velde menyebut itu kerja yang paling tidak menyenangkan, karena harus menyelesaikan perselisihan. Harus mengadakan perundingan dengan para insinyur mengenai jumlah uang yang harud dibayar untuk mengganti tanah dan pohon-pohon.
Terbalik Jadi Tahanan
Catatan van de Velde mengalami kevakuman dari November 1940 hingga meloncat ke Januari 1942. Tanggal 22 Januari van de Velde menulis, berita pembomban Pearl Harbour oleh pasukan Jepang menimbulkan ketegangan akan terjadinya perang di Toba. Pihak militer datang dengan pesawat amfibi. Di Balige akan ditempatkan sepasukan militer. Kota itu juga akan mendapat sebuah meriam penangkis udara, yang akan ditempatkan di tepi danau. Mereka bersiap perang. Meskipun kehidupan dan tugas pemerintahan, seperti rapat memutus perkara, antara lain penipuan, penganiayaan, pemalsuan dokumen, dan perkara menaikkan harga berlangsung seperti biasa.
Keluarga van de Velde mengemasi barang-barang berharga untuk diungsikan ke Parsoburan. Di tepi danau, di Narumonda, penduduk membagi 10 hektar tanah yang terjadi karena pendangkalan danau yang cocok dijadikan persawahan. Tanah itu dibagi menjadi 253 persil. Orang dengan gigih dan sengit untuk mendapatkan bagian, dengan pidato berjam-jam. “Akhirnya harus diadakan pardamaian, pemecahan dengan dasar kebijaksanaan Batak dan pemerintah Belanda.”
Perubahan lain, pengelolaan RS Kusta Huta Salem ganti dipegang oleh seorang Belanda, Van der Veen dari Bala Keselamatan, bersama istri dan 3 anaknya, yang bekerja baik sekali. Sementara direktur RS Zending di Balige dipegang seorang putra Batak, yaitu dr. Nainggolan. Dalam masa ini, mulai terlihat gejala anti Belanda, antara lain perusakan isolator telepon oleh beberapa pelajar.
Maret 1942, kecemasan makin terasa, ketika mengadakan rapat dengan semua pejabat dan Kepala Negeri. Satu hal yang agak aneh, van de Velde menerima telepon dari kantor gubernur di Medan, agar disiapkan tempat untuk menyimpan minuman-minuman dari perkumpulan di Medan. Mereka tidak ingin minuman-minuman mahal itu jatuh ke tangan orang Jepang. Maka dua truk bir, sampanye, wisky, anggur, dan vodka dan sebagainya pun disimpan di sebuah gudang milik bijbelvrouw di kompleks zending di Laguboti. Tapi setelah tentara Jepang diberitakan sudah mulai mendarat di pantai Sumatera, van de Velde tidak yakin dengan keselamatan minuman itu. Ia kemudian bersama beberapa orang pergi menggali lubang di halaman gudang penyimpanan minuman, lalu memecahkan semua botol minuman mahal dan menguburnya.
Suasana tegang makin terasa. Satu kompi serdadu ditempatkan di Balige dibawah komando Kapten Klaas. Satu seksi, dibawah pimpinan Letnan Been ditempatkan di Porsea. Di bawah jembatan di Porsea dipasang dinamit untuk diledakkan, untuk mencegah Jepang mendekat. Tapi van de Velde tak urung cemas, karena militer itu cuma orang-orang biasa, seperti guru, orang perkebunan, pegawai kantor, bahkan pedagang yang dikenakan wajib militer.
Dalam surat tanggal 15 Maret 1942, van de Velde menggambarkan suasana Toba terasa mengerikan. Serangan Jepang ke Porsea dimulai pada Jumat malam. Pukul 8 malam, tiba-tiba hubungan terputus. Tidak terdengar suara ledakan dinamit atau tembakan mortir. Tahu-tahu pukul 5 pagi datang seorang serdadu dalam keadaan basah kuyup. Rupanya, tentara Jepang, secara tak terduga tiba-tiba menyergap dari belakang garis pertahanan Belanda. Mereka datang dari Prapat, lewat danau, naik perahu motor dan beberapa perahu. Semua tentara Belanda ditahan. Besoknya van de Velde tahu, pagi harinya tentara itu diseret ke jempatan, kemudian dilemparkan ke sungai Asahan setelah dibantai dengan bayonet.
Akhirnya Jepang memang menahan van de Velde dan semua aparat orang Belanda, termasuk pastor-pastor dan pendeta bersama keluarga, bahkan anak-anak dan wanita yang ada di rumah sakit. Mereka dikumpulkan di Soposurung. “Kami tinggal di rumah-rumah kecil di Soposurong dan menikmati pemandangan indah Danau Toba,” tulis van de Velde.
Hanya 10 hari, mereka harus pindah. Tahanan laki-laki dipindahkan ke penjara yang di Balige, yang terletak dekat danau. Sementara tahanan wanita dan ana-anak ditahan di Huta Salem. Dalam surat dari penjara ini, selain tak pernah lupa menyebut keindahan tanah Toba, van de Velde secara khusus memuji loyalitas sahabat-sahabat Bataknya, yang kadang berani menempuh risiko menghadapi kekasaran Jepang untuk berbuat sesuatu.
Antara lain van de Velde menyebut seorang bernama Martinus, pembantu keluarga Van der Veen, yang mengelola rumah sakit kusta Hutasalem, yang setiap hari datang mengantarkan sebotol susu segar sambil menyampaikan berita dari Huta Salem, kadang menyeludupkan surat-surat. Berita dari Martinus membuat mereka senang. Van de Velde juga menyebut beberapa sahabat seperti Baginda Pipin dan Raja Konrad dari Sonak Malela, yang bahkan mengirim sejumlah uang. Di antara mereka ada yang menyeludupkan koran, sehingga mereka mengetahui perkembangan Perang Dunia II di Eropa.
Kemudian tahanan-tahan Batak juga dimasukkan ke penjara ini. Van de Velde antara lain menyebut, orang-orang Batak yang nekad menyedot bensin dari tangki mobil-mobil Jepang. Juga pimpinan sekte Parmalim, karena orang-orang Parmalim menolak membayar pajak berupa beras 1 kaleng per kepala keluarga setiap bulan kepada Jepang. Pembangkangan pengikut Parmalim ini konon menewaskan dua orang tertembak. Juga orang-orang Batak yang membakar bengkel kerja zending di Laguboti, serta putra Raja Pintu Pohan, yang menghasut rakyatnya merusak milik Maskapai Billiton.
Selain itu, van de Velde menyebut “pokrol bambu” marga Panjaitan yang pernah datang kepadanya agar direkomendasikan jadi Kepala Negeri. Si Penjilat ini konon mengaku-ngaku sebagai kepercayaan pemerintahan Jepang dan melakukan penipuan-penipuan terhadap penduduk.
Van de Velde mengaku bersahabat dengan tawanan-tawanan Batak ini. Orang-orang Batak ini sangat bergairah meminta van de Velde menggambarkan situasi dunia di atas pasir. “Kami menjalin persahabatan yang erat, sering bernyanyi bersama,” tulis van de Velde. Ia menulis potongan lirik lagu. Ia tidak tahu judul lagunya, hanya menyebut lagu rakyat.
O, Tano Batak haholonganku
Ao on naeng mian di ho
Sambulongki
Dari semua catatan ini, terlihat van de Velde sangat menyukai alam Toba dan menyukai orang-orangnya. Agak mengharukan membaca penilaian-penilaian dia terhadap orang Batak.
Catatan atau surat van Velde dari Tanah Toba terakhir adalah dari penjara, pada 20 November 1942. Pada bulan Desember semua tahanan orang asing dari penjara Balige bersama istri dan anak-anak mereka yang ditahan di Huta Salem, diangkut ke Medan. Tahanan laki-laki kemudian dikumpulkan di bangsal-bangsal kuli pelabuhan di Belawan, sementara wanita dan anak-anak ditahan di Pulau Brayan.
Van Velde bersama tahanan-tahanan orang asing lain kemudian sangat menderita dalam tahanan Jepang. Mereka dipekerjakan di perkebunan sampai ke Aek Paminke di daerah Kisaran dan sebuah tempat bernama Si Rengo-rengo di daerah Rantau Prapat. Mereka diperlakukan Jepang dengan cara tidak manusiawi hingga terpaksa makan apa saja, termasuk tikus dan ikan pari busuk. Banyak di antara mereka yang mati karena sakit dan penderitaan yang tak terkira, dan dikubur di hutan-hutan perkebunan, tanpa jejak pusara, hingga sekarang.
Peran Akhir
Setelah Jepang kalah dan Belanda mencoba kembali mengusai Indonesia, van de Velde menjadi salah seorang penting dalam pemerintahan Belanda di Indonesia selama Clash II. Ia menjadi salah salah seorang anggota delegasi dr. van Royen dalam perundingan dengan delegasi yang dipimpin dr, Muhammad Roem, yang terkenal dengan Perundingan Roem – Royen. Perundingan yang kemudian melahirkan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag. Konferensi yang melahirkan pengakuan terhadap kemerdekaan Indonesia. Tapi van de Velde tidak ikut dalam KMB di Den Haag, karena kehadirannya di Indonesia penting.
Buku van de Velde diakhiri dengan catatan bertanggal Batavia, 29 Mei 1949. Sebuah tulisan berupa MEMORANDUM kepada Dr. J.H. van Royen, berisi analisa mengenai keadaan Sumatera, dengan judul: SUMATERA DAN KONPRENSI MEJA BUNDAR.
Isi memorandum itu antara lain: Meskipun menduduki kota-kota besar di Sumatera posisi Belanda sangat lemah, karena semangat kaum Republik sudah begitu kuat dan bersatu. Pihak federal yang bergantung pada Belanda, seperti Negara RIS, sesungguhnya sangat lemah dan tidak punya pendukung. Realita bahwa Republik hanya mau mendengar suara dari dunia internasional dan bukan dari Belanda. Yang masih bisa kita perjuangan di KMB ialah terjaminnya kebebasan mengeluarkan pendapat, hak mengurus daerahnya bagi golongan-golongan penduduk yang berbeda-beda suku dan, perlindungan hak-hak golongon-golongan penduduk lemah dan yang tertinggal dalam perkembangannya, di Indonesia. Itu bisa tercapai kalau kaum federalis mau membantu Belanda atas dasar persetujuan dengan Republik, yaitu dengan menyerahkan kepentingan-kepentingannya kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sebab bagaimanapun adalah kenyataan, bahwa Republik hanya mau mendengarkan suara dari dunia Intenasional dan bukan dari Belanda.
Menilik isi memorandum ini, agaknya van Royen mempercayai analisa-analisa van de Velde, sehingga akhirnya KMB menyerahkan kedaulatan kepada RI. Artinya, tanpa banyak yang tahu, van de Velde berjasa dalam pengembalian kedaulatan kepada RI, dari belakang layar.
Ya, buku kumpulan surat van de Velde ini buku yang menarik dan penting. Melalui surat-surat van de Velde dalam buku ini kita seperti mengikuti wisata sejarah dan budaya. Sejarah akhir pemerintahan Belanda di Tano Batak, Tapanuli, Sumatera umumnya, dan panorama budaya dan kehidupan orang Batak sebelum pendudukan Jepang. Tak banyak buku yang mengungkapnya. *