Hendrick Gozali (kanan) dan Charles, pewarisnya yang kini duduk di kursi sutradara. Dari 50-an judul film yang diproduseri olehnya, melalui Pt Garuda Film, 10 judul di antara bertabur 25 Piala Citra FFI, lambang supremasi paling bergengsi di kancah perfilman tanah air. Jejak karyanya mensejarah di dunia film Indonesia. Foto Ahmad Sekhu/Kabare Tegal
OLEH DIMAS SUPRIYANTO
DI KALANGAN orang film ada rekaman dialog yang sangat berkesan dari produser kepada artis atau partner produksi lain, termasuk wartawan dan dihapal karena selalu diulang ulang : “You bantu I dulu lah, nanti baru I bantu you! ” Yang mengucap kata itu adalah Hendrick Gozali, produser PT Garuda Film.
Dari laman Instagram, pagi tadi saya mendapat kabar Pak Hendrick Gozali telah tutup usia di kediamannya, siang kemarin, 11 Juli 2024, sekitar jam 15.50 WIB. Kabar ini dikonfirmasi perwakilan dari pihak keluarga. Pak Hendrick meninggal di usia 85 karena kadar gula darahnya yang terus menurun. Saya tercenung mengenangkan kebersamaan dengan almarhum.
Saya berkenalan dengannya sekira tahun 1997-1998, saat mengerjakan program infotainment Buletin Sinetron untuk RCTI – infotainment pertama di Indonesia. Sebagian ruang kantor merangkap rumah tinggal di kawasan Kwitang – Jakarta Pusat, kami sulap sebagai studio untuk suting narasi presenter, yaitu Krisna Mukti dan Maudy Koesnadi – Abang dan None Jakarta 1993. Pak Hendrick sering muncul pada saat kami ambil gambar maupun edit. Segera kami menjadi akrab satu dengan yang lain.
Isteri saya saat itu, sebagai penulis skrip dan produser pelaksana program, menyukai caranya berpakaian yang fashionable. Dandannya yang selalu rapi dan modis. Setahu kami, orang Tionghoa kalau sudah di rumahnya cenderung tampil seadanya, pakai kaos oblong dan celana pendek. Pak Hendrick tampil beda. Selalu muncul di depan kami dengan dandanan rapi jali. Dan wajahnya selalu ceria. Murah senyum.
Saya sendiri terkesan dengan cara bicaranya yang menggebu gebu. Selain itu, dia banyak berkisah tentang kehidupan di balik layar, dari para artis yang direkrutnya, juga sutradara film dan lainnya. Termasuk prosses kreatifnya sebagai produser dan penulis cerita.
Hendrick Gozali terjun ke film langsung membidik Teguh Karya, sutradara yang dikenal rewel dan ogah diusik selera artistiknya, dengan menggarap Ranjang Pengantin (1974) Film Indonesia yang dirilis pada tahun 1975 itu dibintangi oleh Slamet Rahardjo dan Lenny Marlina. Selain menjabat sebagai produser, Henrick juga menjadi penulis ceritanya.
Dalam cerita kenangan Slamet Rahardjo, dia membanggakan dialah aktor Indonesia satusatunya yang bisa beradegan ranjang dengan Lenny Marlina yang masa itu sedang berada di aktris papan atas perfilman nasional. “Ranjang Pengantin” sendiri merupakan drama keluarga yang tragis tentang suami yang tak mampu membahagiakan isteri dan selalu dicemooh mertua (Mieke Wijaya), yang berakhir dengan adegan bunuh diri tokoh suami yang diperankan Slamet.
Film itu langsung menyabet 4 piala Citra FFI 1975, untuk Sutradara Terbaik (Teguh Karya), Pemeran Utama Terbaik (Slamet Rahardjo), Pemeran Pendukung Wanita Terbaik (Mieke Wijaya), Penata Kamera Terbaik (Tantra Surjadi) dan Penata Artistik Terbaik (Benny Benhardi)
Henrick dan Teguh Karya kembali berduet untuk film kolosal November 1928. Lagi lagi sukses, baik secara artistik maupun pemasaran, dengan menyabet 6 piala citra di FFI 1979. Dari film itu terorbit Herman Felani, El Manik sebagai wajah baru dan mematangkan kualitas keaktoran Slamet Rahardjo dan Maruli Sitompul, selain Jeny Rahman, Sunarti Rendra dan Sardono W Kusumo yang dikenal sebagai tokoh tari.
Dari Pak Henrick saya jadi tahu proses kreatif produser. Dia bukan type pedagang, pencari untung meski cara bicaranya berkesan pebisnis. Kerjasamanya dengan Teguh Karya – sutradara yang susah didikte – menunjukkan produser macam apa dia. Dari 50-an judul film yang diproduksi olehnya, dengan bendera Pt Garuda Film, 10 judul di antara bertabur 25 Piala Citra FFI, lambang supremasi paling bergengsi di kancah perfilman tanah air.
Hendrick tak kapok bikin film drama anti mainstream, eksperimen dan kemudian mensejarah dan menjadi bahan kajian dan penelitian para mahasiswa, seperti Rembulan dan Matahari yang membuka jalan bagi Slamet Raharjo sebagai sutradara sekaligus mengorbitkan Nungki Kusumastuti – sebagai Film Terbaik FFI 1979. Berlanjut dengan Seputih hatinya Semerah Bibirnya (1980) mempertemukan aktris Christine Hakim dan Franz Tumbuan – suami Rima Melaty.
Dengan Lenny Marlina, Hendrick memproduksi Jangan Ambil Nyawaku (1981) yang diangkat dari cerita serial di majalah Kartini yang dibukukan karya Titie Said . Dia juga membuat Perempuan dalam Pasungan (1980), Gadis Penakluk (1980), dan lain-lain.
Dengan Teguh Karya dia berduet film remaja Usia 18 (1980) mempertemukan bintang cantik Jessy Gusman dengan Dian Hasri. Film ini menimbulkan kecemburuan Rano Karno, karena meski sudah dikenal sebagai bintang remaja laris, dia belum dapat kesempatan disutradarai oleh Teguh Karya – sutradara kaliber Citra FFI. Padahal Rano sangat ingin. “Sampai Pak Teguh meninggal, saya nggak pernah merasakan disutradai beliau – hal yang sasalkan sebagai pemain film, ” katanya. Tak cuma satu, Jessy Gusman juga kembali disutradarai Teguh Karya lewat film Tali Merah Perkawinan (1982) disejajarkan aktris Tuti Indra Malaon dan Rahmat Hidayat.
Tokh Hendrik juga melahirkan film film komersil, seperti Ranjang Siang Ranjang Ranjang Malam (dibinngi aktris Tanty Josepha), Isteri Dulu Isteri Sekarang (komedi Jalal dan Tanty Josepha), serta film film Warkop yang laris, seperti Sama Juga Bohong (1986) dan Jodoh Boleh Diatur (1988).
SELAIN mengorbitkan sutradara, seperti Slamet Rahardjo, Ali Shahab, Bobby Sandy , Henky Sulaiman dan Torro Margen – Hendrick Gozali juga mengorbitkan sedert aktris, seperti Meriam Bellina melalui film Sorga Dunia di Pintu Neraka (Tandes) (1983), Anna Tairas pemeran utama film Kupu Kupu Putih (1983) dan Ayu Azhari (Akibat Buah Terlarang 1984), serta Vivi Samudro lewat film Ketika Senyummu Hadir (1991), Ryan Hidayat dan Nunu Datau di film Tali Merah Perkawinan.
Hendrick Gozali, lahir di Jakarta pada 28 November 1939, memulai kariernya di PT National Electric Wire dan PT Comet Industry Ltd., sebelum menjadi Manajer CV Tekun Film (1970).
Menjadi produser film sejak 1974 dan mengibarkan bendera PT Garuda Film sejak 1997 yang terus berproduksi hingga sekarang. Sejak 1990an, ketekunannya di film telah menular dan terwariskan pada Charles Gozali seorang anaknya yang melanjutkan jejak di film dan sinetron, sebagai sutradara.
Debutnya di balik kamera, menggarap sinetron seri, drama action yang dibintangi oleh Arie Wibowo berjudul Jackie. Karya filmnya di antaranya Finding Srimulat (2013), Sobat Ambyar (2022), dan horor Pemukiman Setan (2023). Dua kali dia meraih gelar sutradara terpuji di Festifal Film Bandung (FFB).
Tak diragukan totalitas dan pengabdian Hendrick Gozali di perfilman nasional. Sampai beberapa bulan lalu, saya masih menyapanya di Sanggar Teater Populer saat menghadiri diskusi seputar film horor bersama sutradara kondang masa kini, Joko Anwar.
Dan kini dia pergi dengan tenang. Dedikasinya terwariskan pada sang putra. Semoga Pak Hendrick Gozali damai di sisiNya. Amin. ***