SIMVLACRVM – a political thriller novel

Aline anak tunggal. Ayahnya meninggal ketika ia masih sekolah menengah atas. Ia tak tahu sanak keluarganya ada di mana. Ayahnya mantan pelarian politik. Ia meninggalkan keluarganya di Jawa Barat. Lari ke sebuah desa di Jawa Tengah, ayahnya lalu membuka warung makan kecil khas Jawa Barat. Lumayan banyak pelanggan. Di tempat baru itu ia dibantu seorang perempuan setempat yang kebetulan punya lahan kecil di tepi jalan. Ayahnya mengajari perempuan itu masak masakan Sunda. Setahun kemudian mereka menikah. Maka lahirlah Aline. Nama sebenarnya Siti Arinta. 

Sepeninggal ayahnya, Aline membantu penuh warung ibunya untuk membayar biaya sekolah. Lalu ia kuliah program D3 jurusan komputer. Ia pikir dengan diploma itu ia akan mudah mencari pekerjaan. Ternyata semua perusahaan tempatnya bekerja berguguran di tengah jalan. Aline pun pindah ke Jakarta ketika ada lowongan sebagai pewarta di sebuah media cetak. Gajinya lebih besar dari sebelumnya. Tapi pengeluarannya untuk bayar kost, transportasi dan kebutuhan hariannya juga besar. Apalagi setelah ibunya terkena stroke. Warungnya tutup. Aline harus menanggung biaya hidup dan perawatan ibunya juga. Ia harus menyewa suster untuk merawatnya di kampung. 

Akibat kebutuhan keuangan yang meningkat itu, ia berhenti jadi pewarta dan melamar ke sebuah perusahaan komputer sebagai programmer, sesuai bidangnya. Syukur diterima. Namun, untuk memenuhi kebutuhan keuangannya, ia terpaksa harus meminjam dulu ke kas perusahaan dan kemudian menyicil setiap bulan potong gaji. Perusahaan baru tempatnya bekerja ternyata bukan perusahaan biasa. Melainkan produser dan penyebar hoax. Karena itulah, ia harus mampu mengejar sebanyak mungkin viewers untuk setiap karya hoax-nya, yang memungkinkannya mendapatkan bonus dari pelbagai iklan yang masuk. Sebab, semakin heboh sebuah hoax, akan semakin banyak iklan yang masuk. “Sekali hoax, dua tiga tujuan terlampau,” kata Aline selalu.

“Hoax adalah kebutuhan. Sembilan dari sepuluh selebritis menggunakan hoax unuk mempertahankan ketenarannya,” tulis Aline dalam catatan pribadi di laptopnya. 

Setelah seminggu bekerja di situ, Aline baru tahu bahwa perusahaan tempatnya bekerja ternyata bergerak di bawah tanah, alias illegal dan tak berizin sebagai perusahaan online. Perusahaannya setiap hari memproduksi hoax dan fitnah sesuai pesanan. Ia sendiri tidak tahu siapa jatidiri pemesannya atau ke mana afiliasi politik perusahaannya. Sebab, para korban hoax mereka hampir semuanya berasal dari pelbagai kalangan. Mulai dari politisi, pejabat sipil, pejabat militer, pihak kepolisian, aparat pemerintahan, pengusaha swasta, dan tentu saja para pesohor. Terutama para calon pesohor, yang selalu memesan hoax dikaitkan dengan pesohor lain, khususnya dalam asmara, agar bisa terkenal dan mendadak jadi bintang pelbagai acara bincang di televisi atau menambah followers di akun sosial media mereka.   

Pada satu sisi, Aline merasa agak nyaman bekerja di situ. Sebab, ia dan kawan-kawan kerjanya, juga perusahaannya, tidak memihak siapa pun. Baik pemesan maupun korbannya. Mereka hanya memihak siapa yang membayar. Tapi tidak ada ikatan maupun tanggungjawab moral apa pun. Tidak ada pula komitmen. Yang membayar paling akhirlah yang paling mendapat tempat. Tak aneh bila di antara mereka, Aline dan rekan kerjanya, sering bercanda namun serius ihwal pekerjaan mereka. 

“Demi ‘obyektivitas’ kita wajib menjalankan kebijakan hoax both-side,” kata mereka. Tentu itu merupakan plesetan dari prinsip jurnalistik “cover both-side.” 

“Selain hoax untuk pribadi, ada juga hoax demi kepentingan umum.” 

“Kita wajib menjunjung tinggi kebebasan hoax yang tak bertanggungjawab.” 

Avatar photo

About Noorca M Massardi

Creative Writer, Author, Anggota LSF, tinggal di Tangerang Selatan. Karya Novel: Sekuntum Duri - Mereka Berdua - September - Straw - 180 - Setelah 17 Tahun. Kumpulan Puisi: Hai Aku Sent To You - Hai Aku - Ketika 66 - Pantai Pesisir