Oleh EFFI S HIDAYAT
Iya, saya namakan saja demikian ya, karena si penjualnya memang hanya mengandalkan tongkat. Mengetuk-ngetuk sepanjang, bahkan tengah jalan yang dilaluinya — membopong segitu banyaaak rencengan kerupuk di pundaknya yang kurus ringkih.
Dan, ia sedang mengasoh di pinggir jalan, di depan sebuah rumah besar di saat saya melewatinya sehabis menjelajah jalan di kompleks ubek-ubekan sampai ke Blok U gara-gara mencari ketupat. Biasanya tukang ketupat mangkal di pasar kaget dekat rumah. Tapi, kali ini tak kelihatan batang hidungnya. Akhirnya saya bela-belain deh, menyusuri jalan seputar kompleks demi si Tupat. Lalu, bertemu si Kerupuk.
Walau sebetulnya saya bukan penggemar kerupuk, nampaknya spontanitas saja yang membuat saya menambah belanjaan. Masih beruntung saya tadi ketemu penjual ketupat, akibat hari sudah lebih dari pukul 10.00 pagi. Sehingga saya pun membayar dengan satu-satunya selembar uang kertas biru tersisa yang kembaliannya niatnya akan saya relakan saja.
Eh, tetapi ndilalah si Abang ngotot, lho, mengembalikan! Ia meraih tas cangklongnya lalu membeberkan sejumlah uang yang dijembreng di tangannya. Satu per satu ditunjukkannya kepada saya. “Yang ini? Atau, yang ini…?”
Saya tergagap bisu, tak mampu menjawab. Sehingga seorang bapak yang kebetulan juga berniat membeli kerupuk membantu menjawab, “Bukan, Mas, itu sih, 2000 perak. Dan, itu 5000 rupiah. …”
Mendengar itu, bukannya berhenti ia malah meraba-raba tas lagi, lalu mengangsurkan sejumlah uang. “Duh, bukan, Mas. Itu sama nilainya dengan uang yang saya berikan, ” Kali ini saya spontan menjawab. Dan, beberapa kali ia selalu berusaha memberikan kembalian dengan nilai uang yang salah. Sehingga akhirnya saya pun berinisiatif sendiri mengambil sejumlah uang dari tangannya..
“Nah, iniiii cukup, Mas.Sudah cukup. Saya ambil, ya?”Saya sempat
bertukar pandang dengan si Bapak pembeli satunya. Wajahnya keheranan.Tetapi tak lama, sedetik kemudian ia tersenyum maklum, sembari mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ya, ketika si penjual kerupuk kekeuh mengembalikan uang yang saya angsurkan kepadanya berulang-ulang, dan kerap saja salah, hati saya tertohok. Betapa beruntungnya mata saya; walau kudu berlindung di balik kacamata, toh saya bisa melihat. Terlebih lagi setelah saya paham, betapapun gelap dunianya, ia masih memiliki ‘mata hati’ yang sungguh bernilai. Tetap berupaya mencari nafkah yang halal, bahkan memiliki martabat sejati seorang manusia yang bukan mental peminta-minta.
Duh, semoga saja ia tidak pernah bertemu dengan orang-orang yang memanfaatkan kejujurannya. Betapapun, si penjual kerupuk tidak bisa melihat, saya yakin DIA di atas sana senantiasa menjaga….(termasuk ‘memurnikan’ helai-helai lembaran uang kertas yang saling berpindah tangan antarkami dari virus Corona, hiks!)
Dan, oh, ya. Maafkan saya juga ya, Tuhan. Sudah ‘membohongi’-nya tadi dengan mengambil sejumlah uang kembalian yang tidak seharusnya….
Berkah dalem.