Seide id – Saya pikir masalah bangsa yang beraneka ini, oleh karena anak bangsa sebagian besar belum menjadi insan terdidik. Kalaupun sudah mengenyam pendidikan, belum benar dididik. Bahwa visi mendidik itu menjadikan manusia beradab. Manusia terdidik beradab dan berbudaya, lebih dari sekadar memindahkan ilmu.
Yang terjadi sekarang hanya menjejali ilmu, dan pembangunan karakter tertinggalkan. Barangkali itu yang dipikirkan Presiden Jokowi ihwal Revolusi Mental.
Revolusi Mental berarti harus mengubah yang sudah telanjur terbentuk salah. Hampir semua masalah bangsa yang kita lihat dan amati, berhulu dari belum beradab berbudayanya anak bangsa. Tabiat berkorupsi, tidak tertib di jalan raya, kurang santun berpolitik, culas berbisnis, sampai tata krama bergaul dan bermedia sosial yang tak elok. Termasuk sikap berdemokrasi.
Saya membaca psikiater J Scott membahas ihwal mendisiplinkan hidup. Yang dimaksudkan dengan berdisiplin dalam hidup tidaklah sebatas membangun sikap dan kebiasaan tepat waktu (punctually), melainkan jauh lebih dari hanya sebatas itu.
Ada empat pilar untuk membangun disiplin dalam hidup setiap anak bangsa. Mestinya ini bagian dari silabus pendidikan, bahwa sejak awal visi pendidikan sejatinya membudayakan anak bangsa. Memanusiakan manusia.
Pilar pertama dalam membangun anak bangsa, menanamkan sikap menjunjung tinggi kebanaran. Semua kebenaran duniawi sampai kebenaran ilahi. Hanya bila sudah tertanam, sudah terinternasiliasi nilai kebenaran, dari pelbagai aspek, agama, etika, etiket, serta kepercayaan, maka akan jauh keinginan serta tindakan untuk berbuat serong, atau tidak benar di mata semua orang, di segala tempat dan di segala waktu.
Krisis kebenaran yang membuat orang rentan melakukan perbuatan mencuri hak orang lain. Beragama tapi masih serong sikap pikir lakunya. Itu maka mengapa kita melihat hari Minggu gereja penuh, hari Jumat mesjid penuh, namun yang korupsi tak juga berkurang. Oleh karena sebagai manusia, hanya benar arah, namun tidak benar cara menempuhnya.
Ada ungkapan hari Senin sampai Kamis menipu client dalam bisnis, hari Jumat dan Minggu menipu Tuhan. Inilah salah satu gejala krisis kebenaran. Bahwa secara spiritualitas orang belum bugar kalau hanya sebatas beragama semata. Sehat total tak cukup beragama terlebih bugar spiritualitasnya.
Menanamkan berdisiplin tidak menyontek sewaktu sekolah, cara jitu menanamkan sikap tidak serong di kemudian hari. Sekolah katolik, sebut saja Kanisius saya tahu setiap murid baru wajib menuliskan ikrar tidak menyontek, dan konsekuensinya siap memikul dikeluarkan dari sekolah kalau kedapatan menyontek.
Pendidikan menjunjung tinggi kebenaran juga dipetik dari nilai-nilai Pancasila yang bukan sebatas dihapal, terlebih dilakoni. Patuh pada aturan berlalu lintas, tertib antre, menghargai orang lain, hormat pada kehidupan, itu semua buah dari internalisasi nilai kebenaran sejak awal kehidupan seorang anak manusia dari sekolahnya, selain dari rumahnya.
PIlar kedua, menerima tanggung jawab. Di sini jiwa ksatria dibangun, bahwa dalam hidup pasti tidak mungkin kita terbebas dari perbuatan bersalah, khilaf, alpa. Namun hanya bila ditanamkan sikap menerima tanggung jawab, selain menginsyafi kesalahan kekeliruan, juga menjadi pertimbangan untuk menjadi lebih baik di kemudian hari. Ada penyesalan, ada pembelajaran, ada kesadaran untuk menjadi semakin lebih baik.
Pilar ketiga, menunda kepuasan. Anak yang dididik bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian, biasanya lebih mudah meraih sukses hidupnya kelak. Tak cukup kerja keras dan pintar menata waktu, namun mengerjakan yang berat yang tidak enak terlebih dulu, yang nyaman yang enteng dikerjakan belakangan. Bikin PR dulu, baru bermain. Anak yang demikian biasanya akan sukses.
Bahwa masa muda itu masa berjuang. Kalau mudanya keras, biasanya hari tuanya akan lembut. Sebaliknya hari tua akan keras, yang berarti masih harus berjuang untuk hidup kalau mudanya lunak. Menanamkan nilai menunda kepuasan, menjadi bekal anak menuju sukses. Anak yang sudah tertanam nilai bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian, bisa terlihat dari cara mereka makan, yang enak dimakan belakangan, yang kurang enak dimakan dulu.
Pilar keempat, hidup seimbang dunia akhirat. Tidak melulu cari duit sampai ngoyo, dan hidupnya dirancang sejak awal, kapan menilai diri sudah cukup. Kapan menjadi manusia yang sudah selesai. Hanya bila kita tahu kapan memutuskan sudah cukup, mengingat tidak ada batas tertinggi untuk kepuasan duniawi, itulah saat manusia menemukan kebahagiaan hidup tertinggi.
Indeks kebahagiaan tertinggi ada pada bangsa yang justru tidak kaya raya, sebut saja Denmark, dan bukan Amerika, Tiongkok, atau Rusia. Negara kaya ternyata rendah saja indeks kebahagiaannnya oleh karena tidak pernah selesai mengejar duniawi, dan memikul keadaan yang berjuluk “treadmill hedonism”. Terus saja seperti mengejar, namun kebahagiaannya tetap berjalan di tempat.
Kurikulum pembangunan karakter dengan empat pilar ini yang barangkali harus ditanamkan kepada semua anak didik bangsa. Kalau sudah telanjur keliru, dan tidak terbangun internalisasi nilai pada diri anak didik, maka lebih sukar untuk mengubahnya.
Kita mafhum bahwa membentuk tata nilai yang baik, lebih mudah ketimbang mengubah kalau sudah telanjur salah sebagaimana sekarang pemerintah pusing dan kewalahan mengatur masyarakatnya yang telanjur krisis nilai, tak punya nilai, atau malah gagal paham. Maka kuncinya ada pada pendidikan yang memanusiakan manusia.
Singapura membangun disiplin berbangsa bernegara di awalnya dengan “mesin denda” sehingga dijuluki negara serba “denda”. Setiap melanggar, dihukun denda, dan berhasil. Anak yang buang sampah sembarangan orangtuanya dihukum, misalnya. Dan ini mengubah perilaku melanggar menjadi perilaku tertib. Anak didik yang belum telanjur tercemar berperilaku serong, diinternalisasi tata nilai dalam pendidikannya, dan berhasil. Kita?
Saya melihat kita semakin krisis nilai, segala nilai kehidupan. Maka perlu mesin hukum yang bijak untuk meluruskan yang telanjur serba serong, sementara pendidikan nasional direvitalisasi kembali ke kiprahnya, membuat insan beradab, dan berbudaya.
Salam sehat,
Dr Handrawan Nadesul
Ikuti : Tan Joe Hok Legendaris Bulutangkis Indonesia, Saksi Sosok Otobiografi Tubuh Yang Indah